Jumat, 25 Juni 2010

Makam O.G Khouw


Suatu malam terdengar suara ganjil di salah satu makam di TPU Petamburan. Suara tawa cekikikan itu berasal dari suatu bunker tempat penyimpan jenasah. Ketika didekati, ternyata sumber suara itu bukan berasal dari makhluk halus. Namun, suara tawa nakal orang yang berpacaran.

Begitulah keadaan di makam OG Khouw sebelum diadakan pembenahan oleh teman-teman dari Love Our Heritage. Makam yang konon kemegahannya melebihi makam Rockefeller—milyader asal Amerika—itu amat kotor dan tidak terawat. Tidak seperti makam pada umumnya, makam OG Khouw unik karena dilindungi oleh musoleum—bangunan pelindung makam—yang megah.

Musoleum. Musoleum ini merupakan bangunan segi 8 dengan kubah di atasnya. Tinggi kubah sekitar 7 meter. Dari bangunan itu terlihat bahwa pasangan Khow menyukai motif mawar.

Selama puluhan tahun keadaan musoleum yang dibangun 1910 itu terlantar. Padahal, musoleum ini merupakan peninggalan sejarah yang amat mahal. Pasalnya, dari atas kubah sampai lantai bunker seluruhnya terbuat dari marmer yang didatangkan langsung dari negeri asalnya.

Relief wajah OG Khow yang terletak di tempat penyimpanan jenasah.

Musoleum yang terbesar di Asia Tenggara tersebut berisi makam OG Khouw dan Istrinya Lim Sha Nio adalah tuan tanah pemilik kebun tebu nan luas. Pria yang lahir tahun 1874 itu pemilik bank Than Kie Bank yang terletak di Jl. Pintu Besi, Jakarta. Ia juga merupakan ketua pembangunan rumah sakit Jang Seng Ie, yang sekarang bernama RS Husada.

Pada 1908, rumah beliau diubah menjadi sekolah. Sekolah yang terletak di Jalan Pinagsia itu merupakan sekolah Hollandsche Chinese yang pertama di Batavia. Saat ini sekolah itu menjadi SMA 2 yang terletak di kawasan Gadjah Mada.

Terlantar

Sebelum dibersihkan, keadaan bunker yang dijadikan tempat penyimpanan jenasah itu memprihatinkan. Kala musim hujan lantainya tergenang air—lebih dari 50 cm—lantaran sumur resapan dan saluran air tidak lagi berfungsi. Lantai dasar bunker sepenuhnya tertutup lumpur. Bahkan sebelum dibersihkan, tidak ketahuan bahwa lantainya terbuat dari marmer. Sedangkan dinding bagian atas yang juga terbuat dari marmer kotor dan kusam. Makam penanda juga penuh dengan kotoran burung.


Tangga turunan menuju bunker. Beberapa bagian pegangan tangga yang
berupa marmer hilang dicongkel orang.


Yang lebih memprihatinkan, bagian-bagian dari bangunan tak lagi utuh. Beberapa pegangan di tangga dan meja yang terbuat dari marmer sudah dicongkel. Pintu bunker, bangku-bangku marmer, serta lampu yang terbuat dari kuningan raib. Dinding dan pagar sarat dengan coretan. Untuk mencoret itu gampang. Namun, untuk membersihkannya butuh waktu dan tenaga ekstra. Bahkan, setelah kerja bakti kegiatan vandalisme itu tidak berhenti. Ada coretan baru yang ditorehkan di dinding marmer sebelah gerbang dengan pilox. Parahnya, tulisan itu tidak bisa hilang, hanya bisa ditipiskan.

Prihatin dengan masalah itu, sukarelawan yang tergabung dalam Love Our Heritage mengadakan kerja bakti untuk membersihkan serta merawat peninggalan sejarah itu. Mereka adalah sekelompok orang dengan berbagai latar belakang dan pekerjaan yang peduli dalam mengembangkan kesenian, budaya, dan peninggalan sejarah. Pada 2 Mei dan 6 Juni diadakan bakti royong.
Dinding marmer yang dicorat-coret dengan pilox. Tidak bisa hilang meski sudah dibersihkan.

Setelah bakti royong, bunker yang dulunya dipenuhi lumpur, sampah, dan debu telah bersih. Setiap titik di dalam bunker juga dipasang lampu. Dan yang penting, pintu bunker dibuat kembali. Dua sumur resapan juga telah digali. Pilar-pilar dan makam dibersihkan sehingga terlihat keindahan marmernya. Hanya saja, masih banyak hal yang harus dilakukan untuk melindungi benda yang belum dinyatakan sebagai cagar budaya itu. Dinding atas pintu yang retak, pendokumentasian detail bangunan, sampai pembersihan khusus perlu dilakukan. Kegiatan itu sudah dalam tahap membutuhkan tenaga ahli khusus. Untuk itu, masih perlu dukungan dan kepedulian banyak pihak.***

Perang Sebagai Candu

Pukul 7—11 malam, Alhamdulillah saya bisa menjalankan 4 kegiatan. Yang pertama berbuka puasa di warung capcay, menyetrika semua cucian, mengambil baju di laundry, sekaligus menamatkan novel grafis Nafsu Perang: Sejarah Militerisme Amerika di Dunia



Dari judulnya, saya pikir ini bacaan berat. Maksudnya, setidaknya butuh 2 hari di hari libur. Namun, ternyata butuh 1 jam saja menamatkannya.

Itu karena buku buatan Joel Andreas itu mudah dicerna dan mengalir. Gaya penulisannya pun cukup baik. Alih bahasa dari Tim Profetik juga cukup jelas. Walau hanya 69 halaman, buku itu mampu menceritakan banyak hal, sekaligus mengundang simpati.

Kesan pertama tentang buku itu: provokator bangeeet. Maksudnya, sangat mampu mempengaruhi pembacanya. Buku itu mengingatkan saya pada novel grafis Palestina karangan Joe Sacco.

Buku itu menggambarkan kegemaran AS berperang dan menciptakan perang. Cerita berawal dari pemusnahan etnis Indian Amerika dan perampasan hampir separuh wilayah Meksiko. Bab lainnya bercerita secara gamblang tentang faktor-faktor ekonomi dibalik ambisi kolonialisme AS. Dengan baik buku itu juga mengilustrasikan mahalnya biaya militer di AS.

"Sejak 1948, AS telah menghabiskan lebih dari lima belas triliun dolar untuk membangun kekuatan militer. Nilainya melebihi seluruh hasil buatan manusia di AS. Dengan kata lain, nilai anggaran militer pemerintah selama empat dekade terakhir melampaui nilai gabungan semua pabrik, mesin, jalan raya, jembatan, sistem pengolahan air limbah, bandara, rel KA, pembangkit listrik, gedung perkantoran, pusat belanja, sekolah, rumah sakit, hotel, rumah, dll yang ada di negara ini,”

Tulisan pengajar Universitas Johns Hopkins itu juga menceritakan fakta-fakta menarik. Misal, bagaimana CIA merekrut Osama bin Laden dan menceritakan mengapa Osama balik melawan negara adidaya tersebut. Diceritakan juga bagaimana AS mengintervensi Panama dengan alasan menangkap bandar narkotika. Padahal, motif sejatinya memastikan kendali AS atas terusan panama sebagai pangkalan militer AS. Tak ketinggalan cerita kekejaman senjata biologis di Vietnam serta Timur Tengah.

Terlepas dari sifat provokatornya, buku ini layaknya buku dongeng yang enak dinikmati. Walaupun buku perang, bukan berarti memprovokator pembacanya untuk berperang juga. Buku yang sudah diterjemahkan berbagai bahasa itu hanya menegaskan, perang bukanlah jawaban untuk perdamaian. Dengan segala kelebihan itu, saya malah heran baru membaca buku yang terbit tahun 2004 itu sekarang. Lagi-lagi saya harus berterimakasih kepada rental penyedia buku aneh-aneh dekat kost.

Kekurangan buku yang sudah dicetak 200-ribu eksemplar pada 2004 itu agak sulit saya cari. Jujur saja, saya bukan ahli perang yang bisa memastikan apakah semua sumber yang ada valid. Namun, toh referensi sangat ditulis dengan jelas. Silakan gugling atau mencari referensi buku lain kalau penasaran.***

“Saya menyimpulkan bahwa jika kita tidak mengubah sistem nilai yang didasari cinta pada uang dan kekuasaan menjadi cinta pada kasih sayang dan kemurahan hati, maka kita akan musnah abad ini juga. Kita perlu gempa kecil untuk membangun umat manusia. Buku-inilah gempa itu."
Patch Adams, pendiri institut Gesundheit penentang kebijakan Perang Vietnam.

Sumber: Andreas, Joel. 2004. Nafsu Perang, Sejarah Militerisme Amerika di Dunia. Profetik, Jakarta.
Foto: http://rgr-static1.tangentlabs.co.uk/images/bau/97819048/9781904859017/0/0/plain/addicted-to-war-why-the-u-s-cant-kick-militarism.jpg

Jum’at, 14 Mei 2010; 00.05

Kamis, 24 Juni 2010

Judy Blume: Are You There God? It’s Me, Margaret



Ternyata saya butuh beberapa bulan untuk membaca buku ini. Saya pernah membaca buku ini di bandara dan lupa belum menamatkannya. Suatu hari, karena beres-beres kamar, saya jadi ingat kalau belum tahu kelanjutan ceritanya.

Ini novel teenlit. Bisa dibayangkan, isinya pasti menyangkut tetek bengek kehidupan remaja. Misalnya, bagaimana cara membesarkan payudara hingga ukuran tiga puluh dua dobel A. Kalau anda penasaran dengan buku ini, maaf, saya memang tidak sabar mengungkapkan ending-nya. Mending kalau penasaran tidak usah membaca paragraf berikut ini.

Saya pernah membaca karya Judy Blume yang lain, cuma kok ga ada yang... sesingkat ini. Apa terlalu tipis halamannya jadinya saya kurang puas?

Inti cerita ini menceritakan Margaret yang harus berpindah dari kota-nya yang lama di New York ke New Jersey. Dia langsung mendapat teman baru, Nancy. Kemudian cerita beranjak ke kebingungan Margaret terhadap agama. Ayahnya beragama Ibrani, ibunya Kristen. Orangtua keduanya alias kakek neneknya tidak akur. Bahkan ibunya ‘nyuekin’ pernikahan kedua orangtua margaret.

Suatu hari orangtua ibu Margaret memutuskan bersilaturahmi di rumah Margaret di New Jersey. Terjadilah keributan, bahwa menurut kakek nenek dari ibu Margaret, Margaret harus beragama Kristen. Namun, bagaimanapun juga orangtua Margaret kekeuh bahwa Margaret bebas memeluk agama pilihannya ketika dewasa.

Tak ada penyelesaian dari permasalahan tersebut. Ga wajib juga sih. Kisah ini berakhir dengan gagalnya proyek pribadi Margaret di sekolah. Dan tak lupa, ending puncaknya bahwa Margaret mengalami menstruasi pertama.
Lho? Kok endingnya gitu? Anda bingung?
Saya juga!

Kamis, 24 Juni 2010; 0:08

Blume, Judy. Are You There God? It’s Me, Margaret. 2003. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Jumlah halaman 163.

Sumber foto: http://rhapsodyinbooks.wordpress.com/2009/12/18/review-of-are-you-there-god-it%E2%80%99s-me-margaret-by-judy-blume/

Tips Fotografi Toto Santiko Budi

Facebooker mania kebanyakan orang-orang narsis. Kalau tinggal di jakarta, tentu tak melewatkan pernah berfoto di Museum Fatahillah. Sembari ber-narsis ria, alangkah baiknya perhatikan juga objek-objek di sekitar. Siapa tahu menemukan angle foto yang menarik. Cermat menangkap angle-angle unik adalah salah satu langkah menuju fotografer handal.

Angle-angle unik itu tergambar ketika Tiko menunjukkan hasil-hasil jepretannya di sekitar kota tua. Salah satunya pemandangan stasiun beos di pintu mobil. Semua orang tahu itu stasiun kota, namun cara fotonya membuat orang bertanya-tanya bagaimana cara menghasilkan foto tersebut. Efek gerakan langkah anak di museum mandiri juga membuat suatu foto tampak berbeda. Dari situ tergambar bahwa selain angle, Tiko juga memperhitungkan momen.

Jangan malu mondar-mandir untuk mendapatkan angle yang unik

Menurut Tiko, saat ini kamera apapun bisa menghasilkan foto yang baik. Baik digital biasa maupun digital SLR. Yang penting, bagaimana orang itu dapat menangkap momen dan angle yang unik. Namun tentu saja, apapun kameranya, kuasai terlebih dahulu feature-feature yang terdapat dalam kamera. Sehingga, kita tahu mode apa yang terbaik untuk digunakan pada momen tertentu.

Untuk mendapat momen dan angle yang unik, hal yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah survey. Periksalah seperti apa tempat yang ingin kita datangi. Ada kekhususan apa di tempat itu. Bisa juga intip foto-foto yang sudah ada di internet. Dari situ, kita lihat apakah ada angle unik yang bisa kita tangkap lebih jauh. Tips lainnya:
  • Bawalah perlatan kamera yang ringkas dan minim. Lebih sedikit peralatan, kita akan lebih berkonsentrasi mengamati objek. Selain itu kita juga tidak melulu kuatir ada peralatan yang tertinggal.
  • Untuk keperluan majalah, angle objek yang diminta adalah objek keseluruhan, detail, dan medium—tidak terlalu close up. Tambahkan juga angle-angle unik yang ada.
  • Untuk mendapatkan momen dan angle unik, cobalah banyak berjalan dan mengitari tempat itu.
  • Hindari malu mondar-mandir.
  • Hindari terlalu banyak mengandalkan zoom. Dekati objek itu! Efek yang dihasilkan antara zoom dan pendekatan secara langsung berbeda.
  • Periksalah apakah tempat yang kita datangi perlu ijin untuk memotret.
  • Selain kamera SLR, bawa juga kamera saku. Pasalnya, ijin untuk kamera saku lebih longgar. Kadang kamera saku juga lebih bisa menangkap momen alami, karena objek tidak terlalu sadar untuk difoto. Selain itu, ada kalanya membawa kamera SLR di kenai biaya, berbeda dengan kamera hp atau digital biasa.***

Untuk tahu lebih banyak tentang Toto Santiko Budi bisa dilihat di
http://indokumenter.carbonmade.com/
http://www.indokumenter.com/
Terimakasih pada Love Our Heritage yang menyelenggarakan workshop tersebut. Facebook : love our heritage.

Foto: Kiki

Selasa, 22 Juni 2010

Bersosialisasi di Kuburan

Sebenarnya hari minggu lalu saya lebih suka bermalas-malasan di kost-an. Membaca buku atau menggulung diri. Namun, kadang suatu acara terlalu sayang untuk dilewatkan. Weekend ini, walaupun sabtunya saya ngantor (plis deh), saya tidak mau melewatkan acara hari minggu.
Walaupun:
- Menghabiskan waktu setidaknya 3 jam di perjalanan.
- Harus bangun pagi (Jam 6 bo’, karena acaranya jam 9)
- Mengeluarkan ongkos yang lumayan (senilai sapo tahu di tempat Engkoh).

Itu karena saya harus memaksakan diri mengangkat pantat dan melangkahkan kaki dari kasur nan nyaman untuk: bersosialisasi.

Dari Mekarsari saya naik T11 dan menuju slipi dengan bus P6 dari Pasar Rebo. Setelah turun dari bus P6, kebetulan, ada mbak-mbak baik hati yang berniat membantu saya. Mungkin karena melihat muka saya linglung.

“Mbak mau ke mana? Kalau JDC itu lho, di situ, nyeberang,” ujar Mbak yang berkerudung pink itu. Dikiranya saya mau ke Jakarta Design Centre karena tadi saya minta turun di situ sama kernet P6.
“Mau ke Petamburan mbak,” jawab saya.
“Petamburan mana, banyak lho Petamburan. Petamburan bla bla bla?” tanyanya nyerocos.
“Kata temen saya, Hotel Santika sana lagi mbak,” kataku menerangkan.
“Owh, kalo gitu naik angkot itu bareng saya aja,”
“Oh makasih mbak,”
Di perjalanan...
“Mbak mau turun mana?” tanya Mbaknya.
“Kuburan mbak,” jawab saya.
“Haaah? Kuburaaan?”

Melihat Mbak-nya kaget saya baru nyadar. Lho, saya weekend-an di kuburan lagi toh? Soalnya, bulan lalu saya juga berakhir pekan di kuburan pula, yaitu di Museum Taman Prasasti. Bos saya kalau tahu saya weekend-an di kuburan pasti juga syok:
“Apaaaah? Nyari cowok di kuburaaaan?”

Pagi itu saya berniat menghadiri acara workshop fotografi di Petamburan. Acara itu juga bertepatan dengan acara sosialisasi di Mausoleum OG Khouw. Dengan naik T11-P6-M09 sampailah saya di TPU Petamburan. Ya, mausoleum memang berlokasi di kuburan. Namanya juga mausoleum—bangunan megah untuk melindungi makam.



Hari itu baru pertama kali saya melihat Mausoleum OG Khouw. Sebelumnya, saya melihat gambarnya dari foto karena pernah diminta untuk membuat gambarnya. Ketika menggambar, saya berkeyakinan, saya harus ke sana dan melihatnya langsung. Walau tampak sederhana, bangunan itu pasti mempunyai detail yang lebih rumit. Dan benar, bangunan itu tampak jauh lebih megah di kenyataan.

Melangkah di mausoleum, banyak hal-hal baru yang sebelumnya tidak pernah saya bayangkan. “Oh, ada ini toh, ada itu toh,”
Belum lagi mendapatkan tur gratis keliling kuburan. Sebagian berisi kuburan-kuburan orang terkenal. Lagi-lagi saya ber oh-oh. Takjub dan kagum.

Di perjalanan pulang saya berpikir. Saya rasa minggu-minggu berikutnya saya tidak begitu malas untuk mengangkat pantat dan melangkahkan kaki dari tempat tidur yang nyaman. Hmm... semoga minggu depan bisa weekend-an lagi :)