Rabu, 22 Desember 2010

Demi Dua Lembar Tiket

Hari Minggu lalu, saya dan teman menonton semi-final Indonesia vs Filipina leg kedua. Oleh sebab itu, Sabtu-nya kami berusaha mencari tiket pertandingan yang menentukan nasib Indonesia ke laga final AFF 2010 itu. Yang tidak saya sangka, ternyata nyari tiketnya super duper ribet...

Sabtu itu saya dan teman saya berangkat setengah 6 pagi dari kost. Itu karena kami ingin mengantisipasi banyaknya orang lain yang mengantri. Maklum, di berbagai media diumumkan bahwa hari itu penjualan tiket terakhir. Kami memilih membeli ke Gelora Bung Karno (GBK). Sebab, penjual lainnya—Raja Karcis—dikabarkan habis tiket. Lagipula, kapasitas GBK pasti lebih banyak, pikir kami.

Beginilah suasana antrian yang dimulai pagi

Berbeda dengan pertandingan Indonesia vs Thailand yang lalu, pertandingan Indonesia-Filipina lebih diminati oleh khalayak. Sayangnya, makin dekat ke final penjualan tiketnya amburadul. Awalnya, berdasarkan pengumuman di media, pembelian tiket dilayani paling lambat H-1 (Sabtu). Sedangkan pada hari H (hari Minggu) hanya dilakukan penukaran tiket.

Namun, kenyataannya lain. Pukul 6 seperempat setelah sampai di gerbang, kami terkejut melihat sebuah pengumuman. Di situ ditulis bahwa hari itu tidak ada penjualan tiket. Kami coba cek di internet, tetapi belum ada berita yang menyebutkan hal itu. Karena penasaran, kami lanjutkan perjalanan ke stadion GBK, mencari info yang lebih banyak.

Pengumuman aneh
Memasuki GBK, sudah ada antrian yang lumayan panjang. Mereka berjajar mengantri di belakang pintu X. Byuh-byuh, pasti itu pengantri yang nginap sejak malam. Orang-orang itu rela berjajar mengantri dengan sabar. Mungkin juga mereka sudah mengantri sejak pukul 5 pagi. Padahal, loket biasa dibuka pukul 10 pagi. Itu artinya, setidaknya masih 5 jam lagi sampai loket dibuka.

Pengumuman yang baru ditempel subuh hari

Sabtu itu sepertinya semua orang sudah melihat tempelan yang menyebutkan tidak ada penjualan tiket. Menurut pengantri, pengumuman tersebut baru ditempel subuh hari. Byuh, mana orang tahu kalau begitu. Apalagi orang-orang dari luar daerah seperti Bekasi, Banten, dan lain sebagainya. Kalau saya jadi mereka, tentu saya juga tidak akan menyerah begitu saja untuk pulang. Lha, sudah terlanjur keluar duit buat ke GBK...

Sama dengan pengantri lain, kami akhirnya juga mengambil posisi antrian. Duduk menunggu. Tanpa tahu pasti kapan loket dibuka. Soalnya jengkel juga kalau langsung pulang. Lha saya sudah bangun subuh-subuh je...

Pukul 7: sedikit baca novel sambil ngeliat orang joging di seputaran GBK...
Pukul 8: iseng-iseng mensketsa orang sekitar....
Pukul 9: baca koran....

Di antara waktu menunggu, saya ngobrol dengan pengantri lain bernama Iqbal. Pria yang duduk di samping saya itu bercerita bahwa ia sudah mengantri sejak pukul 7 pagi. Mahasiswa tingkat 1 Universitas Gunadarma itu bercerita bahwa ia sudah mendapat tiket dari adiknya. Namun, hari itu ia bermaksud membeli 4 tiket lagi untuk saudaranya.

Pria berperawakan kecil itu kemudian bercerita bagaimana suasana ketika adiknya mengantri Jum’at lalu.
“Kemarin udah kaya mau mati aja,” jelas Iqbal.
Antrian hari itu mengerikan. Ga peduli cewek atau cowok, banyak yang menjadi korban dorong-dorongan. Itu karena orang mengantri sejak pukul 7 pagi. Namun, loket baru dibuka pukul 12 siang. Adiknya yang menunggu sejak pukul 9 pagi baru mendapat tiket pukul 3 sore.
“Gara-gara itu, adik saya sekarang sakit,” tambahnya. Weleh, mau senang-senang malah sakit... batin saya. Pria asal Cempaka Putih itu bercerita juga bahwa banyak orang yang tidak shalat Jum’at gara-gara loket baru dibuka pukul 12. Ckckck...

Berbagai TV swasta ikut meliput hiruk pikuk antrian tiket

Pos Kamling
Sabtu itu, ia juga merasa kecewa seperti saya. Kami sama-sama baru tahu bahwa ada pengumuman yang menyatakan tidak ada penjualan tiket hari Sabtu itu.
“Aneh lho, biasanya tiket dijual 3 hari sebelumnya, dan hari H hanya penukaran saja,” katanya.
Ya, memang aneh. Saya membayangkan bagaimana ruwetnya penjualan tiket berbarengan dengan penukaran tiket saat hari-H. Apalagi untuk 70-ribu penonton. Ckckck...
Kemudian ia juga bercerita bahwa dahulu penjualan tiket Piala Asia lebih tertib.
“Mungkin karena sekarang Timnas-nya lebih populer,” tuturnya.

Pernyataannya ada benarnya juga. Soalnya, saya yang ngga biasa nonton bola saja pengen nonton. Ya gimana tidak, itu momen istimewa karena Timnas bisa berjaya setelah lebih dari 1 dasawarsa melempem. Selama ini lebih santer isu korupsinya dan kepengurusan yang tidak tepat.

Sayangnya, kejayaan Timnas belum dibarengi dengan pengelolaan tiket yang baik. Sebenarnya, calon penonton hanya membutuhkan informasi yang memadai. Mbok ya, panitia lokal punya twitter atau web resmi. Kalaupun diumumkan habis, toh orang juga tidak akan datang ke GBK.

Namun, jangankan website, panitia lebih memilih poster sebagai media pengumumannya. Di GBK lagi... ckckck... Poster itu mungkin efektif kalau nempelnya di pos kamling atau pos yandu yang ada di seluruh Jakarta...


Pengantri rela berdiri dan kepanasan untuk mendapatkan tiket

Ricuh
Pukul 10, terpaksa saya meninggalkan antrian. Pukul 12 siang saya harus pergi ke Bandung. Antrian diganti oleh teman saya yang tinggal di Blok S. Di perjalanan pulang, saya sms-an dengan kedua teman saya yang mengantri itu.
Pukul 11, keduanya belum mendapat tiket....
Pukul 1 siang, mereka memutuskan pulang....
Yah, apaboleh buat sih. Soalnya ada perwakilan dari panitia yang keluar dan meminta maaf bahwa hari itu tidak ada penjualan.

Namun, setelah itu saya mendapat kabar bahwa calon penonton yang mengantri sejak pagi itu mulai ricuh. Ada yang memanjat-manjat dan merusak papan nama PSSI. Ada juga yang memukul mobil-mobil yang parkir di depannya. Saya segera sms teman saya untuk menyingkir.
“Kalau benjut PSSI juga ngga akan nanggung,” tulis saya di SMS.
Eh, teman saya itu malah bilang begini.
“Hehe, aku malah nonton, penasaran. Sejauh mana pembesar-pembesar itu ga punya hati nurani. Sudah ada 1 pintu yang dijebol, kursi dibanting-banting,”
Weleh-weleh...

Sebenarnya saya percaya sistem. Kerusuhan itu tidak akan terjadi kalau terdapat sistem penjualan tiket yang baik. Teman saya bilang, “Lah, kalau yang lokal aja amburadulnya kaya gini, gimana sejarahnya mau jadi tuan rumah piala dunia?”

Beruntung
Minggunya, saya dan teman saya nggak kapok juga pergi ke Senayan. Menurut tutur panitia kemarin, semua loket akan dibuka. Bahkan pengantri kemarin diberi semacam ‘kupon’ jaminan (untuk meredam kericuhan). Kami datang untuk mengantri dan mengantri. Padahal, malamnya saya baru sampai kost pukul 3 pagi, dan pukul 9 sudah berangkat kembali ke Senayan.

Karena saya ada acara di Bundaran HI, awalnya teman saya mengantri sendiri. Sampai di Senayan, teman saya menyuruh saya mencari loket yang dibuka. Saya tanya-tanya petugas, jawabannya hari ini tiket habis. Atau hari ini cuma melayani penukaran katanya.

Penonton malam itu diperkirakan berjumlah 80-ribu

Kemudian saya diberitahu teman saya bahwa ada loket yang sudah dibuka. Lokasinya dekat patung kembar. Tetapi saya salah persepsi dan mengira dia di dekat patung srikandi. Selain itu, ancer-ancer berupa poliklinik yang ia ceritakan juga tidak ada yang tahu. Bank DKI juga... Saya sudah bertanya pada banyak penjaga tetapi putus asa hingga tidak bisa menemukan di mana teman saya itu berada. Sampai dia sms
“Ken, aku ngantri lagi tapi tiketnya dah abis...”
Weeeew... akhirnya kami hanya bisa mendapatkan 2 lembar tiket thok. Teman-teman saya yang lain terpaksa tidak bisa mendapatkan tiket.

Kalau dipikir-pikir, teman saya itu amat beruntung. Soalnya, pengantri yang lain, bahkan yang datang pukul 4 pagi ada juga yang tidak mendapat tiket. Bahkan, banyak antrian-antrian lain yang benar-benar menanti harapan kosong karena loketnya sama sekali tidak dibuka. Entah bagaimana nasib mereka.

Tiket didapat, tapi masalah tidak hanya berhenti setelahnya. Sebelum maghrib, saya dan teman saya itu terpisah. Padahal, tiket dibawa teman saya. Gawatnya, telepon samasekali tidak berfungsi. Awalnyanya, saya tidak percaya bahwa ada gangguan sinyal. Namun, ternyata di sekitar saya juga mengalami hal yang sama: tidak bisa menghubungi siapapun. Kalaupun bisa, suaranya putus-putus dan nggak jelas. Byuuuh...

Akhirnya saya hanya berdiri di sebuah meja dekat pintu stadion. Sekeliling saya yang ada hanya lautan manusia. Panik dan panik. Namun, sehabis maghrib, saya dapat menemukan teman saya itu. Kami segera berlari-lari menuju pintu masuk.

Dan, jadilah kami menonton semifinal Indonesia-Filipina. Kemenangan di raih Indonesia dengan skor 1-0. Pulangnya, saya tulis status di fb:
Ga sia-sia nonton di GBK :))

Senin, 06 Desember 2010

Workshop Karikatur Thommy Thomdean dan Toni Malakian

Inti dari karikatur bukanlah tentang paling mirip atau bagus-bagusan. Tetapi bagaimana si penggambar bisa menangkap sisi paling menonjol si objek. Obama misalnya, bisa saja digambarkan tanpa mata dan hidung. Tonjolkan saja tawanya yang khas, atau wajahnya yang meruncing.

Itulah salah satu materi yang diberikan Thommy Thomdean dan Toni Malakian dalam acara Workshop Karikatur yang diadakan oleh Persatuan Kartunis Indonesia. Pada dasarnya karikatur bukan proses meniru mentah suatu objek. “Kalau pengen mirip banget, ya mending foto aja orangnya,” jelas Thom.

Ia juga menyayangkan bahwa karikatur selalu diasosiasikan ‘kepala besar’ dan ‘badan kecil’. Padahal, model karikatur yang tidak harus seperti itu. “Yang penting menunjukkan ciri yang menonjol dari objek,” tegasnya.

Thom kemudian menjelaskan bagaimana berlatih menangkap sisi menonjol objek. Teorinya, memang lebih mudah menggambar orang yang berciri khas. Misalnya orang berambut gimbal, berkumis tebal, atau yang mempunyai ciri khas lainnya. “Hitler contohnya, sangat khas dengan kumis dan rambut klimisnya,” jelas pria yang berlatar belakang arsitek itu. Dan memang, hitler dapat digambarkan cukup dengan seperti ini.

Gambar Hitler (kiri) mirip dengan gambar Charlie Chaplin (kanan)*.

Selain ciri khusus secara fisik, bisa juga dilihat dari hobi atau profesinya. Gambar Leo Tolstoy atau Pramoedya misalnya. Karena keduanya penulis, dapat dipertegas cirinya dengan menambah gambar pena. Contoh lain adalah Dalai Lama. Karena identik dengan perdamaian, dapat ditambahkan simbol perdamaian. Merpati contohnya. Yang lebih ekstrim, menggambarkan objek dengan objek lain. Objek tersebut tidak sembarang, tetapi tetap menimbulkan asosiasi. Misalnya menggambarkan Presiden Putin dengan beruang oleh kartunis Swedia.


Menurut Toni, antara gambar biasa dengan karikatur mempunyai
proporsi yang sama. Namun, karikatur ibarat bola voli yang dimampatkan
.

Selanjutnya, Thom dan Toni menjelaskan pembuatan karikatur yang bersifat kritik sosial. Soal materi yang diangkat, terlebih dahulu si penggambar harus tahu benar duduk permasalahannya. Thom mencontohkan permasalahan keistimewaan Yogyakarta yang sedang hangat saat ini. Sebuah karikatur di media massa menggambarkan tubuh kecil Pak Beye dibalik meja yang besar. Ia terlihat sedang membaca buku tebal sejarah Yogyakarta. Buku yang tebal itu dibaca terbalik. Intinya, si penggambar ingin menegaskan perlunya pemerintah menilik kembali bagaimana sejarah keistimewaan Yogyakarta.

Workshop Karikatur yang berlangsung dari pukul 2—4 sore itu juga mengadakan praktek langsung. Peserta diminta menggambar model. Sebelumnya, model ditanya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan si model seperti nama, alamat, hobi, dan pekerjaannya. Hal itu bertujuan agar kita semakin mengenal karakter objek, termasuk karakter nonfisiknya. Saya sendiri menggambar si model yang sedang berkutat dengan hobi berjejaring sosialnya.

*Sumber: dailyhitler.blogspot.com/lewat google search.

Ngidam si Dingin-dingin Empuk

Saya suka es krim dan mochi. Kalau keduanya digabungkan, menurut saya itu penemuan luar biasa. Lebih dari penemuan cat teknologi nano pesawat tempur siluman.

Hal yang saya anggap luar biasa itu ternyata sudah lama dilakukan. Minimal, menurut catatan yang ditulis di Kompas, mochi berisi eskrim sudah dikenal pada 1981. Produsennya grup pusat belanja dan makanan asal Jepang serta Korea.

Setelah melihat Kompas Minggu, hasrat saya semakin menggebu ingin melahap mochi es krim itu. Pasalnya, sejak dimuat di Nova, saya memang memimpikan untuk merasakan ‘mochiskrim’ itu. Dalam pikiran sudah ada rasa yang wajib saya pesan: green tea. Omong-omong, saya memang paling suka es krim rasa teh hijau.

Mochiskrim rasa Green Tea dan Banana Bannofee Pie di Mochilla, Grand Indonesia.

Sebenarnya, saya lebih ingin mengunjungi Mochewy, gerai mochi es krim yang digarap 3 mahasiswa Prasetya Mulya yang ada di Benda 60 Jeruk Purut, Jakarta Selatan. Bukan apa-apa, tetapi yang jelas saya pikir lebih miring harganya. Tapi apa dikata, sore itu saya lebih dekat ke lokasi Mochilla di Grand Indonesia. Daripada ngidam tak tertahankan, saya memilih ke Grand Indonesia \^o^/

Di gerai Mochilla yang terletak di lantai 3A, saya melihat gerombolan anak-anak ABG berkerumun. Wah, peminatnya banyak nih. Apa karena kompas minggu-kah? Anak-anak muda itu berkerumun di depan display yang memajang gundukan-gundukan mochi warna-warni. “Ini isi es krim Mbak?” tanya saya menegaskan. Takut salah pilih. Hehehe....

Gerai Mochilla, dipadati pengunjung remaja (berarti termasuk saya juga remaja... ^^).

Kalau yang lain beli 6—12 buah, saya beli 2 buah saja. Saya mencicipi rasa green tea dan Banana Bannofee Pie. Yang pertama rasanya khas green tea kesukaan saya. Sedangkan di dalam mochi yang kedua berasa ada pisang di dalam es krimnya. Sayangnya, setelah digigit harus langsung dihabiskan, karena gampang lumer.

Gerai yang selalu ramai oleh remaja itu (minimal di hari Minggu waktu saya berkunjung) menyediakan 27 rasa varian es krim. Sebutir seharga Rp12-ribu. Jangan bandingkan beli telur dadar di warteg dapat 5 lho yaaa.... Maklum, produk impor. Rasa-rasa yang unik antara lain manggis (mangosteen), talas (taro), nangka (jackfruit), dan delima (pomegranate). Ga tau juga kenapa setiap namanya diinggriskan.

Saya sarankan, jangan mengajak pacar nongkrong di situ ketika kantong kering. Karena, Anda pasti tak puas hanya 1—2 butir mochi saja. Ukuran perut laki-laki minimal enam butir sampai selusin laaah....

*Beberapa data diambil dari Kompas, Minggu 5 Desember 2010
** Mochiskrim=mochi es krim adalah istilah saya sendiri.

Minggu, 10 Oktober 2010

Saya Manusia Purba

“Sendirian aja mbak?” tanya seorang bapak-bapak di warteg pada saya.
Lain hari di angkringan:
“Sendirian saja mbak? Nggak enak donk, nggak ada teman ngobrol....”
Kemudian bapak yang bertanya itu mengajak ngobrol saya. Mulai dari kerja di mana, tinggal di mana, sampai nawarin madu propolis jualannya. Akhirnya saya pasang status di twitter:

Emang kalau sendirian, keliatan lagi butuh teman?

Mungkin beda dengan cewek-cewek lain yang:
- Harus bareng-bareng ke toilet.
- Harus bawa temen ke mal.
- Ngajak temen makan bareng ke warung.

Saya tidak seperti itu. Maksud saya, saya tidak mutlak seperti itu. Saya bisa menikmati kesendirian. Sungguh. Walaupun, dengan teman juga banyak enaknya. Tetapi memang kadang saya sedang menikmati bahwa saya sendiri.

Sama seperti saya keliatan ‘menderita’ ketika sedang memelototi buku bacaan atau situs internet. Padahal saya memang suka membaca dan mungkin baru terkagum-kagum dengan apa yang saya baca. Orang kadang kasihan melihat saya terlalu serius. Lho, padahal nggak ada niat serius.

Ini sama seperti saya yang kelihatannya suka nongkrong di warung. Mungkin analogi bapak itu saya sedang mencari-cari teman, karena saya terlihat tidak punya teman. Padahal, maksud saya bukan seperti itu.

Saya lebih suka nongkrong di warung karena malas membungkus makanan untuk saya makan di kost.Saya tidak suka dengan pembungkusnya.

Saya kira sudah cukup Jakarta sekitarnya jadi korban banjir. Tidak usah saya menambah-nambah sampah ke Bantar Gebang. Apalagi ketika melihat plastik itu bercampur dengan sisa makanan. Bayangkan ketika bungkus-bungkus itu bersatu dengan sisa-sisa makanan dan memenuhi selapangan sepak bola. Bagaimana baunya ketika didiamkan seminggu? Fyuuuh....


Saluran ini termasuk bersih dari sampah, walaupun tampak bertaburan sampah. Difoto dari jembatan Kota Intan, Jakarta. Foto: by Kiki Rizkika.

Walaupun tidak suka, tetap saja saya ikut sistem Jakarta raya. Bahkan ketika makan di mal... Yang saya harapkan diwadahi piring, eeeh... diwadahi styrofoam.

Cara-cara pembuangan sampah penduduk Jakarta—termasuk saya yang berdomisili di Depok--memang masih ala purba. Sampah apapun, baik plastik, kulit jeruk, kulit bawang, styrofoam, baterai, masih dianggap sampah yang sama. Bak penduduk purba yang menciptakan timbunan sampah kerang yang sekarang menjadi fosil jaman purba: semua sampah itu dibuang di tempat yang sama.

Sudah dicampur, dibuangnya asal pula. Saya pernah nunggu bis di kawasan UI. Di dekat saya ada tempat sampah. Eh, ada cewek cuantik yang dengan tenangnya melempar gelas bekas minuman di selokan di belakang saya. Lain kali ada juga tukang ojek yang kagum dengan teman saya yang membuang sampah di tempat sampah. Apakah begitu sulit dan langkanya perilaku membuang sampah pada tempatnya?

Ada juga ketika ditanya mengapa buang sampah sembarangan: “Lha, nanti kan juga disapu sama petugas kebersihan,” ucapnya dengan enteng. Kalau saya jadi petugas kebersihannya, saya akan mengutuk orang-orang yang dengan enaknya memperberat tugas menyapu sampah.

Saya juga masih ingat ketika saya ikut Youth Conference di Yogyakarta beberapa tahun silam. Orang Madagaskar yang ikut acara yang berlangsung seminggu itu dikagumi karena mengantongi puntung rokoknya sebelum menemukan tempat sampah. Di diskusi juga ditanya,
“Siapa yang tidak membuang sampah sembarangan?” tanya si Pembicara.
Hampir semua mengangkat tangan. Tetapi kemudian ia bertanya lagi:
“Siapa yang mengantongi puntung rokoknya kalau tidak nemu tempat sampah?”
Tidak ada yang mengangkat tangan sama sekali....

Itu menunjukkan, bahwa masih banyak yang berpikiran purba. (Padahal makhluk purba sangat jauh lebih baik karena tidak membuang sampah anorganik)

Ketika sudah jengah dengan urusan mencampur adukkan sampah, suatu hari saya menyediakan tempat sampah anorganik di kost-an. Kemudian, saya minta kepada teman-teman untuk membuang sampah organiknya di ember yang saya beli. Tapi naas, sampah yang dikumpulkan terlalu sedikit. Akhirnya sampah anorganik itu menjadi berjamur. Selain itu, sampah yang membusuk itu tetap saja bermuara di tempat sampah di luar kost yang campur aduk. Belum lagi teman-teman kost yang gonta-ganti penghuni.

Enak lho, sepedaan di jalanan yang bersih.... Lokasi: Bundaran HI

Saya merasa urusan sampah menyampah ini lebih baik ketika saya di Jogja. Sejak kecil kami terbiasa memilah sampah organik dan anorganik. Sampah organik itu dibuang di ‘jugangan’ atau lubang di halaman. Ayam-ayam kami bisa memakan sisa-sisa sampah organik itu. Lainnya, sampah anorganik, diplastik jadi satu dan dibuang ke tempat sampah umum.

Well... saya tidak tahu harus bagaimana lagi. Cita-cita saya mempunyai rumah yang ada halamannya. Sehingga, saya bisa bercocok tanam dan mengolah sampah organik. Namun sekarang, saya masih makhluk berpikiran purba yang tinggal di sekitar Jakarta:(

Senin, 23 Agustus 2010

Photo Walk Sarinah-Sabang-Jaksa: Sulitnya Merubah Objek Biasa Menjadi Luar Biasa.


Sekitar 40 fotografer berkumpul di halaman Sarinah Departement Store. Salah satunya saya. Walau belum ada bayangan apa yang harus dilakukan, saya ikutan saja di acara PhotoWalk sore itu. Tepat pukul 4, Bisma—koordinator Jakarta Photo Walk—memulai acara. “Tantangan hari ini adalah memotret lingkungan yang menurut orang awam tidak menarik,”

Berbeda dengan kota tua, atau museum, kali ini peserta memang menyusuri jalan biasa. Jalan yang biasa yaitu: ada pedagangnya, pengemisnya, bajajnya, dan orang lalu lalang. Kami berjalan dari Sarinah, menuju Jalan Sabang, Jalan Jaksa, dan kembali ke tempat semula.



Sambil beristirahat di tengah jalan, saya mengobrol dengan Bisma. Salah satunya bertanya mengapa mengadakan acara di tempat itu.
“Bosan,” katanya.
Ia bertutur bahwa kebanyakan fotografer sekarang hanya memotret model, termasuk Bismo yang lulusan Jurnalis Unpad itu. Model adalah objek yang memang sudah menarik. Sedangkan di jalanan, kita harus mencari objek-objek yang menarik atau membuat objek supaya menarik. Itulah tantangannya.

“Seharusnya fotografer juga mendekatkan diri di masyarakat,” katanya. Syukur-syukur kalau ada konstribusi kepada masyarakat itu, tambahnya.


Setelah berkeliling dan memotret, saya jadi kepikiran. Di antara bidang fotografi, mungkin fotografi jurnalis-lah yang paling sulit. Dikatakan sukar karena tidak ada rumusnya. Tidak ada teori khusus membuat tukang bajaj tertawa. Rumus membuat gerobak sate melintas di background yang menarik juga tidak ada. Semuanya kembali pada interaksi si fotografer dengan objek yang difotonya. Selain itu, keberuntungan, ketelatenan, dan kejelian menangkap objek yang menarik.



Interaksi fotografer dengan objek yang difoto sebenarnya sangat penting. Ini mengingatkan saya pada nasihat Deniek G Sukarya di bukunya mengenai memotret human interest:

“Bagi saya yang terbaik membuat foto-foto manusia adalah dengan pendekatan pribadi yang tulus, melalui senyum, percakapan, dan interaksi lain untuk menciptakan keakraban dan rasa nyaman. Ketika merasa sudah diterima, barulah saya mengutarakan keinginan saya untuk membuat foto mereka. Saya hampir tidak pernah menemukan orang yang menolak, bahkan ketika saya minta mereka berpose, senyum, atau melakukan kegiatan yang sedang mereka lakukan,”


Teori pendekatan itulah yang masih sulit dilakukan orang seperti saya. Saya cenderung pengin hasil instan. Padahal, perlu banyak waktu dan ketelatenan untuk berinteraksi. Teori pendekatan itu juga yang mungkin tidak banyak dimiliki para fotografer, meski sudah jago dalam teknis fotografi.


Sore itu saya mendapatkan beberapa foto. Nantinya saya ingin ikut lagi acara yang baru diadakan dua kali itu. Masih banyak hal yang perlu saya pelajari. Fotografi memang tidak sesederhana yang dibayangkan. Tidak hanya soal keindahan, tetapi ada nilai sosial dan kehangatan hubungan antara manusia dan lingkungannya.***

Kamis, 05 Agustus 2010

Smart vs Stupid

It’s fine being smart, but stupid is choice.

Itu kata Irwan Ahmett, desainer grafis kontemporer acara SaturdayCult! di Pimento Restaurant, Kemang. Menjadi bodoh itu menarik, ketika kita sudah terlalu jenuh dihadapkan dengan segala hal yang smart. Umumnya produk yang dijual selalu laris bak kacang ketika dijual dengan slogan pintar. Produk iPad misalnya, nggak ada riwayatnya diberi tag ‘produk teknologi terbodoh’.

Irwan Ahmett, desainer grafis kontemporer.

Karena terlalu banyak ditawarkan, lama-lama makna smart menjadi dipertanyakan. Apakah itu perlu? Saat ini umumnya produk-produk yang dianggap smart adalah produk yang:

Highest. Makin tinggi suatu gedung dianggap paling Waw. Misal Burj Khalifa di Dubai. Fastest. Di Jakarta makin banyak mobil mewah bertebaran. Kendaraan itu menawarkan sisi kecepatan, walaupun ibukota supermacet. Most expensive. Pemain sepakbola seperti Ronaldo dihargai 1,3 trilyun. Entah apakah setelah dia dibeli mampu memajukan grup sepakbola yang dimasukinya. Biggest. Pamella Anderson. (Tidak usah diterangkan anda juga tau). Most luxurious. Masjid kubah emas misalnya. Ibu-ibu pengajian—termasuk ibunya si Ahmett—nggak puas-puas juga walaupun sudah bolak-balik ke mesjid itu. Prettiest. Makin cantik seseorang atau kemasan dianggap yang paling oke. Richest. Misal image pencipta kekayaan pada Tung Desem W, yang digambarkan saat menaburkan uang dari helikopter.

Dan sebagainya.


Peserta saturdayCult mendengarkan penjelasan Irwan dan Mice.

Tapi sekali lagi, apakah konsep-konsep smart seperti di atas itu memang perlu? Hal itu membuat orang lupa bahwa selain smart, ada kata lain: stupid.

Kadang menjadi stupid itu perlu. Mengapa? Karena beberapa hal kreatif dapat dilahirkan dari aksi stupid:
- Aksi nekat pencoretan di atap gedung kura-kura DPR oleh Pong Hardjatmo yang menuliskan slogan 'Jujur, Adil, Tegas. Ini menyebabkan pemerintah dan masyarakat cukup tersentak dengan carut marutnya negeri ini.
- Salah satu suporter yang masuk pertandingan sepakbola antara Indonesia vs Oman=menyentil PSSI
- Frodo. Karena keluguan dan kebodohannya malah dia yang bisa membawa cincin ke Mordor.
- Kisah Marley. Ia bukan anjing yang pintar. Namun, kisahnya malah menyajikan sesuatu yang lucu dan menyentuh.
- Mr. Bean, Kabayan, Benny and Mice, dan lain sebagainya.


Smart vs Stupid




Setelah penjelasan dari Ahmett, Mice—mantan kartunis Benny and Mice--unjuk gigi. Saya masih tertawa juga ketika ditunjukkan kartun-kartunnya walau sudah pernah melihatnya. Menurut Mice, kartun adalah gambar atau garis sederhana yang menyajikan lelucon. Jadi, kalau nggak lucu bukan kartun namanya.


Irwan dan Mice

Kartun sudah ada sejak abad 18, tapi masih sangat realis. Kemudian kartun berkembang menjadi menggelitik dengan cara
- distorsi, deformasi
- exagerasi, hiperbola
- disorientasi

Dari modifikasi itu kartun berkembang menjadi
- Comical
- Satire
- Cynical
- Sarcasm

Aku lupa yang dicontohkan pada poin comical. Tetapi yang jelas kartun Benny and Mice hanya sampai di tahap satire. Tidak menyentuh cynical (melecehkan) apalagi sarcasm. Selain itu mice juga menjelaskan tentang jenis-jenis kartun lainnya seperti: karikatur, komik strip, kartun sigle frame, sekuen progresif, dan lain sebagainya. Komik Benny and Mice termasuk jenis strip. Berikut ini step by step pembuatan serial Benny and Mice

1. Memilih/menentukan tema yang akan diangkat. Menurut kartunis yang bernama asli Muhammad Misrad itu ia tidak pernah mencari tema. “Tema banyak sekali, bertebaran dalam kehidupan sehari-hari, tinggal kita pilih mana yang akan diangkat,” ucapnya. Pria beranak satu itu juga menyarankan agar ide apapun yang terlintas di kepala segera ditulis. “Kita tidak bisa mengandalkan ingatan,” ujarnya. Misal:
a. Laundry kiloan
b. Jok motor panas
2. Menentukan format standar kolom. Mice mengaku sering menggunakan format 4 kolom. Kolom pertama berisi masalah, dan kolom keempat berisi ending cerita.
3. Membuat sketsa kasar, bangun plot/alur cerita. Selanjutnya perjelas gambar dan lakukan finishing.

Setelah menerangkan, sesi tanya jawab pun dibuka. Aku mengangkat tanganku dengan segera untuk bertanya. Pertanyaanku salah satunya tentu mengenai mengapa Benny and Mice berpisah.

“Alasannya bosan,” kata Mice. Ia bercerita bahwa tujuh tahun merupakan waktu yang lama berpasangan dengan Benny. Pria yang pernah muncul di Kick Andy itu mengatakan bahwa intinya mereka ingin berkarir sendiri-sendiri. Nantinya tema-tema Kartun Mice lebih sempit, lebih ke keluarga. Akhir acara, tak lupa kuangsurkan komik Mice untuk ditandatangani. Hmmm... lumayan... dapet tanda tangan.***

Rabu, 04 Agustus 2010

Saya Tahu di Mana Breww!

Pulang dari SaturdayCult!, saya mencari kendaraan untuk pulang. Saya baru nyadar, ternyata jalan di hadapan saya searah. Logikanya, kalau saya naik kopaja yang tadi saya tumpangi, saya malah ke Blok M, berlawanan dengan arah pulang.


Walhasil, saya ikuti saja jalan searah itu. Sekalian sambil cari makanan di pinggir jalan. Sepanjang jalan kepala saya tengak-tengok. Owh, ada gedung ini, warung itu, restoran ini, apartemen itu. Soalnya hal-hal beginian berguna juga lho, siapa tahu harus ke Kemang lagi.

Karena kepala saya tengak-tengok sepanjang jalan, petugas parkir atau anak jalanan pun jadi penasaran juga.
“Nyari apa mbak?” begitu tanya mereka.
Saya hanya meringis saja. Kalau saya jawab melihat-lihat saja, pasti dikira aneh. Masa yang lain pengen cepet-cepet pulang karena macet, eh saya malah enak-enak menikmati suasana.


Hari itu saya memang sengaja mengamati dengan serius di sekeliling jalan. Itu karena umumnya saya terlalu cuek dengan keadaan sekitar. Jarang ngeliat jalan. Kalau di bis mah tidur. Bahkan saya baru tahu ada plang perbatasan Jakarta Depok di BCA dekat kost.

Saya berencana mempraktekkan anjuran Arvan Pradiansyah. Yaitu menikmati dengan sungguh-sungguh waktu yang sedang kita jalani. Misal, kalau lagi meneguk es jeruk, ya nikmati setiap tegukan yang masuk di kerongkongan kita. Selalu bersyukur. Nah, karena saya sedang berjalan-jalan, saya juga harus menikmati setiap langkah saya. Meresapi dan mensyukuri apa yang bisa saya pandang saat itu.

Teorinya seperti itu, tapi 30 menit kemudian saya merasa bosan.




Saya melanjutkan berjalan kemudian saya menemukan Breww Kemang! Waw. Uhm... kebetulan hari itu hari Sabtu. Sebenarnya beberapa jam lagi saya bisa menyaksikan band favorit saya bermain musik. Wew, tapi saya enggan karena menonton band itu harus menikmati minuman atau makanan di Kafe. Hmm... pengen juga sih suatu saat. Yang penting saya sudah tahu di mana Breww.

Kaki saya langkahkan dan menemukan KFC. Saat itu pukul setengah enam. Sebelumnya tidak banyak tempat makan yang saya lewati. Saya pikir, boleh juga makan di restoran junkfood itu. Soalnya, saya bisa lapar di dalam perjalanan pulang kalau tidak makan sore itu. Lagipula, saya belum pernah makan di KFC Kemang. Bukan berarti saya penggemar KFC. Hanya saja, KFC yang itu pernah dimuat di majalah Swa. Katanya, perombakan KFC menjadi tempat yang cozy dimulai dari Kemang. Haha, itu alasan saja dink. Sebenarnya perut saya sudah lapar, jadi kepingin makan di situ.



Saya pesan satu bento, satu sup krim, dan milo. Saya mengambil saus sambal kemudian membawa makanan itu ke lantai dua. Setelah di atas, saya baru nyadar kalau lupa ambil sedotan. Padahal di milo itu ada banyak es. Saya tidak begitu suka es. Tanpa sedotan es-es itu bisa nempel di hidung. Tapi tak mengapa, hemat plastik. Selain itu tidak akan ada yang memprotes kalau hidung saya atau mulut saya terkena milo. Sambil makan saya menjepret-jepret suasana di sekitar KFC. Iseng banget emang.



Pulangnya saya menimbang-nimbang. Kalau pake 605A lagi kayaknya kejauhan. Pasti ada shortcutnya di sini, batin saya. Bertanyalah ke tukang parkir. Ternyata saya harus berjalan sedikit lagi, naik 63 ke Cilandak. Dari situ saya langsung naik bis yang ke Pasar Rebo. Naik 63, saya sukses turun di Cilandak. Namun, pas naik 605, saya sulit menahan kantuk, dan ketiduran. Kemudian taraaaa.... saya kebablasan sampai jalan Baru, nggak turun di Pasar Rebo. Apa boleh buat, ya balik lagi. Toh, itu malam minggu, masih banyak waktu.***

Senin, 26 Juli 2010

Menggambar dengan Korek Api dan Paku

Saya ingin belajar menggambar. Oleh karena itu, beberapa komunitas sketsa saya ikuti. Melihat teman-teman yang ahli menggambar dengan berbagai peralatan, seringkali saya tergiur. Wah, ternyata bagus ya, hasil sketsanya ditaruh jurnal. Ternyata oke ya, kalau memakai cat air milik mas itu. Waw ternyata hasilnya luar biasa ya, pakai pastel larut air.

Itulah yang saya pikirkan. Akhirnya makin lama saya makin tergiur membeli peralatan yang sama. Namun, pikiran untuk membeli peralatan harga ratusan ribu itu saya urungkan. Itu karena pelajaran yang diberikan seorang senior sketcher bernama Ipe Ma’ruf.

Ceritanya, Sabtu April lalu, saya mengikuti sket bareng di Kebun Binatang Ragunan. Saya merasa beruntung. Karena, kata salah satu panitia, acara itu akan didatangi Ipe Ma’ruf. Pria usia 72 tahun itu sketser dan ilustrator senior. Goresan penanya pernah menghiasi hampir semua media cetak. Karena itu, pria kelahiran Tepi Bandar Olo Sumatera Barat itu dijuluki raja sketsa.

Setelah semua peserta berkumpul, saya jadi bertanya-tanya yang mana Ipe Ma’ruf. Kak Atit, pendiri komunitas itu mengajak saya dan rombongan pada seorang kakek yang duduk di trotoar. Waduh, kalau nggak dikenalin Kak Atit, pasti orang mengira itu pemulung. Sumpe lo, penampilannya seperti kakek pemulung atau pencari sumbangan. Pakainnya sangat sederhana. Kemeja biru lusuh, peci, sendal, tas butut kotak-kotak, serta berjenggot lebat. Uban sudah di sana-sini. Tetapi dari gerakannya terlihat beliau masih lincah.


Pak Ipe menjawab pertanyaan para sketcher. Foto: Kiki Rizkika

Suasana menjadi terlihat antusias ketika Pak Ipe mulai angkat bicara dan men-sketsa. Peralatannya berupa drawing pen dan selembar kertas. Ia menggambar salah satu dari kami. Tak hanya peserta sketsa, orang yang lalu lalang pun tertarik melihat goresan Ipe. Srat-srut-srat-srut. Goresannya sangat tegas, dan tentu saja cepat.

Setelah demo menggambar, kami melanjutkan pelajaran di dalam kebun binatang. Sambil mencari tempat untuk berteduh, perbincangan soal sketsa dilakukan sambil jalan. Walaupun bisa melukis, Ipe lebih memilih jadi seniman sketsa. “Itu karena sketsa merupakan seni spontan,” katanya. Sketsa dilakukan dengan sekali goresan, tidak bisa ditimpa-timpa atau diperbaiki. Goresannya menggambarkan perasaan si sketser terhadap obyek yang digambarnya.

“Ibarat artis sinetron dengan pemain teater,” ungkapnya. Pemain teater akan dengan mudah bermain sinetron, tetapi tidak sebaliknya. Dalam pembuatan sinetron, adegan salah bisa diulang-ulang. Namun, pentas teater tidak begitu. Begitu juga dengan sketsa. Antara teater dan sketsa mempunyai persamaan, yaitu karya spontan.

Setelah menemukan tempat yang oke untuk berkumpul, kami mulai praktek menggambar bersama Pak Ipe. Sebelumnya, beberapa peserta menunjukkan sketsa-sketsanya yang terdahulu dan meminta pendapatnya. Saya nggak berani menunjukkan, lantaran yang lain gambarnya top markotop deh. Malu. Heheh.

Pelajaran berikutnya Pak Ipe menggambar dengan tiga media, yaitu drawing pen, paku, dan korek api. “Kita bisa menggambar dengan apa saja,” katanya. Intinya, tidak perlu peralatan yang macam-macam sebenarnya untuk menghasilkan karya yang bagus. Kalau si penggambar bagus ya karyanya pasti indah.

Gambar pertama dengan drawing pen. Pak Agus, salah satu peserta, mengajukan diri menjadi model. Selain Pak Ipe, peserta lainnya juga ikut menggambar. Setelah itu kami menunjukkan gambar kami untuk dinilai Pak Ipe. Komentar setelah melihat karya saya, “Bagus, teruskan,” katanya. Horeeee.... Wah komentar menghibur, batin saya. Wong gambar saya nggak mirip gitu dengan Pak Agus, modelnya.

Alat kedua yang digunakan adalah paku. Kalau tidak punya paku, bisa memakai bolpoin yang isinya habis. Medianya semacam kertas kardus untuk makan. Awalnya saya tidak paham, dimana indahnya, lha wong goresan pakunya kan tidak begitu kelihatan. Ternyata, setelah goresan pakunya selesai, Pak Ipe mengusapkan karbon di atas kertas. Hasilnya, garis yang semula tidak terlihat menjadi kontras dengan warna karbon. Ooooh.... bagus juga, pikir saya.

Goresan Pak Ipe menggunakan paku.
Modelnya Pak Donald salah seorang sketcher.


Alat yang ketiga adalah korek api. Yang ini saya juga agak tidak paham. Gimana bisa menggambar pakai korek api? Mumpung belum ada yang ditawarin jadi model, saya menawarkan diri jadi model. Kapan lagi, digambar oleh seniman terkenal? Agar tidak pegel, saya pilih pose yang enak, yaitu duduk.

Setelah digambar dengan paku, kertas digosok menggunakan karbon

Ini hasil gambarku. Coba-coba ikut menggambar dengan paku.
Kata Pak Ipe, gosokan karbonnya sebainya lebih disearahkan.

Rasa penasaran saya terobati ketika Pak Ipe mulai menggambar. Ternyata, ketika dinyalakan, ujung pentul korek digoreskan pada media kertas karton. Hasilnya berupa goresan kecokelatan bekas belerang saat api dinyalakan. Tetapi ya, hasilnya agak semi abstrak karena goresannya tidak begitu mendetail.

Sketsa dengan korek api.
Aku minta tanda tangan Pak Ipe di samping kiri gambar.

Tetapi, apapun hasilnya, Ipe mengajarkan bahwa kita tidak boleh menyerah karena peralatan yang terbatas. “Bahkan, menggambar dengan rumput dan bunga pun bagus,” katanya. Weh... percaya deh, asal yang menggambar seniman, batin saya. Kemudian, dalam hati saya berkata, beli alat-alatnya ntar aja deh, kalau gambar saya udah oke. Hehehe....***

Hidup dari Sketsa


Umumnya anggota Indonesia’s Sketcher adalah desainer grafis, arsitek, atau ilustrator majalah. Jarang yang memang seniman sketsa. Atau bahkan hidup dari sketsa seperti Ipe Ma’ruf. “Saya bisa menyekolahkan ke delapan anak saya sampai jenjang kuliah dari sketsa lho,” ungkapnya.

Ipe atau Ismet Pasha Ma’ruf awalnya pelukis otodidak. Itu lantaran keinginan untuk menjadi pelukis tidak direstui ibunya. Pada 1955 ia merantau ke Yogyakarta sendiri dan berniat belajar di Akademi Seni rupa Indonesia.

Tanpa biaya, Ipe berniat belajar langsung saja dengan pelukis Affandi. Hanya saja, waktu itu Pak Affandi seakan ‘nggabur’ atau tidak memberikan pelajaran secara khusus. Oleh salah satu pengajar ASRI, Ipe disuruh menggambar dan menggambar terus menerus. Hanya itu. Sampai akhirnya Ipe berkesimpulan, bahwa gurunya adalah dirinya sendiri.

Walaupun dijuluki raja sketsa, Ipe tidak semata-mata bergelut dengan sketsa. Pria yang lahir pada 11 November 1938 itu juga merambah media lain seperti cat minyak dan akrilik. Itu lantaran seperti memenuhi kewajiban dari gelar pelukis yang juga disandangnya. Namun, bagaimanapun hatinya tetap tertambat pada sketsa. Selain pelukis, Ipe juga lumayan lama menyelami dunia ilustrasi. Ia menjadi ilustrator di sejumlah majalah seperti Kawanku, Bobo, Kartini, dan Horison mulai dahun 80—90-an. Karya-karya Ipe sebagian dipamerkan di rumahnya (kalau tidak salah Cibubur). Lainnya dipamerkan di Galeri Millenium Jakarta Selatan.***

Beberapa data diambil dari 1001 Words, Asmayani Kusrini.

Meracau



Mataku terbuka. Kulihat jam di handphone. Yah, aku ketiduran setengah jam lebih lama. Harusnya aku bangun setengah empat. Rencanaku berangkat setengah enam ke Kebun Raya. Namun itu tidak terlaksana. Aku baru meninggalkan kost pukul 6 pagi.

Semoga cuaca cerah.

Dan benar, cuaca hari itu cerah. Huahahaha... Aku pengen tertawa selebar-lebarnya karena gembira. Tetapi perutku belum terisi benar. Aku agak kuatir kalau aku tidak sarapan. Lagi-lagi aku menyesal. Seandainya aku bangun lebih pagi.

Langkahku agak berat, dan aku lapar. Mungkin tasku berbobot 15 kilogram. Hari itu aku agak serakah. Aku membawa peralatan memotret, kertas dan alat untuk sketsa, serta majalah. Namun, kemudian aku menyesal karena aku membeli Kompas di jalan. Sebenarnya aku tidak butuh koran itu. Huh, menambah berat saja. Aku berniat hunting, sketching, dan nonton pameran di tiga tempat yang berbeda.



Setelah masuk kebun raya, aku bilang pada temanku untuk keluar sarapan. Aku harus mengisi energi sebelum mengitari kebun seluas ... itu. Membayangkan aku lapar di tengah jalan pun aku sudah panik. Tanganku bisa-bisa tremor kalau aku tidak sarapan.

Di luar pintu Kebun Raya aku menemukan penjual bubur, mi ayam yang belum buka, gorengan, serta minuman. Bleeehhh.... bubur ayamnya asiiiiiin banget. Tanpa diperiksa di laboratorium pun aku merasa natrium itu seakan meracuniku. Duuuh, ningkatin tekanan darah dah, merusak ginjal lah... jadi horror sendiri.



Dari sugesti diri sendiri itu, aku jadi mual. Mau nggak dimuntahin kok mual mlulu, tapi kalau dimuntahin kok sayang. Aku bilang pada diriku kalau perasaan mual itu hanya karena pengaruh pikiranku yang jahat. Jahat karena mungkin terlalu banyak membaca majalah kesehatan.

Gimana ya, aku selalu nggak cocok sama makanan di DEPAN KEBUN RAYA BOGOR. Beneran! Aku udah punya bad feeling bahwa aku tidak menemukan sarapan yang tepat di Kebun Raya. Aku bukanlah orang yang rewel soal makanan. Tapi soal makanan di depan Kebun Raya itu memang bukan jodohku kayaknya.


Beberapa hari yang lalu aku menulis di Plurk kalau semoga tanggal 24 Juli lalu aku bisa sketching bareng di Surapati. Dan, ternyata hari itu Indonesia’s Sketcher dimuat di Kompas... huhuhu... T-T. Namun, karena Sabtu itu pula hunting burung pertamaku, yaaa... aku lebih beratin ke hunting-nya saja.


Rencana awal aku cabut dari Kebun Raya pukul 11, terus ke Surapati, terus ke Galeri Nasional. Tapi apa boleh buat, rencana tinggal rencana. Ternyata sampai pukul 2 siang waktuku habis untuk mondar mandir dan leyeh-leyeh di Kebun Raya. Pulang sampai kost pukul 5 sore... Maceeeet.... Maklum malem minggu.

Aku dan temanku mengitari kebun raya dari pukul 7 sampai 12 siang. Dan burung yang kudapatkan cuma kutilang, ciblek, cabe (mini dan blur), serta koak (yang emang selalu nangkring di danau istana).

Peserta yang ikut hunting menurutku tidak begitu banyak. Ya kalau banyak repot juga sih. Jangankan dapet foto, bisa-bisa burungnya kabur semua.


Aku jauh dari puas dengan hasil jepretanku. Pertama, teknik mengambil spot yang oke juga gagal. Kedua, aku kurang telaten mengendap-endap. Ketiga, males nunggu dan pakai tripod yang bener (karena memang nggak ada). Intinya aku pengen kapan-kapan hunting sendiri di Kebun Raya lagi.***

Kamis, 08 Juli 2010

Kuburan Sistem Hidrolik

Tidak hanya megah, makam OG Khouw juga canggih. Makam yang dibangun pada 1910 itu sudah dilengkapi generator untuk menerangi tempat penyimpanan jenazah. Setiap sudut bunker terdapat lampu asal Italia—yang sayangnya sudah raib. Makam milik tuan tanah itu juga dilengkapi sistem ventilasi yang baik. Sayangnya, saat ini lubang ventilasi itu pun sudah tersumbat.

Denah bunker di makam OG Khouw, saya buat dengan corel draw.

Ketika hujan turun, bunker yang letaknya di bawah tanah itu diatur sedemikian rupa agar tidak banjir. Oleh karena itu di pintu masuk bunker terdapat dua sumur resapan. Di dalam ruang bunker pun, konon juga terdapat saluran air. Namun sayangnya, karena sudah lama tak terawat, bunker selalu kebanjiran tiap hujan deras. Bahkan garis batas tinggi muka air terlihat jelas di dinding bunker.

Pintu bunker, di dalamnya terdapat ruang jenazah, yang konon katanya menggunakan sistem hidrolik.


Kecanggihan lainnya adalah sistem hidrolik. Sistem itu digunakan untuk membuka dan menutup pintu batu yang menutupi tempat penyimpanan jenasah. Konon tempat jenasah itu berdinding kaca sehingga orang bisa melihat jasad Tuan dan Nyonya Khouw. Menurut penuturan orang dahulu, jasad Nyonya Khouw menggunakan gaun yang putih dan indah.

Generator untuk mengalirkan listrik di dalam bunker.

Sistem hidrolik itu saya dengar dari penuturan Pak Aji, yang waktu itu menemani berkeliling. Sebenarnya saya agak-agak tidak percaya. Terlalu lebai memakai sistem hidrolik (walaupun hidrolik itu sendiri udah ada dari jaman Pascal—abad ke-16). Apapun sistemnya, yang jelas sistem buka-tutup itu ada. Buktinya ada semacam panel elektrik di atas pintu. Sayangnya, belum ada yang menyelidiki lebih jauh tentang itu. Sayangnya juga bukan saya yang melihat panel itu. Musababnya saya terlalu pendek, sedangkan panel terletak di atas pintu.


Lubang ventilasi yang terbuat dari kuningan, pernah coba dicongkel karena dikira terbuat dari emas.

Bagi anda yang penasaran, bisa langsung melihat ke lokasinya. Saya sarankan menghubungi panitia bakti royong OG Khow terlebih dahulu. Itu karena semenjak bakti royong telah dipasang pintu pelindung bunker untuk menangkal orang mabuk-mabukan dan pacaran di ruang jenazah.

Galeri Foto

Kuburan tentara jepang di komplek makam Petamburan.


Rumah abu tentara Jepang. Sampai sekarang masih rutin didoakan dan dikunjungi warga negara Jepang.


Kuburan Yahudi yang tidak terawat di TPU Petamburan.


Salah satu makam Yahudi, khas berbentuk sarkopagus yang meruncing di atas.


Makam dengan gaya campuran Kristen dan Buddha


Salah satu pucuk di Musoleum OG Khouw yang terlepas. Pernah dicuri orang, tetapi dikembalikan gara-gara si pencuri selalu dihantui.


Makam Tan Tjeng Bok, aktor jaman dulu yang terkenal.

Makam yang dijadikan warung oleh salah satu penduduk.