Senin, 26 Juli 2010

Menggambar dengan Korek Api dan Paku

Saya ingin belajar menggambar. Oleh karena itu, beberapa komunitas sketsa saya ikuti. Melihat teman-teman yang ahli menggambar dengan berbagai peralatan, seringkali saya tergiur. Wah, ternyata bagus ya, hasil sketsanya ditaruh jurnal. Ternyata oke ya, kalau memakai cat air milik mas itu. Waw ternyata hasilnya luar biasa ya, pakai pastel larut air.

Itulah yang saya pikirkan. Akhirnya makin lama saya makin tergiur membeli peralatan yang sama. Namun, pikiran untuk membeli peralatan harga ratusan ribu itu saya urungkan. Itu karena pelajaran yang diberikan seorang senior sketcher bernama Ipe Ma’ruf.

Ceritanya, Sabtu April lalu, saya mengikuti sket bareng di Kebun Binatang Ragunan. Saya merasa beruntung. Karena, kata salah satu panitia, acara itu akan didatangi Ipe Ma’ruf. Pria usia 72 tahun itu sketser dan ilustrator senior. Goresan penanya pernah menghiasi hampir semua media cetak. Karena itu, pria kelahiran Tepi Bandar Olo Sumatera Barat itu dijuluki raja sketsa.

Setelah semua peserta berkumpul, saya jadi bertanya-tanya yang mana Ipe Ma’ruf. Kak Atit, pendiri komunitas itu mengajak saya dan rombongan pada seorang kakek yang duduk di trotoar. Waduh, kalau nggak dikenalin Kak Atit, pasti orang mengira itu pemulung. Sumpe lo, penampilannya seperti kakek pemulung atau pencari sumbangan. Pakainnya sangat sederhana. Kemeja biru lusuh, peci, sendal, tas butut kotak-kotak, serta berjenggot lebat. Uban sudah di sana-sini. Tetapi dari gerakannya terlihat beliau masih lincah.


Pak Ipe menjawab pertanyaan para sketcher. Foto: Kiki Rizkika

Suasana menjadi terlihat antusias ketika Pak Ipe mulai angkat bicara dan men-sketsa. Peralatannya berupa drawing pen dan selembar kertas. Ia menggambar salah satu dari kami. Tak hanya peserta sketsa, orang yang lalu lalang pun tertarik melihat goresan Ipe. Srat-srut-srat-srut. Goresannya sangat tegas, dan tentu saja cepat.

Setelah demo menggambar, kami melanjutkan pelajaran di dalam kebun binatang. Sambil mencari tempat untuk berteduh, perbincangan soal sketsa dilakukan sambil jalan. Walaupun bisa melukis, Ipe lebih memilih jadi seniman sketsa. “Itu karena sketsa merupakan seni spontan,” katanya. Sketsa dilakukan dengan sekali goresan, tidak bisa ditimpa-timpa atau diperbaiki. Goresannya menggambarkan perasaan si sketser terhadap obyek yang digambarnya.

“Ibarat artis sinetron dengan pemain teater,” ungkapnya. Pemain teater akan dengan mudah bermain sinetron, tetapi tidak sebaliknya. Dalam pembuatan sinetron, adegan salah bisa diulang-ulang. Namun, pentas teater tidak begitu. Begitu juga dengan sketsa. Antara teater dan sketsa mempunyai persamaan, yaitu karya spontan.

Setelah menemukan tempat yang oke untuk berkumpul, kami mulai praktek menggambar bersama Pak Ipe. Sebelumnya, beberapa peserta menunjukkan sketsa-sketsanya yang terdahulu dan meminta pendapatnya. Saya nggak berani menunjukkan, lantaran yang lain gambarnya top markotop deh. Malu. Heheh.

Pelajaran berikutnya Pak Ipe menggambar dengan tiga media, yaitu drawing pen, paku, dan korek api. “Kita bisa menggambar dengan apa saja,” katanya. Intinya, tidak perlu peralatan yang macam-macam sebenarnya untuk menghasilkan karya yang bagus. Kalau si penggambar bagus ya karyanya pasti indah.

Gambar pertama dengan drawing pen. Pak Agus, salah satu peserta, mengajukan diri menjadi model. Selain Pak Ipe, peserta lainnya juga ikut menggambar. Setelah itu kami menunjukkan gambar kami untuk dinilai Pak Ipe. Komentar setelah melihat karya saya, “Bagus, teruskan,” katanya. Horeeee.... Wah komentar menghibur, batin saya. Wong gambar saya nggak mirip gitu dengan Pak Agus, modelnya.

Alat kedua yang digunakan adalah paku. Kalau tidak punya paku, bisa memakai bolpoin yang isinya habis. Medianya semacam kertas kardus untuk makan. Awalnya saya tidak paham, dimana indahnya, lha wong goresan pakunya kan tidak begitu kelihatan. Ternyata, setelah goresan pakunya selesai, Pak Ipe mengusapkan karbon di atas kertas. Hasilnya, garis yang semula tidak terlihat menjadi kontras dengan warna karbon. Ooooh.... bagus juga, pikir saya.

Goresan Pak Ipe menggunakan paku.
Modelnya Pak Donald salah seorang sketcher.


Alat yang ketiga adalah korek api. Yang ini saya juga agak tidak paham. Gimana bisa menggambar pakai korek api? Mumpung belum ada yang ditawarin jadi model, saya menawarkan diri jadi model. Kapan lagi, digambar oleh seniman terkenal? Agar tidak pegel, saya pilih pose yang enak, yaitu duduk.

Setelah digambar dengan paku, kertas digosok menggunakan karbon

Ini hasil gambarku. Coba-coba ikut menggambar dengan paku.
Kata Pak Ipe, gosokan karbonnya sebainya lebih disearahkan.

Rasa penasaran saya terobati ketika Pak Ipe mulai menggambar. Ternyata, ketika dinyalakan, ujung pentul korek digoreskan pada media kertas karton. Hasilnya berupa goresan kecokelatan bekas belerang saat api dinyalakan. Tetapi ya, hasilnya agak semi abstrak karena goresannya tidak begitu mendetail.

Sketsa dengan korek api.
Aku minta tanda tangan Pak Ipe di samping kiri gambar.

Tetapi, apapun hasilnya, Ipe mengajarkan bahwa kita tidak boleh menyerah karena peralatan yang terbatas. “Bahkan, menggambar dengan rumput dan bunga pun bagus,” katanya. Weh... percaya deh, asal yang menggambar seniman, batin saya. Kemudian, dalam hati saya berkata, beli alat-alatnya ntar aja deh, kalau gambar saya udah oke. Hehehe....***

Hidup dari Sketsa


Umumnya anggota Indonesia’s Sketcher adalah desainer grafis, arsitek, atau ilustrator majalah. Jarang yang memang seniman sketsa. Atau bahkan hidup dari sketsa seperti Ipe Ma’ruf. “Saya bisa menyekolahkan ke delapan anak saya sampai jenjang kuliah dari sketsa lho,” ungkapnya.

Ipe atau Ismet Pasha Ma’ruf awalnya pelukis otodidak. Itu lantaran keinginan untuk menjadi pelukis tidak direstui ibunya. Pada 1955 ia merantau ke Yogyakarta sendiri dan berniat belajar di Akademi Seni rupa Indonesia.

Tanpa biaya, Ipe berniat belajar langsung saja dengan pelukis Affandi. Hanya saja, waktu itu Pak Affandi seakan ‘nggabur’ atau tidak memberikan pelajaran secara khusus. Oleh salah satu pengajar ASRI, Ipe disuruh menggambar dan menggambar terus menerus. Hanya itu. Sampai akhirnya Ipe berkesimpulan, bahwa gurunya adalah dirinya sendiri.

Walaupun dijuluki raja sketsa, Ipe tidak semata-mata bergelut dengan sketsa. Pria yang lahir pada 11 November 1938 itu juga merambah media lain seperti cat minyak dan akrilik. Itu lantaran seperti memenuhi kewajiban dari gelar pelukis yang juga disandangnya. Namun, bagaimanapun hatinya tetap tertambat pada sketsa. Selain pelukis, Ipe juga lumayan lama menyelami dunia ilustrasi. Ia menjadi ilustrator di sejumlah majalah seperti Kawanku, Bobo, Kartini, dan Horison mulai dahun 80—90-an. Karya-karya Ipe sebagian dipamerkan di rumahnya (kalau tidak salah Cibubur). Lainnya dipamerkan di Galeri Millenium Jakarta Selatan.***

Beberapa data diambil dari 1001 Words, Asmayani Kusrini.

7 komentar:

  1. luar biasa.... bisa jadi teladan para sketcher muda

    BalasHapus
  2. pengen banget bisa nyeket29 Oktober 2010 pukul 00.14

    salam kenal...saya liat videonya di you tube waktu pak ipe menggambar mbak dengan korek api

    BalasHapus
  3. Rudi: Pak Ipe memang salah satu senior sketcher yang bisa kita contoh ^^
    Pengen banget bisa nyeket: Salam kenal juga :)

    BalasHapus
  4. Dia adalah kakek saya saya mengenalnya namanya Ismet pasha ma'ruf dia menikah dengan haji djamilah tinggal di Jalan swadaya IV bersama anak terakhirnya(Amel)Kehilangan istri pada tahun 2004 sehingga menikah lagi pada tahun 2010 dengan (saya tidak mau menyebut namanya karena saya benci dia) saya akan sebutkan kedelapan anaknya

    1.Pandu
    2.Ismet
    3.Verdi
    4.Amar(Ayah saya)
    5.Ade
    6.Doni
    7.Fitri
    8.Amel

    sekian thx

    BalasHapus
    Balasan
    1. maaf apa anaknya yang bernama doni itu "Donor Mukmin" ???

      Hapus
  5. kalau ga sekitar tahun 1994 beliau tinggal di sekitaran pondok kopi jakarta timur, tinggal bersama anaknya yang jilbabnya panjang. Saya pernah ke rumahnya sekali. Niatnya mau belajar sketsa langsung sama pak ipe. Pas ketemu pak ipe, eh langsung disuruh nyeket teman anaknya yang waktu itu lagi bertamu.Saya grogi waktu itu.Selanjutnya karena tekad saya tidak kuat, modal uang sedikit dan lokasi rumah yang jauh, daan mogot pondok kopi, akhirnya hanya sekali itu saya mengunjungi pak ipe. Saya terkesan dengan gaya sketsa pak ipe, natural dan goresan garisnya tegas

    BalasHapus
  6. Mohon Maaf bagi anda kolektor pecinta seni lukis karya ipe Ma'ruf dan Pandu Ipe anaknya Kami menyediakan hasil karyanya untuk Dilelang dan Dijual Kunjungi di http://pasarseni-dimas.blogspot.com

    BalasHapus