Sekitar 40 fotografer berkumpul di halaman Sarinah Departement Store. Salah satunya saya. Walau belum ada bayangan apa yang harus dilakukan, saya ikutan saja di acara PhotoWalk sore itu. Tepat pukul 4, Bisma—koordinator Jakarta Photo Walk—memulai acara. “Tantangan hari ini adalah memotret lingkungan yang menurut orang awam tidak menarik,”
Berbeda dengan kota tua, atau museum, kali ini peserta memang menyusuri jalan biasa. Jalan yang biasa yaitu: ada pedagangnya, pengemisnya, bajajnya, dan orang lalu lalang. Kami berjalan dari Sarinah, menuju Jalan Sabang, Jalan Jaksa, dan kembali ke tempat semula.
Sambil beristirahat di tengah jalan, saya mengobrol dengan Bisma. Salah satunya bertanya mengapa mengadakan acara di tempat itu.
“Bosan,” katanya.
Ia bertutur bahwa kebanyakan fotografer sekarang hanya memotret model, termasuk Bismo yang lulusan Jurnalis Unpad itu. Model adalah objek yang memang sudah menarik. Sedangkan di jalanan, kita harus mencari objek-objek yang menarik atau membuat objek supaya menarik. Itulah tantangannya.
“Seharusnya fotografer juga mendekatkan diri di masyarakat,” katanya. Syukur-syukur kalau ada konstribusi kepada masyarakat itu, tambahnya.
Setelah berkeliling dan memotret, saya jadi kepikiran. Di antara bidang fotografi, mungkin fotografi jurnalis-lah yang paling sulit. Dikatakan sukar karena tidak ada rumusnya. Tidak ada teori khusus membuat tukang bajaj tertawa. Rumus membuat gerobak sate melintas di background yang menarik juga tidak ada. Semuanya kembali pada interaksi si fotografer dengan objek yang difotonya. Selain itu, keberuntungan, ketelatenan, dan kejelian menangkap objek yang menarik.
Interaksi fotografer dengan objek yang difoto sebenarnya sangat penting. Ini mengingatkan saya pada nasihat Deniek G Sukarya di bukunya mengenai memotret human interest:
“Bagi saya yang terbaik membuat foto-foto manusia adalah dengan pendekatan pribadi yang tulus, melalui senyum, percakapan, dan interaksi lain untuk menciptakan keakraban dan rasa nyaman. Ketika merasa sudah diterima, barulah saya mengutarakan keinginan saya untuk membuat foto mereka. Saya hampir tidak pernah menemukan orang yang menolak, bahkan ketika saya minta mereka berpose, senyum, atau melakukan kegiatan yang sedang mereka lakukan,”
Teori pendekatan itulah yang masih sulit dilakukan orang seperti saya. Saya cenderung pengin hasil instan. Padahal, perlu banyak waktu dan ketelatenan untuk berinteraksi. Teori pendekatan itu juga yang mungkin tidak banyak dimiliki para fotografer, meski sudah jago dalam teknis fotografi.
Sore itu saya mendapatkan beberapa foto. Nantinya saya ingin ikut lagi acara yang baru diadakan dua kali itu. Masih banyak hal yang perlu saya pelajari. Fotografi memang tidak sesederhana yang dibayangkan. Tidak hanya soal keindahan, tetapi ada nilai sosial dan kehangatan hubungan antara manusia dan lingkungannya.***
Berbeda dengan kota tua, atau museum, kali ini peserta memang menyusuri jalan biasa. Jalan yang biasa yaitu: ada pedagangnya, pengemisnya, bajajnya, dan orang lalu lalang. Kami berjalan dari Sarinah, menuju Jalan Sabang, Jalan Jaksa, dan kembali ke tempat semula.
Sambil beristirahat di tengah jalan, saya mengobrol dengan Bisma. Salah satunya bertanya mengapa mengadakan acara di tempat itu.
“Bosan,” katanya.
Ia bertutur bahwa kebanyakan fotografer sekarang hanya memotret model, termasuk Bismo yang lulusan Jurnalis Unpad itu. Model adalah objek yang memang sudah menarik. Sedangkan di jalanan, kita harus mencari objek-objek yang menarik atau membuat objek supaya menarik. Itulah tantangannya.
“Seharusnya fotografer juga mendekatkan diri di masyarakat,” katanya. Syukur-syukur kalau ada konstribusi kepada masyarakat itu, tambahnya.
Setelah berkeliling dan memotret, saya jadi kepikiran. Di antara bidang fotografi, mungkin fotografi jurnalis-lah yang paling sulit. Dikatakan sukar karena tidak ada rumusnya. Tidak ada teori khusus membuat tukang bajaj tertawa. Rumus membuat gerobak sate melintas di background yang menarik juga tidak ada. Semuanya kembali pada interaksi si fotografer dengan objek yang difotonya. Selain itu, keberuntungan, ketelatenan, dan kejelian menangkap objek yang menarik.
Interaksi fotografer dengan objek yang difoto sebenarnya sangat penting. Ini mengingatkan saya pada nasihat Deniek G Sukarya di bukunya mengenai memotret human interest:
“Bagi saya yang terbaik membuat foto-foto manusia adalah dengan pendekatan pribadi yang tulus, melalui senyum, percakapan, dan interaksi lain untuk menciptakan keakraban dan rasa nyaman. Ketika merasa sudah diterima, barulah saya mengutarakan keinginan saya untuk membuat foto mereka. Saya hampir tidak pernah menemukan orang yang menolak, bahkan ketika saya minta mereka berpose, senyum, atau melakukan kegiatan yang sedang mereka lakukan,”
Teori pendekatan itulah yang masih sulit dilakukan orang seperti saya. Saya cenderung pengin hasil instan. Padahal, perlu banyak waktu dan ketelatenan untuk berinteraksi. Teori pendekatan itu juga yang mungkin tidak banyak dimiliki para fotografer, meski sudah jago dalam teknis fotografi.
Sore itu saya mendapatkan beberapa foto. Nantinya saya ingin ikut lagi acara yang baru diadakan dua kali itu. Masih banyak hal yang perlu saya pelajari. Fotografi memang tidak sesederhana yang dibayangkan. Tidak hanya soal keindahan, tetapi ada nilai sosial dan kehangatan hubungan antara manusia dan lingkungannya.***
wah kerennnnn keren.....aq suka bgt foto2 di sini, serius!
BalasHapusMakasih Nes :)
BalasHapus