Jumat, 03 Mei 2013

Tergiur Arisan

Pernah menemukan lembaran tawaran arisan di ATM? Nah, saya hobi untuk mengoleksi selebaran segala bentuk arisan macam itu, meski tak ikut arisannya. Biasanya selebaran-selebarannya itu tersedia cukup bertumpuk di mesin ATM. Bentuknya sih segala jenis, tapi polanya sama. Hanya beda di testimoni dan nama arisannya.  Sistemnya kita diajak untuk mengcopy dan menyebarkan selebaran tersebut. Selebaran itu berisi ajakan untuk mentransfer, biasanya 4—5 rekening, masing-masing sebesar Rp 20-ribu. Misalnya:

Tingkat I Rekening Ori
Tingkat II Rekening Ega
Tingkat III Rekening Mirzani
Tingkat IV Rekening Arya
Tingkat V Rekening Esti

Selanjutnya, orang baru yang berminat arisan--sebut saja bernama Erna--akan mencopy selebaran tersebut, dan mengganti namanya di tingkat V. Setelah diganti, masing-masing orang dinaikkan levelnya, dimana nama tingkat pertama dihilangkan. Selanjutnya ia perbanyak lagi selebarannya, dan sebarkan ditempat-tempat strategis, terutama ATM. Formatnya seperti ini:

Tingkat I Rekening Ega--> Nama di level pertama dihilangkan.
Tingkat II Rekening Mirzani
Tingkat III Rekening Arya
Tingkat IV Rekening Esti
Tingkat V Rekening Erna ---> Erna di sini.

Selanjutnya, Erna akan menyebarkan pamflet itu kepada sebanyak mungkin orang, dengan petunjuk yang sama: Transfer masing-masing Rp 20-ribu pada rekening yang tercantum di atas, selanjutnya sebarkan pamflet. Selanjutnya seperti cara tadi, mengganti nama di tingkat V daftar rekening yang tertera dengan nama si penerima pamflet yang ingin bergabung. Misal, penerima pamflet tersebut bernama Risky, maka susunannya menjadi sebagai berikut:

Tingkat I Rekening Mirzani --> Nama Ega hilang
Tingkat II Rekening Arya
Tingkat III Rekening Esti
Tingkat IV Rekening Erna --> Erna bergeser ke tingkat IV
Tingkat V Rekening Risky --> Nama Risky dimasukkan

Seumpama pamflet yang disebar sebanyak 100 lembar, dan 20 orang tergiur akan mentransfer, maka keuntungan tingkat pertama yang didapat Erna adalah Rp 20-ribu x 20 = Rp 400.000
Apabila kedua puluh orang itu menyebarkan pamflet sebesar 100 lembar dan dari pamflet itu terjaring lagi 20 orang, maka keuntungan yang didapat Erna adalah 20 x20 x Rp 20-ribu = Rp 8.000.000. Di tingkat berikutnya, apabila skema itu terus berulang, maka akan terjadi kelipatan keuntungan sebagai berikut:
Rp 160.000.000
Rp 3.200.000.000
Dengan catatan, setiap orang yang menerima pamflet menjalankan tugasnya dengan sungguh-sungguh, mencantumkan rekening Erna dan lain-lain sesuai tingkatannya. Agar sistem ini sukses, di pamflet biasanya dicantumkan kisah-kisah sukses, bahkan kata-kata bijak berbau religius.

Kisah Pak X
“Sehabis sholat subuh, saya mampir ke ATM untuk mengambil uang. Kebetulan, bulan pemilik kontrakan sudah menagih uang kontrakan, sementara saya agak kebingungan karena butuh uang untuk berobat anak, serta membayar kebutuhan-kebutuhan lainnya. Namun, tak disangka, pas saya cek saldo, angka yang tertera mencapai 150-juta-an. Saya kucek mata saya untuk memastikan ATM tersebut tidak rusak atau error. Saya pikir itu duit salah kirim. Tapi saya ingat-ingat lagi. Saya pernah iseng-iseng ikut arisan gotong royong beberapa waktu lalu. Hanya dengan tempo sebulan, saya mendapat transferan sebanyak itu. Saya langsung mengucap syukur. Biaya berobat anak pun terlunasi. Terimakasih arisan gotong royong.”

Atau bisa juga dilengkapi slogan-slogan:
Ciri orang yang gagal adalah orang yang tidak fokus, terlalu banyak pertimbangan tak jelas.
Ciri lain orang gagal adalah penakut, khawatir dan penuh curiga.

Meski bisnis itu berbasis kerelaan-rela untuk mentransfer uangnya, saya nggak minat. Kasihan kalau nanti ada yang apes udah nyebarin selebaran dan punya mimpi selangit eh nggak dapat transferan sama sekali.

Meski begitu, menurut saya, skema gali lubang tutup lubang ala brosur lembaran ini justru lebih 'jujur' dibandingkan sistem lain seperti marketing bertingkat. Bedanya, di multilevel marketing, ada produk yang dijual, baik itu barang atau jasa. Kata motivasinya adalah: biarkan uang bekerja untuk Anda, bukannya Anda bekerja untuk uang. Ingin pensiun dini dengan passive income yang sanggup membeli apartemen di Singapura? Yang paling apes memang adalah orang yang terbujuk tergabung ikut MLM, tapi dia sendiri tak mampu merekrut orang. Alih-alih merekrut bawahan baru, menjual produknya pun kesulitan.

Kemarin, teman mencoba mendaftar kerja partime mengelem benang teh celup. Bagaimana orang tidak tertarik? Mengelem sebanyak 200 kantong akan mendapat komisi Rp 70-ribu. Pengeleman dikerjakan di rumah. Pun pekerjaan itu berkualifikasi sangat longgar:
Pria, wanita umur 17—65 tahun atau sudah punya KTP.
Pendidikan: SD, SMP, SMA, Sarjana.
Karena tertarik, teman saya itu tertarik mendaftar. Itung-itung sebagai pekerjaan sambilan bagi ia dan teman-temannya yang masih mahasiswa. Selanjutnya mereka menuju kantor X yang mengadakan rekruitmen tersebut berbekal brosur bertuliskan agen yang harus dibawa.

Di kantor yang cukup mentereng dan dijaga satpam itu dia diminta membayar uang administrasi Rp 5-ribu. Selanjutnya ia langsung diminta wawancara kerja. Di bagian wawancara, ia disodori formulir pendaftaran, berisi nama, tempat tanggal lahir, alamat, telepon, sampai dengan pendidikan. Kemudian, ia diberi penjelasan cara pengeleman, hak dan kewajiban, dan cara pendaftaran.

Oleh pewawancara, selain ada komisi pengeleman, ada juga komisi atau gaji bulanan. Disebutkan dengan menjadi anggota pasif mendapatkan komisi Rp50-ribu setiap bulan, seumur hidup. Komisi akan makin meningkat bagi anggota aktif yang nyebar brosur. Makin banyak yang mendaftar berdasarkan brosur yang bertuliskan nama anggota tersebut, maka komisinya makin banyak? Komisi yang diberikan setiap orang yang membawa brosur dan mendaftar adalah Rp 55-ribu, diberikan kepada agen penyebar brosur alias anggota aktif. Nah, pertanyaannya, dari mana uang komisi tersebut? Masak iya dari perusahaan bagi-bagi duit? Tentu saja tidak. Duitnya ya berasal dari 'arisan'. Artinya, setiap orang yang mendaftar harus membayar Rp 250.000 sebelum diberi bahan untuk ngelem teh celup. Jadi, seseorang dianggap sah mendaftar ketika membayar uang sebesar Rp 250-ribu sekali seumur hidup itu.

Apakah sistem-sistem arisan yang tadi saya kemukakan tersebut penipuan gaya baru atau ide brilian yang menguntungkan banyak pihak, silakan timbang-timbang sendiri. Yang jelas, di formulir pendaftaran PT X itu tertulis:
Ciri-ciri orang yang akan sukses adalah:
1. Mempunyai keinginan dan tujuan yang jelas.
2. Mempunyai keberanian dalam mengambil keputusan.
3. Berani berjuang (ada kerja keras).
4. Berani berkorban (ada biaya dalam meraih sukses).
5. Dapat dipercaya dan adil.

Anda berani? Berani berkorban? Tertarik untuk sukses? Mangga saja.

Rabu, 10 April 2013

Berdamai dengan Flu

Kemarin saya seharian terharu alias pilek. Ingus encer keluar tak jemu dari lubang hidung. Kemana-mana sangu tisu. Mau selonjor nggak enak, mau mbaca kok dikit-dikit terganggu si ingus, mau nonton TV rasanya pedes lihat layarnya.

Saya sering nggak sabar menghadapi flu. Itu dulu. Sekarang walau tetap sebal, saya coba untuk lebih legawa. Sakit itu ya tandanya harus istirahat. Titik. Nggak meminum obat flu. Kalau dulu, ketika belum jatuh kena flu, hanya berupa gejala saja saya minum antibiotik. Maklum, dulu persediaan antibiotik begitu melimpah karena ibu saya perawat yang hobi minum obat. Saat itu di rumah saya juga melimpah obat sakit kepala. Mau sakit apa aja juga obatnya itu. Mau sakit kepala, gigi, sampai menstruasi ya minum itu. Padahal, logikanya jelas, kalau setiap sakit gigi kita mengandalkan si obat, kemungkinan kita akan justru malas ke dokter gigi. Kuman-kuman akan berlanjut mengebor gigi demi gigi.

Semenjak saya mulai terpapar TV (sekolah dasar), saya memang sangat terpengaruh iklan-iklan di TV. Kalau sakit flu ya minum obat flu. Kalau sariawan ya beli Vitamin C. Biar kuat ya minum susu. Padahal ada banyak yang melontarkan bahwa sakit-sakit semacam itu nggak perlu minum obat. Supaya kuat itu ya olahraga dan makan yang bergizi. Nggak perlu suplemen, atau tambahan vitamin.

Boleh saja produsen obat-obatan selalu mengatakan kalsium atau vitamin kita kurang. Kemudian mereka mengklaim dengan meminum produk mereka, maka kebutuhan vitamin tercukupi. Namun, sebenarnya ada yang perlu dipertimbangkan sebelum mengonsumsi obat-obatan, suplemen, atau vitamin itu. Kata dokter Anto, kita sebaiknya menggunakan obat secara rasional. Intinya sih gini:
  1. Flu itu disebabkan oleh virus. Minum antibiotik bukan penyelesaian masalah karena antibiotik hanya untuk melawan bakteri. Cara melenyapkannya mudah, tunggu dengan sabar, cukup istirahat, dan makan buah-buahan serta sayuran.
  2. Kalau batuk karena flu, nggak usah minum obat batuk. Batuk merupakan mekanisme tubuh untuk mengeluarkan dahak. Kalau batuk sampai menahun, baru dicari sebabnya.
  3. Vitamin tambahan itu nggak perlu, hanya pada kasus-kasus yang sangat gawat saja. Vitamin tambahan, misal vitamin C yang kadar tinggi justru memperberat ginjal. Penuhi Vitamin C hanya dari buah-buahan dan sayuran.
  4. Diare, nggak usah minum obat penyetop diare. Cukup banyak minum. Racun justru akan cepat keluar ketika tidak meminum obat stop diare. Kalaupun butuh perawatan, minumlah oralit (yang bisa dibikin sendiri)
  5. Harus sangat cermat , dan tanyakan setiap resep secara jelas kepada dokter, kenapa meresepkan itu.
  6. Pilih selalu obat generik.
  7. Semua vitamin dan mineral yang baik hanya berasal dari MAKANAN SUNGGUHAN, bukan suplemen. 
  8. Tak perlu sabun antiseptik. Cucilah tangan dengan sabun biasa. Antiseptik justru malah membunuh bakteri baik.

Saya sih percaya saja kata-kata dokter itu. Toh, kalaupun nggak bener, setidaknya saya akan menghemat biaya untuk obat flu, vitamin, atau antibiotik.  Saya juga dapat lebih hemat ketika memilih obat generik.

Beberapa waktu yang lalu saya kena migrain berkali-kali. Selama hampir dua minggu leher saya kaku. Mau beli obat yang disarankan dokter eh mahal. Tapi bukan faktor itu yang membuat saya enggan beli. Saya cuma mikir, kalau ada obat yang langsung meredakan migrain tepat di sasaran, menurut saya malah bahaya. Itu karena sehabis minum obat, saya merasa baik-baik saja dan terus melakukan aktivitas yang menyibukkan.

Selang sehari, saya putuskan ke tukang pijat saja. Di sana, sambil mengurut, si tukang pijat langsung memvonis, ini kebanyakan nonton komputer ya Mbak? Iya, jawab saya (padahal saya belum cerita-cerita). Kata dia resepnya hanya, kurangi komputer, setiap selesai shalat melakukan senam pernapasan. Dan, yeah, gejala pegel yang tak sembuh-sembuh selama lebih dari seminggu itu langsung berangsur hilang.

Meminum obat penghilang sakit memang menggiurkan. Dunia tampak kembali ceria. Tapi sayangnya tubuh yang teriak-teriak minta istirahat jadi nggak terdengar. Teriakan itu justru dibungkam. Padahal, si tubuh ingin beristirahat, ingin mengisi kembali bagian-bagian yang telah rusak. Jangan-jangan jika terus dicuekin, si tubuh 'putus asa' untuk mengabarkan sinyal-sinyal dan suatu saat bisa 'meletus' gejala yang  justru bisa berbahaya (duh jangan ya). Oleh sebab itu, pikir saya ada baiknya flu lebih disikapi dengan legawa, daripada dengan menggerutu atau berusaha melenyapkannya dengan terburu-buru.  



Sabtu, 26 Januari 2013

Sepeda, Lego, dan Celana Bayi


Pulang membeli makan malam, saya dan kakak perempuan saya, Nano, mampir ke toko perlengkapan bayi di Jalan Magelang, Yogyakarta. Saya usul ke situ karena saya sendiri belum pernah mampir ke toko yang agak suram temaram itu.

Menurut saya, toko itu lebih mirip depot daging sapi dibanding toko baju bayi. Meski begitu Nano langsung mengiyakan usulan saya untuk mampir. Ia kepingin melihat-lihat sepeda untuk anaknya Tholo yang berumur 1 tahun 9 bulan itu.

Masuk di gerbang toko, Tholo, keponakan saya sudah menjerit-jerit,
“Naik-naiiik!” begitu teriaknya tiada henti sambil menunjuk mobil-mobilan yang terpajang. Kami tidak mengijinkannya naik. Maklum, begitu naik dia akan susah dibawa pulang.

Akhirnya dengan menggendong paksa Tholo, kakak saya bisa menjelajah toko. Mulai dari sepeda bayi, sampai baju-baju. Uniknya di toko itu, setiap pelanggan seperti kami dikawal oleh seorang pramuniaga. Bak pembelanja pribadi di gerai mahal, ia mengikuti kami dengan selalu sigap menjawab pertanyaan yang kami ajukan.

Sewaktu di bagian sepeda bayi, kakak saya bertanya.
“Ini berapa, Mbak?” sambil menunjuk sepeda ukuran sedang.
“Dua ratus dua puluh lima, Mbak,” jelas Mbak Pramuniaga.
“Oooh,” kata kakak saya.
“Kalau yang ini?”
“Seratus enam puluh lima.”
Berikutnya kakak saya makin aktif bertanya. Melihatnya hanya bertanya-tanya dan belum mengambil keputusan, saya bertanya lagi dengan lebih gamblang kepada si Mbak-mbak pramuniaga.
“Yang paling murah yang mana, Mbak?”
“Ini yang paling murah. Seratus empat puluh lima.”
“Oooh, kataku.”

Kakak saya juga manggut-manggut. Setelah bagian sepeda itu, Mbak Pramuniaga masih tampak sabar mengikuti kami berdua, walaupun saya yakin, ia sudah melihat bahwa kami bukanlah calon pembeli yang prospektif.

Selanjutnya, mata saya beralih pada lego anak-anak yang berukuran besar. Saya pun bertanya kembali kepada Pramuniaga yang memakai kaus warna pink itu.
“Ini berapa Mbak?” ujar saya sambil menunjuk lego yang paling besar.
“Tujuh ratus ribu,” jawabnya.
“Apaaa? Tujuh ratus ribu?” ucap saya spontan.
Melihat muka saya yang terbengong, Mbaknya kemudian merinci harga lego lainnya satu persatu. Yang saya heran, dia hapal sekali.
“Yang ini, 76-ribu, yang ini 67-ribu, bla-bla-bla,” jelasnya. Mungkin ada sekitar 9 macam lego yang ada di situ.

Melihat saya yang hanya mengangguk-angguk tak antusias, ia tetap gigih dengan coba menawarkan harga lego yang terendah.
“Nah, yang ini 19-ribu.”
“Oke, terimakasih,” jawab saya singkat sambil ngacir.

Selanjutnya, mungkin setelah melihat kami adalah calon pembeli tingkat E (calon pembeli sangat sangat sangat tidak potensial), saat kakak saya melihat-lihat celana bayi, si pramuniaga dengan cepat menyesuaikan keadaan.
“Nah, ini yang celana bayi yang murah, cuma Rp 9-ribu,” katanya sambil mengangsurkan contoh celana yang paling murah kepada kakak saya. Mungkin pikir Mbak Pramuniaga tiada guna menawarkan celana mahal.
“Ehm,” kata saya sambil nelan ludah. “Warnanya norak banget ya.”

Kakak saya hanya nyengir. Setelah berterimakasih pada si Mbak, kami mengembalikan celana dan keluar Toko. Saya tidak mau menebak-nebak pikiran si Mbak Pramuniaga karena toh pasti dia juga sudah maklum. Entah sudah pelanggan ke berapa yang serupa dengan kami hari ini.

Sebelum saya mengambil motor, Nano berusul lagi.
“Eh, kita ke toko sebelah yuk.”
“Lha ini motornya? Boleh parkir di sini?”
“Boleeeeh,” katanya pede sambil menggendong Tholo.
Kami berdua pun berjalan menuju toko perlengkapan bayi sebelah.

Selanjutnya adegan itu terulang lagi:
“Yang ini berapa Mbak? Yang itu berapa Mbak?” tanya kakak saya sambil tunjuk-tunjuk sepeda bayi yang dipajang. Bedanya, lokasinya di toko sebelah.
Beberapa saat kemudian terdengar juga rengekan Tholo. Kali ini ia tak mau diturunkan dari salah satu sepeda.

“Naik-naiiiik!”

Kamis, 01 November 2012

Sabar, ya.

Bagaimana kalau besok pagi saya mendapati panggilan telepon berkode negara Swedia yang menyatakan saya pemenang nobel fisika?

Reaksi saya yang pertama pastilah mengira sedang masuk supertrap. Bagaimana mungkin saya bisa menang nobel fisika? Jangankan mengontrol partikel kuantum, pertanyaan bakul tentang berapa harga pepaya 0,6 kg bila harga per kilonya Rp 4.500 saja saya gagap.

Dari situ bisa saya tarik kesimpulan, ada satu yang hilang di dalam keberhasilan yang instan, yaitu proses. Tanpa ingat bahwa kita pernah berproses, penghargaan apapun akan terasa hampa. Alih-alih bikin bangga, penghargaan tanpa proses bisa membawa celaka.

Contoh kasus, seorang anak dimasukkan ke Fakultas Kedokteran oleh orang tuanya ‘dengan paksa’. Tapi apakah kemudian bisa memastikan bahwa si Anak bisa bertahan di lingkungan kuliahan itu perkara lain. Kalau nggak kuat, malah bisa stres. Ada yang bilang, lulus kuliah itu lebih sulit dibanding masuknya.

Sehari-hari banyak kita lihat, betapa proses kurang dihargai. Memasak sendiri untuk anak atau pasangan itu repot dan lama. Apalagi kalau si anak memalingkan mulut tanda nggak doyan hasil masakan yang dibuat dengan repot itu. Apesnya lagi kalau pasangan ngeluh masakannya nggak seenak rendang di warung sebelah.

Sungguh, saat itu lebih gampang beli ayam goreng, masak mi instan, atau memberi biskuit bayi untuk anaknya. Padahal satu-satunya cara untuk mendapatkan makanan yang sehat, berkualitas, dan murah adalah dengan memasak sendiri. (Perkecualian kalau si kepala rumah tangga mampu mengundang Adhika Maxi untuk masak di rumahnya).

Lomba adu cepat dan dulu-duluan nggak cuma terjadi di lingkup keluarga. Perusahaan telekomunikasi bersaing menciptakan layanan super cepat. Nggak ada ceritanya layanan internet yang bersemboyan jagonya lambat. Yang ada super cepat, fast, anti lelet, dan lain sebagainya. Pun, secepat-cepatnya internet, orang masih mengeluh kalau 24 jam dalam sehari itu nggak cukup untuk mengerjakan segala sesuatunya.

Ada yang bilang, kota tempat saya tinggal mempunyai moto Jogja slowly Asia. Padahal menurut saya Jogja nggak Slowly lagi. Jaman dulu, simbah saya itu berangkat kerja pagi, dan pulang jam satu siang. Sisa waktu kerja bisa digunakan untuk bercengkerama dan kegiatan kampung.

Sekarang, perilaku tergesa-gesa, instan, terlihat di berbagai sudut Jogja. Suara klakson tak sabaran yang menyuruh maju sebelum lampu berganti hijau merajalela. Iming-iming kaya dadakan pun makin menggila. Tengoklah iklan ajakan seminar *Beli Properti Tanpa Uang Tanpa Utang*. Saya pun yakin, nantinya seminar *Beli Properti Tanpa Ngapa-ngapain* pasti jauh lebih laku.

Dunia tempat tinggal kita yang penuh ketergesaan membuat situasi makin absurd. Orang mulai berandai-andai agar semua barang termasuk kunci mobil bisa di-missed called. So, kalau ketlingsut di suatu tempat nggak perlu waktu untuk mencarinya. Menyakiti dan meminta maaf sudah semudah proses undo dan redo.

Sampai-sampai lengan kekar dan otot kotak-kotak bukan lagi representasi orang yang giat bekerja melainkan orang yang gemar fitness.

Nggak terbayang kalau pelayan rumah makan mengatakan ini,
“Maaf, nasi di dalam nasi goreng pesanan Anda masih ada di sawah. Mohon ditunggu.”

Bagi sebagian orang, ada yang menganggap saya ini orang yang pesimis dan jarang bermimpi untuk kaya. Meski begitu, sebenarnya saya punya mimpi lho. Yaitu tidur siang di rerumputan di Kebun Raya Bogor yang menjadi rumah saya, sambil menunggu dengan santai datangnya telepon bernomor Swedia.

Senin, 29 Oktober 2012

Jaman ‘Grusa-grusu’


“Saya rasa organisasi X harus dibubarkan,” jelas seorang yang mengaku agamawan.

“Tapi pak, terus kalau dibubarkan mau apa selanjutnya? Bukankah dengan pendekatan dialog lebih baik?” tanya si pembawa acara.

“Dialog bagaimana? Mereka itu sudah ada sejak 80-an tahun yang lalu! Jadi dialog tidak ada gunanya,” jelas si Ulama.

Agama—seperti pakaian—perlu dijauhkan dari segala noda. Untuk itulah, perbedaan aliran di dalam agama itu sendiri biasanya lebih meruncing dibanding pertikaian antar agama. Kebalikannya, agama yang berseberangan justru jauh dari tuduhan, karena nggak ada unsur miripnya.

Membubarkan aliran ‘sesat’ bagi sebagian orang dianggap membereskan segalanya. ‘Kita sama, maka kita ada.’

“Bagaimana cara mendamaikan keyakinan kami yang bertolak belakang? Dengan cara menghapuskan salah satunya? Hanya itukah caranya?”
The 19th Wife-David Ebershoff-476.

Padahal, pembubaran aliran atau keyakinan itu tak gampang. Sesukar membuat nasi dari bubur. Jangankan aliran, bahkan untuk mengubah pola pikir aja sulitnya minta ampun.

Contohnya, saya percaya Tuhan itu berjenis kelamin laki-laki. Meski dari kecil diajarkan bahwa Tuhan tidak berjenis kelamin, tetapi sosok laki-laki dalam Tuhan tetap saja melekat di otak. Susah membayangkan Tuhan bersifat perempuan.

Dari kecil, Tuhan saya bayangkan serupa kakek-kakek tua yang bijaksana—bukan nenek atau perempuan muda yang cantik. Yang jelas bukan perempuan, karena kata Pak Ustad perempuan itu biang gosip dan calon penghuni neraka yang terbanyak.

"Dalam perjalanan hidupku, aku telah bertemu dengan orang-orang yang mengaku tidak percaya lagi kepada Tuhan dan Kristus, tetapi mereka menikah di gereja dan ingin dimakamkan di bawah batu salib. Pada saat kematian yang agung tiba, dengan masa depan abadi yang tidak diketahui, hanya sedikit orang yang benar-benar siap untuk menentang semua yang didoktrin benar kepada mereka.” The 19th Wife-David Ebershoff-393

Hal itu sedikit banyak menjelaskan perilaku manusia seperti: naik haji tapi tetep memalsukan nota dinas, hobi selingkuh tapi tetap sembahyang teratur, poligami dengan membawa alasan takut berzina, terdakwa  korupsi yang selalu tak lepas dari kata ‘Astaughfirullah dan berserah kepada Allah’, dan keanehan lainnya.

Bukannya menyatakan penulis tulisan ini ‘suci’—nggak gitu. Tapi keanehan bisa dengan mudah kita lihat. Baik di dalam diri atau dalam kotak bercahaya bernama TV.

Saya maklum kok. Karena tak lain tak bukan, itu karena masa depan manusia yang katanya serba nggak jelas. Sembahyang atau kebaikan dilakukan karena takut masuk neraka. Pun ada Ustad yang bilang bahwa ‘Lulus Ujian Nasional itu nggak penting, lebih penting ibadah.’ Yeah, karena menurut Al-Kitab lulus UNAS bukan jaminan masuk surga.

Sayangnya, yang katanya agama diutamakan, urusan duniawi malah jadi terabaikan. Orang sibuk berlomba-lomba beribadah dengan memisahkan matematika, IPA, IPS dari agama. Tawuran diselesaikan dengan menambah jumlah jam pelajaran agama—tanpa mempelajari akar permasalahannya. Pun pencegahan demam berdarah dicegah dengan mewajibkan berpakaian arabiah dibanding melakukan 3M.

Selanjutnya, liberal, non liberal, kanan, kiri pun menjadi penting sepenting Gangnam Style. Masyarakat juga semakin sibuk men-stabilo perbedaan untuk membedakan teman atau lawan.

Mungkin inilah zaman grusa-grusu, serba kesusu, serba instan. Bukannya makin mendalami kebenaran, malah sibuk menyesat-nyesatkan. Bukannya sibuk belajar, malah rajin tawuran. Semuanya pengen serba cepat: urusan beres. Menyesat-nyesatkan bertujuan pengen tetap dikukuhkan sebagai yang paling benar. Tawuran bermaksud pengen segera membuat kapok orang. Caranya bisa apa saja.

Siapa bilang duniawi itu jelek? Kan kehidupan setelah dunia kan diawali dengan duniawi yang baik dulu. Mungkin dengan sedikit melihat hal-hal duniawi, kita bisa lebih melihat persamaan di atas perbedaan, kesabaran di atas kemarahan, dan bisa mencari celah kesalahan-kesalahan yang dari dulu selalu kita benar-benarkan. 

Sabtu, 06 Oktober 2012

Empati

Setiap hari, ada tetangga ‘gila’ yang mondar-mandir di belakang rumah. Saya sering berpapasan, ketika menuntun motor ke luar, atau menggunting tanaman. Sejak saya berumur 4 tahun, saya sudah mengabaikannya. Ia tak pernah saya sapa, atau sekadar berani menatap matanya.

Orang gila itu sudah saya cap menakutkan sejak kecil. Meski ia tak pernah sekalipun merugikan. Tingkahnya hanya mondar-mandir tanpa tujuan di jalanan kampung, tetapi tidak lebih jauh dari itu. Bahkan, kata ‘gila’ itu sendiri saya juga yang mengasosiasikan. Ia adalah kata yang sudah tertanam, baik gila, nggak waras, kurang satu ons, dan kata lain yang selaras dengan gila.

Dulu sampai sekarang, saya selalu was-was dan penuh prasangka. Jangan-jangan kalau disenyumi, dia naksir saya atau berbuat sesuatu yang gila. Padahal belum pernah sekalipun saya buktikan. Saya menghakiminya sejak dulu. Sejak Mami—Ibu saya bercerita, bahwa orang gila itu pernah bilang ingin menikah dengan Mami, meski maaf, Ibu saya itu udah tua, nggak cantik dan sudah punya banyak anak.

Oke, cantik itu relatif. Kadang memang tabu untuk diungkapkan, tetapi yang jelas Mami tipe-tipe yang nggak akan masuk di sampul Majalah MORE.

Saya selalu dan selalu menghakimi. Bertindak kejam dengan mengabaikan. Menganggap dia itu hantu. Hantu—yang sampai kapanpun tidak pernah saya akui sebagai makhluk yang punya perasaan. Saya sudah terlanjur menempelkan stigma gila. Dengan ‘spidol Snowman permanent’.

Saya tidak pernah mencoba peduli. Dengan tersenyum, menyapa, atau ngajak ngobrol. Itu karena sama dengan mencoba sesuatu yang gila. Beresiko. Mending cari aman. Yaitu pengabaian.

Teman saya pasti akan mengatakan saya GE-ER-an. Tapi akan saya tanggapi, ‘Ya udah, coba Anda saja yang senyam-senyum sama dia. Itung-itung amal.’

Stigma yang saya tempel, baik atau buruk jelas-jelas buruk. Bagaimana cara menakar baik buruknya? Ya dengan ber-empati—kata yang sekarang makin ditinggalkan. Kok bisa? Hal itu bisa kita lihat dalam diri dan sekitar kita. Haji dipandang sebagai hal yang terbaik padahal tetangganya tiap hari cuma makan indomie. Orang-orang hanya sibuk menyalahkan pemerintah dan cukup puas bila sudah nyetatus di facebook atau ngetweet tanpa ada hal nyata-nyata dilakukan untuk memperbaiki negara yang sudah morat-marit.

Kembali pada orang gila, kemudian saya berandai-andai. Jika saya jadi dia maka... Hmm... tentu saya merasa sedih. Kalau dia benar-benar gila sehingga nggak peduli apakah saya senyum atau koprol sih mungkin tidak menyakiti dia. Tapi kalau dia kumat-kumatan bahkan sudah sembuh, apa nggak miris tuh perasaannya, tiap hari dicuekin tetangga? Jelas saya berlumuran dosa.

Sehingga, ketika ada anak tetangga yang bilang,
“Keyla masuk neraka.”
Keyla adalah salah satu teman bermainnya, yang masih hidup tentunya.
“Kok bisa?” saya mengernyit.
“Ya iya, karena dia nakal.”
“Kok kamu bisa mastiin dia masuk neraka?” tanya saya.

Dia tidak menjawab. Tapi ada satu yang pasti, bahwa anak itu sudah mulai terpengaruh untuk mengadili orang bahkan sebelum mereka mati. Mengadili, memberi stigma, memberi cap, yang kemungkinan besar bisa meleset.

Jangan-jangan yang bilang Keyla masuk neraka lebih nakal? Jangan-jangan, saya lebih gila daripada orang yang saya cap gila? Jangan-jangan...

Ah sudahlah. Saya teruskan lagi menggunting tanaman dan memilih mengabaikannya.

Jumat, 30 Maret 2012

Ada Manusia, yang Lain Diharap Minggir

Suatu saat saya boker. Belum sempat keluar apapun, terdengar sebuah kecipak di kloset. Saya tengok: walah, seekor tikus yang gelagapan sedang berusaha keluar dari kubangan kloset. Hiiiiiyyyy...

Saya tidak berteriak histeris itu sih. Segera saya tutup pintu kamar mandi dan mengambil tongkat. Entah mungkin karena takut digebuk tiba-tiba bisa merangkak keluar dari kloset. Saya dan Mbak Pri—asisten rumah tangga—mengejar-ngejar tikus itu. Tikus itu sukses meloloskan diri melewati sebuah lubang kecil yang terhubung dengan rumah tetangga.

Awalnya saya agak traumatis. Takut di dalam kloset terdapat another tikus. Tapi toh karena hasrat kebelet ya gimana lagi. Mungkin tikus itu tergelincir di dalam kloset dan tidak bisa meloloskan diri. Sehingga ia malah menyelam dan terjebak di situ. Dan ketika akhirnya ia mau keluar, eh, malah melihat pantat saya. Lalu saya berpikir, ia pasti lebih ketakutan dan traumatis daripada saya.

Super serakah

Ketika membayangkan peristiwa itu, saya mulai menyadari bahwa saya adalah makhluk yang serakah. Pokoknya, saya ingin rumah saya bersih. Nggak boleh ada kecoa, nyamuk, tikus, lalat, apalagi ular dan tomcat!!

Bapak saya pernah cerita. Dulu, waktu bapak saya kecil, di molo (balok yang menopang rangka atap) sering terlihat ular mondar-mandir mencari tikus. Namun, lama kelamaan tidak ada lagi ular-ular karena hunian di sekitar kami semakin padat.

Nah, giliran si pemangsa tikus hilang, meledaklah populasi tikus. Dan sekarang saya menggerutu karena banyak tikus. Namun saya tidak membayangkan saya akan memelihara ular untuk membasminya: mengingat kucing tak lagi berburu tikus.

Burung yang nyasar di ruang perpustakaan rumah.
Mungkin karena rumah mereka sudah banyak terusik saya.

Manusia selalu ingin keadaan ideal bagi mereka, namun tak pernah ideal bagi kaum lainnya. Bahkan kalau di suatu rumah ada hantunya, terpaksa paranormal bertindak dan membujuk si makhluk halus pindah lokasi. Pokoknya tempat tinggal manusia ya manusia! Nggak boleh ada yang mengganggu.

Belum lagi kalau ada serangan semacam ulat bulu. Memang tidak sedikit yang takut dengan makhluk bernama ulat. Padahal, peristiwa seperti itu merupakan suatu siklus, bahkan bisa membantu pertumbuhan tanaman. Tapi kejadian seperti itu justru ditanggapi berlebihan dengan menyemprotkan pestisida ke mana-mana. Padahal, dengan menyemprotkan pestisida, konsumen yang paling terimbas adalah manusia karena ia merupakan makhluk di pucuk piramida makanan.

Ulat hitam

Beberapa bulan lalu, serangan ulat juga terjadi pada tanaman daun ungu saya. Tanaman itu bopeng-bopeng dimakan ulat hitam yang menyeramkan. Namun, beberapa bulan kemudian banyak kupu-kupu cantik di rumah saya. Selain itu tanaman daun ungunya kembali tumbuh subur. Indahnya kupu-kupu yang berterbangan di sekitar saya itu suatu saat juga akan bertelur di daun, dan kembali terdapat ulat-ulat yang memakan dedaunan itu. Hal itu sangat alami bukan?

Untungnya serangan tomcat yang terjadi akhir-akhir ini ditanggapi secara berbeda. Media massa sudah semakin cerdas dengan membuat judul berita: tomcat sahabat petani. Penyemprotan juga dilakukan dengan pestisida organik. Menurut saya itu awal yang bagus untuk ‘bersahabat’ dengan makhluk lainnya. Saya tidak bisa membayangkan kalau manusia tetap mengadakan berbagai permusuhan dengan makhluk-makhluk yang sejatinya berguna itu.