Rabu, 17 Maret 2010

Do you feel secure?

Kenikmatan hari minggu pagi adalah:
a. Nongkrong di warung nasi uduk
b. Membahas koran hari minggu

Oleh karena itu, walau siangnya saya pergi dan teman saya liputan, kami menyempatkan ritual nongkrong itu. Sebelum saya sempat membaca kolom samuel mulia, ternyata teman saya sudah mendahului. Coba dengar, katanya.

Teman saya membacakan artikel tersebut. Kami tertawa terbahak-bahak. Tumben nih, menarik. Karena pendapat saya, akhir-akhir ini kolom Samuel kurang menarik. Terakhir yang saya ingat menarik yang berjudul ‘harta’.

Artikel yang kami bahas hari itu mengenai cemburu. Si Samuel—yang belum jadian—mengaku cemburu kepada calon pasangannya. Pasalnya, walau belum jadian ia tertarik ke mana dan setiap hal yang ingin calon pasangannya lakukan. Lha, belum jadian kok sudah diliputi cemburu? Kemudian Samuel menganalisis mengapa dia begitu pencemburu.

Alasan pertama karena
a. Sudah lama tidak memiliki hubungan cinta, sehingga ia mudah panik karenanya.
b. Menyadari bahwa ia memang pencemburu. Untuk itu ia ingin belajar mempercayai orang lain. Trust itu penting.

Untuk itu, dia juga menanyai kepada temannya yang mempunyai hubungan lebih dari 13 tahun. Apakah ia memiliki rasa cemburu?
“Pasti ada cemburunya, tetapi aku sih realistis saja. If you feel secure, mengapa harus cemburu?”

Ternyata Samuel merasa tidak secure. Itu karena menurutnya:
a. Secara fisik saya tidak tampan
b. Secara kekayaan saya tidak kaya
c. Secara jiwa saya ini ceplas-ceplos yang membuat orang keder.

“Jadi, kalau ada yang mencintai saya, saya malah jadi curiga, bagaimana dengan kualitas macam itu ada yang mencintai saya. Saya tidak pernah secure, dengan demikian saya tak pernah percaya, maka saya cemburu.”

So, do you feel secure?
Tanya teman saya sambil tertawa terbahak-bahak.


Enaknya punya kakak

Punya kakak itu enak. Alasannya:

a. Sering ditraktir.
b. Bisa dipinjami barang-barang seperti kosmetik, sendal, dan baju-baju.
c. Mendapatkan barang-barang bekas yang masih berkualitas.

Semenjak saya tinggal di Jakarta, poin satu sampai tiga itu mulai berkurang. Pasalnya, dua kakak saya menetap di Jogja dan satu di luar negeri.

Saya mempunyai satu kakak perempuan. Tentu saja, dia paling banyak saya ricuhi. Bagaimana tidak, barang-barang wanita seperti kosmetik—body butter, pelembap, sabun muka, alas bedak—dan peralatan wanita lainnya dimilikinya.

Sewaktu di Jakarta, perlengkapan kost kakak saya pun jauh lebih lengkap. Terutama peralatan menginap seperti handuk, sikat gigi, atau makanan-makanan instan. Biasanya saya ke kostnya tanpa membawa perlengkapan. Kebiasaan saya ini sudah dihapal olehnya. Sehingga ketika saya menginap, tanpa diminta dengan cekatan ia menyorongkan handuk dan sikat gigi.

Karena seringan pinjam, suatu saat saya kena batunya.

Ceritanya, ketika saya pulang ke Jogja, saya lupa membawa pelembap muka. Saya mendatangi kamar kakak untuk meminjam pelembap. Srat srut srat srut saya oleskan di muka. Setelah cukup merata, saya lapisi dengan bedak. Kemudian saya berangkat pergi ke tempat teman.

Esoknya saya berencana meminjam pelembap itu lagi. Waktu itu kakak saya ada di kamarnya.
“Pinjam pelembapnya ya,” kata saya sambil mengaduk-aduk tempat kosmetiknya. Namun, dia berkomentar ketika saya mengambil pelembap yang kemarin saya gunakan.
“Lho, bukan yang itu. Yang satunya. Coba dicari di bawah sini,” katanya sambil ikut mencari-cari. “Nah, ini dia,”

Uuuups.... ternyata yang saya pakai kemarin bukan pelembap. Yang saya oleskan kemarin adalah.... sabun muka. Kedua kemasannya memang hampir sama. Pelembap berkemasan lebih kecil.

Setelah mendapatkan pelembap, saya tidak langsung mengaku kalau kemarin salah menggunakan pelembap. Nah, setelah pulang dari bepergian saya baru mengaku.
“Engg.... sebenernya kmarin aku salah makai pelembap. Yang aku olesin kemarin tuh sabun muka,”

Kakak saya tertawa terbahak-bahak dan bercerita pada suaminya. Kena batunya deh. Ajaibnya, kemarin saya tidak merasakan yang aneh pada kulit saya yang berlapis sabun.***

Bersama kakak perempuan saya.

Jumat, 05 Maret 2010

KRL (1)

Siapa bilang Jakarta macet? Itu pasti kata orang yang tidak naik KRL.

Sepulang bertugas, saya hobi mencari rute pulang yang berbeda-beda. Contohnya seperti sore itu. Saya pulang dari Bogor menggunakan bus. Sebelumnya, pagi hari saya berangkat menggunakan kereta. Namun, ternyata keputusan pulang dengan bus itu agak saya sesali. Lantaran dibanding kereta, bus menghabiskan waktu lebih lama 1,5 jam. Penyebabnya: macet saat jam pulang kantor.

Macet yang bisa membuat jenggotan itu memang bisa dihindari dengan KRL. Saat jalanan macet parah, KRL bebas melenggang membelah ibukota. Jarak UI—Bogor ditempuh selama 40 menit. Perjalanan itu juga tak banyak tersentuh polusi asap kendaraan kota Jakarta. Tidak salah apabila saya menggemari kereta rel listrik atau KRL.

Bersama KRL=Kereta Rel Luarbiasa (murah)

Tarif kereta juga sangat murah. Stasiun Kota sampai Bogor yang berjarak sekitar 56 km ditempuh dengan Rp 2.000; dengan bis Rp 10.000 lebih. Namun, meskipun murah, bukan berarti semua orang rela membeli tiket. Di salah satu stasiun misalnya, penumpang gelap menyeberangi rel ke peron tujuan Bogor. Sebaliknya penumpang gelap asal Jakarta, menyusuri semak-semak untuk menghindari pemeriksaan petugas.***

Klik gambar di atas untuk lebih detail....


Selasa, 02 Maret 2010

Tanam Durian Tumbuh Jamur





Orang bilang tanah kita tanah surga

Tongkat kayu dan batu jadi tanaman

Orang bilang tanah kita tanah surga

Tongkah kayu dan batu jadi tanaman....


Lirik di atas saya ambil dari lagu Koes Plus yang berjudul Kolam Susu. Lagu itu menceritakan betapa suburnya alam Indonesia. Bahkan batu pun bisa jadi tanaman. Sayangnya, ungkapan itu tidak berlaku terhadap biji durian yang saya tanam di kost.

Beberapa minggu lalu, saya mendapatkan durian unik yang ingin saya tanam. Buat koleksi saja sih. Beberapa bijinya sengaja saya simpan, dan sisanya saya coba tanam sendiri. Kebetulan saya mempunyai pot bekas nepenthes yang mati. Rencananya pot tersebut akan saya isi media yang saya beli di toko tanaman terdekat. Untungnya, teman kantor saya mempunyai sisa media yang boleh saya minta.

Esoknya, saya tanam biji Durio oxleyanus di pot yang saya siapkan. Sebelumnya biji direndam beberapa jam agar memicu perkecambahan. Setelah direndam, durian ditanam di media yang lembap. Karena tidak tahu posisi biji yang tepat dalam pot, bijinya divariasi letaknya. Ada yang menancap separuh, ada yang diletakkan horisontal, dan lain sebagainya. Berikutnya, tinggal saya tunggu sampai biji mulai berkecambah.

Praktek menanam biji durian tersebut saya ambil dari sebuah buku. Setelah daging durian dimakan, biji dibersihkan dari kotoran atau daging buah yang menempel. Cuci bersih bijinya, kemudian diangin-anginkan selama beberapa hari. Setelah itu biji siap ditanam dengan terlebih dahulu direndam dengan fungisida selama beberapa jam. Hanya saja, saya malas menggunakan fungisida karena bahan kimia. Oleh karena itu, biji saya rendam saja dan langsung saya tanam.

Sekitar satu minggu, biji itu agak saya terlantar karena banyak kegiatan. Namun, media tetap saya siram sampai cukup lembap. Beberapa hari kemudian... Taraaaaaaa...... Saya dapatkan dua biji durian tersebut ditumbuhi jamur mirip jamur kuping. Sayangnya biji berjamur tersebut lupa saya foto. Dengan dongkol saya buang biji yang berjamur tersebut.

Atas saran teman, sebaiknya saya letakkan biji tersebut ke tempat yang lebih bercahaya. Hal itu masuk akal dilakukan karena mungkin media terlalu lembap. Saya turuti saran itu keesokan harinya. Seminggu kemudian saya tunggu, dan.... belum ada hasilnya juga. Biji tersebut ogah berkecambah sama sekali. Saya kesal. Kok bisa tidak berkecambah juga?

Karena belum berkecambah, teman saya malah ikut nimbrung untuk menanam dua bawang merahnya. Bawang merah tersebut adalah bumbu masakan di kost yang lama tidak dimasak sehingga berkecambah. Tanpa perawatan pula... Sigh....

Bawang merah dan biji durian ditanam dalam satu pot.
Biji durian belum berkecambah sama sekali.

NB: teman saya beranalisis bahwa biji durian yang saya tanam kurang tua:(


Senin, 01 Maret 2010

Kado Hari Lahir

Suatu siang, teman saya minta maaf karena tidak memberi kado ulang tahun—sembari menggaransi pernyataannya. Hal itu membuat saya geli. Tak apa saya bilang. Namun, saya malah jadi teringat kado-kado dari keluarga. Saya ceritakan kepadanya beberapa yang masih saya ingat:

1. Boneka gajah bernama febo.
2. Boneka beruang putih yang kupingnya kebalik.
3. Radio tape kecil.
4. Organizer.
5. Jaket.
6. Dompet (2 buah)—yang satu sudah hilang dicopet.
7. Mukena.
8. Tripod.


Semula saya anggap hal itu biasa, sampai teman tersebut berkomentar, “Wah keluarga yang hobi kado-mengkado ya,”

Hmmm.... benar juga. Umumnya kado-kado yang diberikan melengkapi kebutuhan saya. Misal saya tidak punya dompet, Nano—kakak perempuan saya—mengkado dompet, begitu juga jaket. Atau sekedar hal kesukaan seperti organizer untuk menyalurkan hobi menulis saya.

Kado atau pemberian tidak selalu diberikan waktu tanggal lahir, tetapi juga diberikan di waktu yang tidak terduga. Waktu SMA, saya diberi buku membuat manga oleh Mbinci—kakak saya nomor 3. Giliran saya butuh flashdisk, Mbinci memberikannya. Saya merasa sangat surprise. Padahal, dulu harga flasdisk berukuran 128 mb masih lumayan, dua ratus ribuan.


Kakak-kakak saya—baik Gembil, Nano, dan Mbinci—mengajarkan bahwa memberi bingkisan atau kejutan kepada kerabat atau teman bisa memberi kebahagiaan. Cokelat misalnya, tidak musti diberikan saat valentine. Sesuatu yang kecil apabila kita kemas dengan sepenuh hati, akan memperlihatkan ketulusan dan perhatian kita. Kejutan yang tidak terduga juga dapat memberi senyuman—dan akan bertahan saat orang itu mengingatnya kembali. Syaratnya, tentu saja diberikan dengan tulus.

Mengapa saya menulis ini?

Pagi ini ada flashdisk teronggok di meja kerja saya. Ia rusak sejak beberapa bulan lalu. Sebenarnya, saya jarang menyimpan barang rusak. Namun, flashdisk yang berusia lebih dari 5 tahun itu masih urung saya buang. Saya berencana memdokumentasikan terlebih dahulu sebelum membuangnya. Walaupun tidak berfungsi, media penyimpan jadul itu berjasa membuat saya tersenyum dan teringat akan keluarga.

Flashdisk pemberian Mbinci