Senin, 17 Januari 2011

Udan Ora Udan Ngejazz!

Udan Ora Udan Ngejazz! Itulah yang berulangkali diteriakkan pembawa acara Ngayogjazz 2011. Artinya, hujan atau tidak, musik jazz tetap dilantunkan. Hal itu untuk membuat ratusan penonton tetap semangat meski terus diguyur hujan.

Semakin malam, penonton semakin memenuhi pelataran Djoko Pekik. Hujan terus menerus membuat lapangan berumput itu becek. Namun, keadaan itu tak menyurutkan minat penonton untuk menyaksikan aksi para pemain jazz. Begitu juga saya yang ketagihan nonton acara seperti itu.

Penampilan Syaharani di Ngayogjazz 2011, banyak diminati penonton

Alasan saya suka acara jazz simpel. Itu karena saya selalu merasa puas melihat aksi-aksi pemainnya walaupun tidak kenal semua lagunya. Instrumen bas adalah favorit saya. Bukannya saya bisa main bas, namun saya sering kegirangan melihat pemain memainkan basnya. Keren^^

Acara yang dikoordinasi oleh Djaduk Ferianto itu sebagian besar diminati kaum muda. Tak jarang mereka tidak kenal penyanyi/pemain yang tampil. Namun, toh mereka tetap setia menyimak. Mungkin sebagian akibat penasaran karena belum pernah menonton event jazz, atau mungkin memang bertujuan kencan di malam minggu. Terbukti dari percakapan-percakapan mereka yang selalu bertanya-tanya siapa yang sedang tampil.

Kaki saya basah, penuh lumpur, dan nggak keren karena karena berselubung jas hujan. Keadaan itu juga dialami pengunjung lainnya. Pertunjukan yang diramaikan artis lokal dan nasional itu memang tak pilih kasih. Tidak ada tiket VVIP, VIP, atau festival. Baik yang naik mobil atau pun motor harus rela berjalan jauh dan berlepotan lumpur. Selain itu kesamaan lainnya: semua penonton berdiri.

Penampilan Komunitas Jazz Semarang (Kalau tidak salah^^)

Risiko mengadakan di tempat ‘terpencil’ adalah perkara transportasi. Awalnya, saya dan teman saya kesulitan menemukan lokasinya akibat tiadanya penunjuk jalan. Ternyata menuruti peta di internet tidaklah cukup. Akibatnya di tengah guyuran hujan, saya dan teman saya musti tanya sana sini untuk mencapai tempatnya.

Mungkin bagi sebagian orang, berbecek-becek, berdesakan, dan tidak di bawah tiupan AC membuat orang kapok. Namun, saya justru bersemangat. Itu penyeimbang bagi pertunjukan-pertunjukan jazz mahal yang dibanderol ratusan ribu sampai jutaan (singkatnya lihat saja harga tiket java jazz). Dengan harga yang mahal, cuma pemusik dan orang-orang yang melek internet yang datang. Tetapi ketika diadakan di tempat yang tidak terisolasi akan kemewahan, jazz bisa diminati siapa saja.

Selain menghibur masyarakat secara langsung, kegiatan ini juga melibatkan peran warga sekitar. Kantong-kantong parkir kebanyakan ditempatkan di rumah penduduk. Sehingga walaupun tidak nonton pun, tetap kecipratan rejekinya. Berbeda ketika pertunjukan diadakan di gedung pertunjukan milik pemerintah atau swasta. Bukankah tujuan orang menghibur adalah membahagiakan sebanyak mungkin orang?

Kamis, 13 Januari 2011

Inilah Jogja

Saya baru saja pulang dari hiruk pikuk Jakarta. Karena belum punya SIM, salah satu kendaraan yang saya andalkan adalah sepeda milik kakak. Itu karena tanpa kendaraan pribadi, akses kemana-mana susah. Seperti yang kita tahu, angkutan di Jogja itu ibarat mati bukan, hidup segan.

Dengan becak, saya malah sering nggak tega sama tukang becaknya. Karena tak tega, saya nggak bisa cuma ngasih uang nge-pas sama mereka. Walaupun, mungkin pengayuh roda tiga itu sudah biasa dikasih yang nggak seberapa. Jadinya ya boros kalau naik becak terus-terusan.

Naik sepeda di Jogja itu banyak enaknya. Parkir umumnya gratis, atau kalaupun bayar cuma Rp500. Itu pun saya rasa tukang parkirnya ga protes kalau nggak dikasih. Lha wong sepeda=kendaraan orang cilik.


Kakak ipar saya di ruang tunggu sepeda, perempatan Malioboro, Yogyakarta*

Ada benarnya Pemerintah Kota Jogja memberikan fasilitas-fasilitas menarik bagi pesepeda. Misal, tanda penunjuk arah untuk pesepeda dan jalan khusus .Ada juga ruang tunggu lampu lalu lintas di depan pengendara motor lainnya. Oleh sebab itu, orang seperti saya ini merasa diuwongke atau dihargai. Meski hanya naik sepeda.

Di tukang mie pun, saya menikmati rasanya diuwongke. Waktu itu hujan deras dan saya dalam perjalanan membeli bakmie jawa. Saya bersepeda menggunakan jas hujan dan helm standar (kira-kira tampang saya mirip ultraman). Sampai tukang mie, sepeda saya parkir di gubug samping bakul mie itu.
“Sudah, taruh di situ mbak, nanti saya masukkan,” kata mas-mas itu dengan bahasa jawa.
Sepanjang menunggu selama 1,5 jam itu sepeda saya dijaga mas-mas itu. Setelah mie saya matang dan akan mengambil sepeda, saya ulurkan uang Rp2.000 (karena ga ada uang receh).
“Nggak usah mbak,” jelasnya sambil menolak uang itu.
Wah, sebuah kata-kata yang jarang saya dengar ketika di Jakarta dulu.

Di kantor polisi (saat ujian SIM) pun juga begitu. Ketika saya cari-cari tukang parkir untuk membayar, ia juga menolak. “Nggak usah,” jelasnya.
Memang, menurut saya rata-rata sepeda tidak terlalu dituntut bayar parkir. Semoga senyum dan keikhlasan bapak dan mas parkir itu menambah kegairahan warga Jogja untuk bersepeda. Sehingga, apabila nanti jogja macet, macet karena sepeda dan becak yang tidak menimbulkan asap hitam menyesakkan :D

*Foto: Niken Terate Sekar

Selasa, 11 Januari 2011

Belanja, Koran, dan TV

Saya kesal.
Ruangan itu nyaris kosong. Padahal belum jam pulang. Bukan juga jam istirahat. Saya masuk, dan tak satupun menyapa saya. Jangankan menyapa, saya pun bingung harus bicara dengan siapa.

TV yang menyetal lagu campursari keras-keras berpendar di tengah ruangan. Tidak ada yang tampak ingin dilihat atau sungguh-sungguh didengar. Itu karena 3 orang di luangan setengah lapanan basket itu diisi tiga orang:
1. Baca koran
2. Ibu-ibu yang sedang memilih-milih baju yang ditawarkan pedagang

Hanya satu orang saja yang tampak di depan komputer dan mengerjakan sesuatu.

Tujuan saya ke salah satu kantor pemerintah itu untuk mendapatkan kejelasan mengenai data yang saya butuhkan. Pasalnya, data yang disediakan instansi di perpustakaan itu tidak lengkap, eh malah tidak ada dink! Saya diminta petugas perpus untuk ke ruangan yang membuat data tersebut. Jadi, bukan salah saya donk, mengganggu ketenangan bapak-bapak dan ibu-ibu yang tengah bersantai siang itu.

Saya bertanya pada ibu-ibu yang sedang bertransaksi dagang itu. Oh, kalau mau tanya, ke pak itu lho mbak. Kemudian saya lihat bapak di pojokan yang berbaju putih itu. Dan jadilah ia melayani saya. Di tengah-tengah melayani, terdengar dering telepon.
“Mbak, saya jemput anak saya dulu ya,” kata Bapak itu.
Menurut percakapan yang tidak sengaja saya dengar, anaknya minta dijemput sepulang sekolah. Jadilah saya yang mengalah berhadapan sendirian dengan data yang ia sodorkan. Beberapa bisa dipakai, tetapi ada data yang amat ruwet dan perlu diolah kembali. Data tersebut tercantum di kertas lembaran lebar 70 cm-an setebal 10 cm-an. Wew... kalau saya olah mending saya jadi pegawai situ...

Di ruangan itu terdapat sekitar 30 meja. Tidak ada seperempatnya terisi, walaupun nampaknya meja-meja itu punya penghuni masing-masing. Yah, anggap saja sedang kunjungan kerja. Kan sekarang marak tuh, kunjungan kerja. Bahkan yang menghabiskan lebih dari separuh APBD. Sayangnya memang tidak ada jluntrung hasil atau setidaknya laporan.

Sepulang dari kantor, saya ditanya rekan dari mana. Setelah tahu saya dari kantor itu, dia tanya. Kantornya sepi ya? Lagi pada nonton TV ya?
Owalaaah... ternyata emang sudah langganan seperti itu. Ya saya berbaik sangka aja. Mungkin kunjungan kerjanya berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun kali yaa...

Saya sudah sering melihat hal-hal jamak seperti itu di berbagai instansi. Berangkat siang, pulang kecepetan. Ember sih, kalau pulang kesorean bakalan maceeet.. Maklum, jakarta raya... Sebenarnya kemacetan itu berkah lho, karena bisa digunakan sebagai alasan. Kalau jum'at, kantor buka lebih siang. Biasa, senam dulu... Setelah senam, biasanya ada pameran yang jual aneka produk rumah tangga di halaman atau di dalam gedung. Enak lho, setelah olah fisik dengan olahraga, berikutnya segarkan pikiran dengan belanja. Benar-benar mengolah Mind, Body and Soul :)