Senin, 29 Oktober 2012

Jaman ‘Grusa-grusu’


“Saya rasa organisasi X harus dibubarkan,” jelas seorang yang mengaku agamawan.

“Tapi pak, terus kalau dibubarkan mau apa selanjutnya? Bukankah dengan pendekatan dialog lebih baik?” tanya si pembawa acara.

“Dialog bagaimana? Mereka itu sudah ada sejak 80-an tahun yang lalu! Jadi dialog tidak ada gunanya,” jelas si Ulama.

Agama—seperti pakaian—perlu dijauhkan dari segala noda. Untuk itulah, perbedaan aliran di dalam agama itu sendiri biasanya lebih meruncing dibanding pertikaian antar agama. Kebalikannya, agama yang berseberangan justru jauh dari tuduhan, karena nggak ada unsur miripnya.

Membubarkan aliran ‘sesat’ bagi sebagian orang dianggap membereskan segalanya. ‘Kita sama, maka kita ada.’

“Bagaimana cara mendamaikan keyakinan kami yang bertolak belakang? Dengan cara menghapuskan salah satunya? Hanya itukah caranya?”
The 19th Wife-David Ebershoff-476.

Padahal, pembubaran aliran atau keyakinan itu tak gampang. Sesukar membuat nasi dari bubur. Jangankan aliran, bahkan untuk mengubah pola pikir aja sulitnya minta ampun.

Contohnya, saya percaya Tuhan itu berjenis kelamin laki-laki. Meski dari kecil diajarkan bahwa Tuhan tidak berjenis kelamin, tetapi sosok laki-laki dalam Tuhan tetap saja melekat di otak. Susah membayangkan Tuhan bersifat perempuan.

Dari kecil, Tuhan saya bayangkan serupa kakek-kakek tua yang bijaksana—bukan nenek atau perempuan muda yang cantik. Yang jelas bukan perempuan, karena kata Pak Ustad perempuan itu biang gosip dan calon penghuni neraka yang terbanyak.

"Dalam perjalanan hidupku, aku telah bertemu dengan orang-orang yang mengaku tidak percaya lagi kepada Tuhan dan Kristus, tetapi mereka menikah di gereja dan ingin dimakamkan di bawah batu salib. Pada saat kematian yang agung tiba, dengan masa depan abadi yang tidak diketahui, hanya sedikit orang yang benar-benar siap untuk menentang semua yang didoktrin benar kepada mereka.” The 19th Wife-David Ebershoff-393

Hal itu sedikit banyak menjelaskan perilaku manusia seperti: naik haji tapi tetep memalsukan nota dinas, hobi selingkuh tapi tetap sembahyang teratur, poligami dengan membawa alasan takut berzina, terdakwa  korupsi yang selalu tak lepas dari kata ‘Astaughfirullah dan berserah kepada Allah’, dan keanehan lainnya.

Bukannya menyatakan penulis tulisan ini ‘suci’—nggak gitu. Tapi keanehan bisa dengan mudah kita lihat. Baik di dalam diri atau dalam kotak bercahaya bernama TV.

Saya maklum kok. Karena tak lain tak bukan, itu karena masa depan manusia yang katanya serba nggak jelas. Sembahyang atau kebaikan dilakukan karena takut masuk neraka. Pun ada Ustad yang bilang bahwa ‘Lulus Ujian Nasional itu nggak penting, lebih penting ibadah.’ Yeah, karena menurut Al-Kitab lulus UNAS bukan jaminan masuk surga.

Sayangnya, yang katanya agama diutamakan, urusan duniawi malah jadi terabaikan. Orang sibuk berlomba-lomba beribadah dengan memisahkan matematika, IPA, IPS dari agama. Tawuran diselesaikan dengan menambah jumlah jam pelajaran agama—tanpa mempelajari akar permasalahannya. Pun pencegahan demam berdarah dicegah dengan mewajibkan berpakaian arabiah dibanding melakukan 3M.

Selanjutnya, liberal, non liberal, kanan, kiri pun menjadi penting sepenting Gangnam Style. Masyarakat juga semakin sibuk men-stabilo perbedaan untuk membedakan teman atau lawan.

Mungkin inilah zaman grusa-grusu, serba kesusu, serba instan. Bukannya makin mendalami kebenaran, malah sibuk menyesat-nyesatkan. Bukannya sibuk belajar, malah rajin tawuran. Semuanya pengen serba cepat: urusan beres. Menyesat-nyesatkan bertujuan pengen tetap dikukuhkan sebagai yang paling benar. Tawuran bermaksud pengen segera membuat kapok orang. Caranya bisa apa saja.

Siapa bilang duniawi itu jelek? Kan kehidupan setelah dunia kan diawali dengan duniawi yang baik dulu. Mungkin dengan sedikit melihat hal-hal duniawi, kita bisa lebih melihat persamaan di atas perbedaan, kesabaran di atas kemarahan, dan bisa mencari celah kesalahan-kesalahan yang dari dulu selalu kita benar-benarkan. 

Sabtu, 06 Oktober 2012

Empati

Setiap hari, ada tetangga ‘gila’ yang mondar-mandir di belakang rumah. Saya sering berpapasan, ketika menuntun motor ke luar, atau menggunting tanaman. Sejak saya berumur 4 tahun, saya sudah mengabaikannya. Ia tak pernah saya sapa, atau sekadar berani menatap matanya.

Orang gila itu sudah saya cap menakutkan sejak kecil. Meski ia tak pernah sekalipun merugikan. Tingkahnya hanya mondar-mandir tanpa tujuan di jalanan kampung, tetapi tidak lebih jauh dari itu. Bahkan, kata ‘gila’ itu sendiri saya juga yang mengasosiasikan. Ia adalah kata yang sudah tertanam, baik gila, nggak waras, kurang satu ons, dan kata lain yang selaras dengan gila.

Dulu sampai sekarang, saya selalu was-was dan penuh prasangka. Jangan-jangan kalau disenyumi, dia naksir saya atau berbuat sesuatu yang gila. Padahal belum pernah sekalipun saya buktikan. Saya menghakiminya sejak dulu. Sejak Mami—Ibu saya bercerita, bahwa orang gila itu pernah bilang ingin menikah dengan Mami, meski maaf, Ibu saya itu udah tua, nggak cantik dan sudah punya banyak anak.

Oke, cantik itu relatif. Kadang memang tabu untuk diungkapkan, tetapi yang jelas Mami tipe-tipe yang nggak akan masuk di sampul Majalah MORE.

Saya selalu dan selalu menghakimi. Bertindak kejam dengan mengabaikan. Menganggap dia itu hantu. Hantu—yang sampai kapanpun tidak pernah saya akui sebagai makhluk yang punya perasaan. Saya sudah terlanjur menempelkan stigma gila. Dengan ‘spidol Snowman permanent’.

Saya tidak pernah mencoba peduli. Dengan tersenyum, menyapa, atau ngajak ngobrol. Itu karena sama dengan mencoba sesuatu yang gila. Beresiko. Mending cari aman. Yaitu pengabaian.

Teman saya pasti akan mengatakan saya GE-ER-an. Tapi akan saya tanggapi, ‘Ya udah, coba Anda saja yang senyam-senyum sama dia. Itung-itung amal.’

Stigma yang saya tempel, baik atau buruk jelas-jelas buruk. Bagaimana cara menakar baik buruknya? Ya dengan ber-empati—kata yang sekarang makin ditinggalkan. Kok bisa? Hal itu bisa kita lihat dalam diri dan sekitar kita. Haji dipandang sebagai hal yang terbaik padahal tetangganya tiap hari cuma makan indomie. Orang-orang hanya sibuk menyalahkan pemerintah dan cukup puas bila sudah nyetatus di facebook atau ngetweet tanpa ada hal nyata-nyata dilakukan untuk memperbaiki negara yang sudah morat-marit.

Kembali pada orang gila, kemudian saya berandai-andai. Jika saya jadi dia maka... Hmm... tentu saya merasa sedih. Kalau dia benar-benar gila sehingga nggak peduli apakah saya senyum atau koprol sih mungkin tidak menyakiti dia. Tapi kalau dia kumat-kumatan bahkan sudah sembuh, apa nggak miris tuh perasaannya, tiap hari dicuekin tetangga? Jelas saya berlumuran dosa.

Sehingga, ketika ada anak tetangga yang bilang,
“Keyla masuk neraka.”
Keyla adalah salah satu teman bermainnya, yang masih hidup tentunya.
“Kok bisa?” saya mengernyit.
“Ya iya, karena dia nakal.”
“Kok kamu bisa mastiin dia masuk neraka?” tanya saya.

Dia tidak menjawab. Tapi ada satu yang pasti, bahwa anak itu sudah mulai terpengaruh untuk mengadili orang bahkan sebelum mereka mati. Mengadili, memberi stigma, memberi cap, yang kemungkinan besar bisa meleset.

Jangan-jangan yang bilang Keyla masuk neraka lebih nakal? Jangan-jangan, saya lebih gila daripada orang yang saya cap gila? Jangan-jangan...

Ah sudahlah. Saya teruskan lagi menggunting tanaman dan memilih mengabaikannya.