Jumat, 03 Mei 2013

Tergiur Arisan

Pernah menemukan lembaran tawaran arisan di ATM? Nah, saya hobi untuk mengoleksi selebaran segala bentuk arisan macam itu, meski tak ikut arisannya. Biasanya selebaran-selebarannya itu tersedia cukup bertumpuk di mesin ATM. Bentuknya sih segala jenis, tapi polanya sama. Hanya beda di testimoni dan nama arisannya.  Sistemnya kita diajak untuk mengcopy dan menyebarkan selebaran tersebut. Selebaran itu berisi ajakan untuk mentransfer, biasanya 4—5 rekening, masing-masing sebesar Rp 20-ribu. Misalnya:

Tingkat I Rekening Ori
Tingkat II Rekening Ega
Tingkat III Rekening Mirzani
Tingkat IV Rekening Arya
Tingkat V Rekening Esti

Selanjutnya, orang baru yang berminat arisan--sebut saja bernama Erna--akan mencopy selebaran tersebut, dan mengganti namanya di tingkat V. Setelah diganti, masing-masing orang dinaikkan levelnya, dimana nama tingkat pertama dihilangkan. Selanjutnya ia perbanyak lagi selebarannya, dan sebarkan ditempat-tempat strategis, terutama ATM. Formatnya seperti ini:

Tingkat I Rekening Ega--> Nama di level pertama dihilangkan.
Tingkat II Rekening Mirzani
Tingkat III Rekening Arya
Tingkat IV Rekening Esti
Tingkat V Rekening Erna ---> Erna di sini.

Selanjutnya, Erna akan menyebarkan pamflet itu kepada sebanyak mungkin orang, dengan petunjuk yang sama: Transfer masing-masing Rp 20-ribu pada rekening yang tercantum di atas, selanjutnya sebarkan pamflet. Selanjutnya seperti cara tadi, mengganti nama di tingkat V daftar rekening yang tertera dengan nama si penerima pamflet yang ingin bergabung. Misal, penerima pamflet tersebut bernama Risky, maka susunannya menjadi sebagai berikut:

Tingkat I Rekening Mirzani --> Nama Ega hilang
Tingkat II Rekening Arya
Tingkat III Rekening Esti
Tingkat IV Rekening Erna --> Erna bergeser ke tingkat IV
Tingkat V Rekening Risky --> Nama Risky dimasukkan

Seumpama pamflet yang disebar sebanyak 100 lembar, dan 20 orang tergiur akan mentransfer, maka keuntungan tingkat pertama yang didapat Erna adalah Rp 20-ribu x 20 = Rp 400.000
Apabila kedua puluh orang itu menyebarkan pamflet sebesar 100 lembar dan dari pamflet itu terjaring lagi 20 orang, maka keuntungan yang didapat Erna adalah 20 x20 x Rp 20-ribu = Rp 8.000.000. Di tingkat berikutnya, apabila skema itu terus berulang, maka akan terjadi kelipatan keuntungan sebagai berikut:
Rp 160.000.000
Rp 3.200.000.000
Dengan catatan, setiap orang yang menerima pamflet menjalankan tugasnya dengan sungguh-sungguh, mencantumkan rekening Erna dan lain-lain sesuai tingkatannya. Agar sistem ini sukses, di pamflet biasanya dicantumkan kisah-kisah sukses, bahkan kata-kata bijak berbau religius.

Kisah Pak X
“Sehabis sholat subuh, saya mampir ke ATM untuk mengambil uang. Kebetulan, bulan pemilik kontrakan sudah menagih uang kontrakan, sementara saya agak kebingungan karena butuh uang untuk berobat anak, serta membayar kebutuhan-kebutuhan lainnya. Namun, tak disangka, pas saya cek saldo, angka yang tertera mencapai 150-juta-an. Saya kucek mata saya untuk memastikan ATM tersebut tidak rusak atau error. Saya pikir itu duit salah kirim. Tapi saya ingat-ingat lagi. Saya pernah iseng-iseng ikut arisan gotong royong beberapa waktu lalu. Hanya dengan tempo sebulan, saya mendapat transferan sebanyak itu. Saya langsung mengucap syukur. Biaya berobat anak pun terlunasi. Terimakasih arisan gotong royong.”

Atau bisa juga dilengkapi slogan-slogan:
Ciri orang yang gagal adalah orang yang tidak fokus, terlalu banyak pertimbangan tak jelas.
Ciri lain orang gagal adalah penakut, khawatir dan penuh curiga.

Meski bisnis itu berbasis kerelaan-rela untuk mentransfer uangnya, saya nggak minat. Kasihan kalau nanti ada yang apes udah nyebarin selebaran dan punya mimpi selangit eh nggak dapat transferan sama sekali.

Meski begitu, menurut saya, skema gali lubang tutup lubang ala brosur lembaran ini justru lebih 'jujur' dibandingkan sistem lain seperti marketing bertingkat. Bedanya, di multilevel marketing, ada produk yang dijual, baik itu barang atau jasa. Kata motivasinya adalah: biarkan uang bekerja untuk Anda, bukannya Anda bekerja untuk uang. Ingin pensiun dini dengan passive income yang sanggup membeli apartemen di Singapura? Yang paling apes memang adalah orang yang terbujuk tergabung ikut MLM, tapi dia sendiri tak mampu merekrut orang. Alih-alih merekrut bawahan baru, menjual produknya pun kesulitan.

Kemarin, teman mencoba mendaftar kerja partime mengelem benang teh celup. Bagaimana orang tidak tertarik? Mengelem sebanyak 200 kantong akan mendapat komisi Rp 70-ribu. Pengeleman dikerjakan di rumah. Pun pekerjaan itu berkualifikasi sangat longgar:
Pria, wanita umur 17—65 tahun atau sudah punya KTP.
Pendidikan: SD, SMP, SMA, Sarjana.
Karena tertarik, teman saya itu tertarik mendaftar. Itung-itung sebagai pekerjaan sambilan bagi ia dan teman-temannya yang masih mahasiswa. Selanjutnya mereka menuju kantor X yang mengadakan rekruitmen tersebut berbekal brosur bertuliskan agen yang harus dibawa.

Di kantor yang cukup mentereng dan dijaga satpam itu dia diminta membayar uang administrasi Rp 5-ribu. Selanjutnya ia langsung diminta wawancara kerja. Di bagian wawancara, ia disodori formulir pendaftaran, berisi nama, tempat tanggal lahir, alamat, telepon, sampai dengan pendidikan. Kemudian, ia diberi penjelasan cara pengeleman, hak dan kewajiban, dan cara pendaftaran.

Oleh pewawancara, selain ada komisi pengeleman, ada juga komisi atau gaji bulanan. Disebutkan dengan menjadi anggota pasif mendapatkan komisi Rp50-ribu setiap bulan, seumur hidup. Komisi akan makin meningkat bagi anggota aktif yang nyebar brosur. Makin banyak yang mendaftar berdasarkan brosur yang bertuliskan nama anggota tersebut, maka komisinya makin banyak? Komisi yang diberikan setiap orang yang membawa brosur dan mendaftar adalah Rp 55-ribu, diberikan kepada agen penyebar brosur alias anggota aktif. Nah, pertanyaannya, dari mana uang komisi tersebut? Masak iya dari perusahaan bagi-bagi duit? Tentu saja tidak. Duitnya ya berasal dari 'arisan'. Artinya, setiap orang yang mendaftar harus membayar Rp 250.000 sebelum diberi bahan untuk ngelem teh celup. Jadi, seseorang dianggap sah mendaftar ketika membayar uang sebesar Rp 250-ribu sekali seumur hidup itu.

Apakah sistem-sistem arisan yang tadi saya kemukakan tersebut penipuan gaya baru atau ide brilian yang menguntungkan banyak pihak, silakan timbang-timbang sendiri. Yang jelas, di formulir pendaftaran PT X itu tertulis:
Ciri-ciri orang yang akan sukses adalah:
1. Mempunyai keinginan dan tujuan yang jelas.
2. Mempunyai keberanian dalam mengambil keputusan.
3. Berani berjuang (ada kerja keras).
4. Berani berkorban (ada biaya dalam meraih sukses).
5. Dapat dipercaya dan adil.

Anda berani? Berani berkorban? Tertarik untuk sukses? Mangga saja.

Rabu, 10 April 2013

Berdamai dengan Flu

Kemarin saya seharian terharu alias pilek. Ingus encer keluar tak jemu dari lubang hidung. Kemana-mana sangu tisu. Mau selonjor nggak enak, mau mbaca kok dikit-dikit terganggu si ingus, mau nonton TV rasanya pedes lihat layarnya.

Saya sering nggak sabar menghadapi flu. Itu dulu. Sekarang walau tetap sebal, saya coba untuk lebih legawa. Sakit itu ya tandanya harus istirahat. Titik. Nggak meminum obat flu. Kalau dulu, ketika belum jatuh kena flu, hanya berupa gejala saja saya minum antibiotik. Maklum, dulu persediaan antibiotik begitu melimpah karena ibu saya perawat yang hobi minum obat. Saat itu di rumah saya juga melimpah obat sakit kepala. Mau sakit apa aja juga obatnya itu. Mau sakit kepala, gigi, sampai menstruasi ya minum itu. Padahal, logikanya jelas, kalau setiap sakit gigi kita mengandalkan si obat, kemungkinan kita akan justru malas ke dokter gigi. Kuman-kuman akan berlanjut mengebor gigi demi gigi.

Semenjak saya mulai terpapar TV (sekolah dasar), saya memang sangat terpengaruh iklan-iklan di TV. Kalau sakit flu ya minum obat flu. Kalau sariawan ya beli Vitamin C. Biar kuat ya minum susu. Padahal ada banyak yang melontarkan bahwa sakit-sakit semacam itu nggak perlu minum obat. Supaya kuat itu ya olahraga dan makan yang bergizi. Nggak perlu suplemen, atau tambahan vitamin.

Boleh saja produsen obat-obatan selalu mengatakan kalsium atau vitamin kita kurang. Kemudian mereka mengklaim dengan meminum produk mereka, maka kebutuhan vitamin tercukupi. Namun, sebenarnya ada yang perlu dipertimbangkan sebelum mengonsumsi obat-obatan, suplemen, atau vitamin itu. Kata dokter Anto, kita sebaiknya menggunakan obat secara rasional. Intinya sih gini:
  1. Flu itu disebabkan oleh virus. Minum antibiotik bukan penyelesaian masalah karena antibiotik hanya untuk melawan bakteri. Cara melenyapkannya mudah, tunggu dengan sabar, cukup istirahat, dan makan buah-buahan serta sayuran.
  2. Kalau batuk karena flu, nggak usah minum obat batuk. Batuk merupakan mekanisme tubuh untuk mengeluarkan dahak. Kalau batuk sampai menahun, baru dicari sebabnya.
  3. Vitamin tambahan itu nggak perlu, hanya pada kasus-kasus yang sangat gawat saja. Vitamin tambahan, misal vitamin C yang kadar tinggi justru memperberat ginjal. Penuhi Vitamin C hanya dari buah-buahan dan sayuran.
  4. Diare, nggak usah minum obat penyetop diare. Cukup banyak minum. Racun justru akan cepat keluar ketika tidak meminum obat stop diare. Kalaupun butuh perawatan, minumlah oralit (yang bisa dibikin sendiri)
  5. Harus sangat cermat , dan tanyakan setiap resep secara jelas kepada dokter, kenapa meresepkan itu.
  6. Pilih selalu obat generik.
  7. Semua vitamin dan mineral yang baik hanya berasal dari MAKANAN SUNGGUHAN, bukan suplemen. 
  8. Tak perlu sabun antiseptik. Cucilah tangan dengan sabun biasa. Antiseptik justru malah membunuh bakteri baik.

Saya sih percaya saja kata-kata dokter itu. Toh, kalaupun nggak bener, setidaknya saya akan menghemat biaya untuk obat flu, vitamin, atau antibiotik.  Saya juga dapat lebih hemat ketika memilih obat generik.

Beberapa waktu yang lalu saya kena migrain berkali-kali. Selama hampir dua minggu leher saya kaku. Mau beli obat yang disarankan dokter eh mahal. Tapi bukan faktor itu yang membuat saya enggan beli. Saya cuma mikir, kalau ada obat yang langsung meredakan migrain tepat di sasaran, menurut saya malah bahaya. Itu karena sehabis minum obat, saya merasa baik-baik saja dan terus melakukan aktivitas yang menyibukkan.

Selang sehari, saya putuskan ke tukang pijat saja. Di sana, sambil mengurut, si tukang pijat langsung memvonis, ini kebanyakan nonton komputer ya Mbak? Iya, jawab saya (padahal saya belum cerita-cerita). Kata dia resepnya hanya, kurangi komputer, setiap selesai shalat melakukan senam pernapasan. Dan, yeah, gejala pegel yang tak sembuh-sembuh selama lebih dari seminggu itu langsung berangsur hilang.

Meminum obat penghilang sakit memang menggiurkan. Dunia tampak kembali ceria. Tapi sayangnya tubuh yang teriak-teriak minta istirahat jadi nggak terdengar. Teriakan itu justru dibungkam. Padahal, si tubuh ingin beristirahat, ingin mengisi kembali bagian-bagian yang telah rusak. Jangan-jangan jika terus dicuekin, si tubuh 'putus asa' untuk mengabarkan sinyal-sinyal dan suatu saat bisa 'meletus' gejala yang  justru bisa berbahaya (duh jangan ya). Oleh sebab itu, pikir saya ada baiknya flu lebih disikapi dengan legawa, daripada dengan menggerutu atau berusaha melenyapkannya dengan terburu-buru.  



Sabtu, 26 Januari 2013

Sepeda, Lego, dan Celana Bayi


Pulang membeli makan malam, saya dan kakak perempuan saya, Nano, mampir ke toko perlengkapan bayi di Jalan Magelang, Yogyakarta. Saya usul ke situ karena saya sendiri belum pernah mampir ke toko yang agak suram temaram itu.

Menurut saya, toko itu lebih mirip depot daging sapi dibanding toko baju bayi. Meski begitu Nano langsung mengiyakan usulan saya untuk mampir. Ia kepingin melihat-lihat sepeda untuk anaknya Tholo yang berumur 1 tahun 9 bulan itu.

Masuk di gerbang toko, Tholo, keponakan saya sudah menjerit-jerit,
“Naik-naiiik!” begitu teriaknya tiada henti sambil menunjuk mobil-mobilan yang terpajang. Kami tidak mengijinkannya naik. Maklum, begitu naik dia akan susah dibawa pulang.

Akhirnya dengan menggendong paksa Tholo, kakak saya bisa menjelajah toko. Mulai dari sepeda bayi, sampai baju-baju. Uniknya di toko itu, setiap pelanggan seperti kami dikawal oleh seorang pramuniaga. Bak pembelanja pribadi di gerai mahal, ia mengikuti kami dengan selalu sigap menjawab pertanyaan yang kami ajukan.

Sewaktu di bagian sepeda bayi, kakak saya bertanya.
“Ini berapa, Mbak?” sambil menunjuk sepeda ukuran sedang.
“Dua ratus dua puluh lima, Mbak,” jelas Mbak Pramuniaga.
“Oooh,” kata kakak saya.
“Kalau yang ini?”
“Seratus enam puluh lima.”
Berikutnya kakak saya makin aktif bertanya. Melihatnya hanya bertanya-tanya dan belum mengambil keputusan, saya bertanya lagi dengan lebih gamblang kepada si Mbak-mbak pramuniaga.
“Yang paling murah yang mana, Mbak?”
“Ini yang paling murah. Seratus empat puluh lima.”
“Oooh, kataku.”

Kakak saya juga manggut-manggut. Setelah bagian sepeda itu, Mbak Pramuniaga masih tampak sabar mengikuti kami berdua, walaupun saya yakin, ia sudah melihat bahwa kami bukanlah calon pembeli yang prospektif.

Selanjutnya, mata saya beralih pada lego anak-anak yang berukuran besar. Saya pun bertanya kembali kepada Pramuniaga yang memakai kaus warna pink itu.
“Ini berapa Mbak?” ujar saya sambil menunjuk lego yang paling besar.
“Tujuh ratus ribu,” jawabnya.
“Apaaa? Tujuh ratus ribu?” ucap saya spontan.
Melihat muka saya yang terbengong, Mbaknya kemudian merinci harga lego lainnya satu persatu. Yang saya heran, dia hapal sekali.
“Yang ini, 76-ribu, yang ini 67-ribu, bla-bla-bla,” jelasnya. Mungkin ada sekitar 9 macam lego yang ada di situ.

Melihat saya yang hanya mengangguk-angguk tak antusias, ia tetap gigih dengan coba menawarkan harga lego yang terendah.
“Nah, yang ini 19-ribu.”
“Oke, terimakasih,” jawab saya singkat sambil ngacir.

Selanjutnya, mungkin setelah melihat kami adalah calon pembeli tingkat E (calon pembeli sangat sangat sangat tidak potensial), saat kakak saya melihat-lihat celana bayi, si pramuniaga dengan cepat menyesuaikan keadaan.
“Nah, ini yang celana bayi yang murah, cuma Rp 9-ribu,” katanya sambil mengangsurkan contoh celana yang paling murah kepada kakak saya. Mungkin pikir Mbak Pramuniaga tiada guna menawarkan celana mahal.
“Ehm,” kata saya sambil nelan ludah. “Warnanya norak banget ya.”

Kakak saya hanya nyengir. Setelah berterimakasih pada si Mbak, kami mengembalikan celana dan keluar Toko. Saya tidak mau menebak-nebak pikiran si Mbak Pramuniaga karena toh pasti dia juga sudah maklum. Entah sudah pelanggan ke berapa yang serupa dengan kami hari ini.

Sebelum saya mengambil motor, Nano berusul lagi.
“Eh, kita ke toko sebelah yuk.”
“Lha ini motornya? Boleh parkir di sini?”
“Boleeeeh,” katanya pede sambil menggendong Tholo.
Kami berdua pun berjalan menuju toko perlengkapan bayi sebelah.

Selanjutnya adegan itu terulang lagi:
“Yang ini berapa Mbak? Yang itu berapa Mbak?” tanya kakak saya sambil tunjuk-tunjuk sepeda bayi yang dipajang. Bedanya, lokasinya di toko sebelah.
Beberapa saat kemudian terdengar juga rengekan Tholo. Kali ini ia tak mau diturunkan dari salah satu sepeda.

“Naik-naiiiik!”