Senin, 23 Agustus 2010

Photo Walk Sarinah-Sabang-Jaksa: Sulitnya Merubah Objek Biasa Menjadi Luar Biasa.


Sekitar 40 fotografer berkumpul di halaman Sarinah Departement Store. Salah satunya saya. Walau belum ada bayangan apa yang harus dilakukan, saya ikutan saja di acara PhotoWalk sore itu. Tepat pukul 4, Bisma—koordinator Jakarta Photo Walk—memulai acara. “Tantangan hari ini adalah memotret lingkungan yang menurut orang awam tidak menarik,”

Berbeda dengan kota tua, atau museum, kali ini peserta memang menyusuri jalan biasa. Jalan yang biasa yaitu: ada pedagangnya, pengemisnya, bajajnya, dan orang lalu lalang. Kami berjalan dari Sarinah, menuju Jalan Sabang, Jalan Jaksa, dan kembali ke tempat semula.



Sambil beristirahat di tengah jalan, saya mengobrol dengan Bisma. Salah satunya bertanya mengapa mengadakan acara di tempat itu.
“Bosan,” katanya.
Ia bertutur bahwa kebanyakan fotografer sekarang hanya memotret model, termasuk Bismo yang lulusan Jurnalis Unpad itu. Model adalah objek yang memang sudah menarik. Sedangkan di jalanan, kita harus mencari objek-objek yang menarik atau membuat objek supaya menarik. Itulah tantangannya.

“Seharusnya fotografer juga mendekatkan diri di masyarakat,” katanya. Syukur-syukur kalau ada konstribusi kepada masyarakat itu, tambahnya.


Setelah berkeliling dan memotret, saya jadi kepikiran. Di antara bidang fotografi, mungkin fotografi jurnalis-lah yang paling sulit. Dikatakan sukar karena tidak ada rumusnya. Tidak ada teori khusus membuat tukang bajaj tertawa. Rumus membuat gerobak sate melintas di background yang menarik juga tidak ada. Semuanya kembali pada interaksi si fotografer dengan objek yang difotonya. Selain itu, keberuntungan, ketelatenan, dan kejelian menangkap objek yang menarik.



Interaksi fotografer dengan objek yang difoto sebenarnya sangat penting. Ini mengingatkan saya pada nasihat Deniek G Sukarya di bukunya mengenai memotret human interest:

“Bagi saya yang terbaik membuat foto-foto manusia adalah dengan pendekatan pribadi yang tulus, melalui senyum, percakapan, dan interaksi lain untuk menciptakan keakraban dan rasa nyaman. Ketika merasa sudah diterima, barulah saya mengutarakan keinginan saya untuk membuat foto mereka. Saya hampir tidak pernah menemukan orang yang menolak, bahkan ketika saya minta mereka berpose, senyum, atau melakukan kegiatan yang sedang mereka lakukan,”


Teori pendekatan itulah yang masih sulit dilakukan orang seperti saya. Saya cenderung pengin hasil instan. Padahal, perlu banyak waktu dan ketelatenan untuk berinteraksi. Teori pendekatan itu juga yang mungkin tidak banyak dimiliki para fotografer, meski sudah jago dalam teknis fotografi.


Sore itu saya mendapatkan beberapa foto. Nantinya saya ingin ikut lagi acara yang baru diadakan dua kali itu. Masih banyak hal yang perlu saya pelajari. Fotografi memang tidak sesederhana yang dibayangkan. Tidak hanya soal keindahan, tetapi ada nilai sosial dan kehangatan hubungan antara manusia dan lingkungannya.***

Kamis, 05 Agustus 2010

Smart vs Stupid

It’s fine being smart, but stupid is choice.

Itu kata Irwan Ahmett, desainer grafis kontemporer acara SaturdayCult! di Pimento Restaurant, Kemang. Menjadi bodoh itu menarik, ketika kita sudah terlalu jenuh dihadapkan dengan segala hal yang smart. Umumnya produk yang dijual selalu laris bak kacang ketika dijual dengan slogan pintar. Produk iPad misalnya, nggak ada riwayatnya diberi tag ‘produk teknologi terbodoh’.

Irwan Ahmett, desainer grafis kontemporer.

Karena terlalu banyak ditawarkan, lama-lama makna smart menjadi dipertanyakan. Apakah itu perlu? Saat ini umumnya produk-produk yang dianggap smart adalah produk yang:

Highest. Makin tinggi suatu gedung dianggap paling Waw. Misal Burj Khalifa di Dubai. Fastest. Di Jakarta makin banyak mobil mewah bertebaran. Kendaraan itu menawarkan sisi kecepatan, walaupun ibukota supermacet. Most expensive. Pemain sepakbola seperti Ronaldo dihargai 1,3 trilyun. Entah apakah setelah dia dibeli mampu memajukan grup sepakbola yang dimasukinya. Biggest. Pamella Anderson. (Tidak usah diterangkan anda juga tau). Most luxurious. Masjid kubah emas misalnya. Ibu-ibu pengajian—termasuk ibunya si Ahmett—nggak puas-puas juga walaupun sudah bolak-balik ke mesjid itu. Prettiest. Makin cantik seseorang atau kemasan dianggap yang paling oke. Richest. Misal image pencipta kekayaan pada Tung Desem W, yang digambarkan saat menaburkan uang dari helikopter.

Dan sebagainya.


Peserta saturdayCult mendengarkan penjelasan Irwan dan Mice.

Tapi sekali lagi, apakah konsep-konsep smart seperti di atas itu memang perlu? Hal itu membuat orang lupa bahwa selain smart, ada kata lain: stupid.

Kadang menjadi stupid itu perlu. Mengapa? Karena beberapa hal kreatif dapat dilahirkan dari aksi stupid:
- Aksi nekat pencoretan di atap gedung kura-kura DPR oleh Pong Hardjatmo yang menuliskan slogan 'Jujur, Adil, Tegas. Ini menyebabkan pemerintah dan masyarakat cukup tersentak dengan carut marutnya negeri ini.
- Salah satu suporter yang masuk pertandingan sepakbola antara Indonesia vs Oman=menyentil PSSI
- Frodo. Karena keluguan dan kebodohannya malah dia yang bisa membawa cincin ke Mordor.
- Kisah Marley. Ia bukan anjing yang pintar. Namun, kisahnya malah menyajikan sesuatu yang lucu dan menyentuh.
- Mr. Bean, Kabayan, Benny and Mice, dan lain sebagainya.


Smart vs Stupid




Setelah penjelasan dari Ahmett, Mice—mantan kartunis Benny and Mice--unjuk gigi. Saya masih tertawa juga ketika ditunjukkan kartun-kartunnya walau sudah pernah melihatnya. Menurut Mice, kartun adalah gambar atau garis sederhana yang menyajikan lelucon. Jadi, kalau nggak lucu bukan kartun namanya.


Irwan dan Mice

Kartun sudah ada sejak abad 18, tapi masih sangat realis. Kemudian kartun berkembang menjadi menggelitik dengan cara
- distorsi, deformasi
- exagerasi, hiperbola
- disorientasi

Dari modifikasi itu kartun berkembang menjadi
- Comical
- Satire
- Cynical
- Sarcasm

Aku lupa yang dicontohkan pada poin comical. Tetapi yang jelas kartun Benny and Mice hanya sampai di tahap satire. Tidak menyentuh cynical (melecehkan) apalagi sarcasm. Selain itu mice juga menjelaskan tentang jenis-jenis kartun lainnya seperti: karikatur, komik strip, kartun sigle frame, sekuen progresif, dan lain sebagainya. Komik Benny and Mice termasuk jenis strip. Berikut ini step by step pembuatan serial Benny and Mice

1. Memilih/menentukan tema yang akan diangkat. Menurut kartunis yang bernama asli Muhammad Misrad itu ia tidak pernah mencari tema. “Tema banyak sekali, bertebaran dalam kehidupan sehari-hari, tinggal kita pilih mana yang akan diangkat,” ucapnya. Pria beranak satu itu juga menyarankan agar ide apapun yang terlintas di kepala segera ditulis. “Kita tidak bisa mengandalkan ingatan,” ujarnya. Misal:
a. Laundry kiloan
b. Jok motor panas
2. Menentukan format standar kolom. Mice mengaku sering menggunakan format 4 kolom. Kolom pertama berisi masalah, dan kolom keempat berisi ending cerita.
3. Membuat sketsa kasar, bangun plot/alur cerita. Selanjutnya perjelas gambar dan lakukan finishing.

Setelah menerangkan, sesi tanya jawab pun dibuka. Aku mengangkat tanganku dengan segera untuk bertanya. Pertanyaanku salah satunya tentu mengenai mengapa Benny and Mice berpisah.

“Alasannya bosan,” kata Mice. Ia bercerita bahwa tujuh tahun merupakan waktu yang lama berpasangan dengan Benny. Pria yang pernah muncul di Kick Andy itu mengatakan bahwa intinya mereka ingin berkarir sendiri-sendiri. Nantinya tema-tema Kartun Mice lebih sempit, lebih ke keluarga. Akhir acara, tak lupa kuangsurkan komik Mice untuk ditandatangani. Hmmm... lumayan... dapet tanda tangan.***

Rabu, 04 Agustus 2010

Saya Tahu di Mana Breww!

Pulang dari SaturdayCult!, saya mencari kendaraan untuk pulang. Saya baru nyadar, ternyata jalan di hadapan saya searah. Logikanya, kalau saya naik kopaja yang tadi saya tumpangi, saya malah ke Blok M, berlawanan dengan arah pulang.


Walhasil, saya ikuti saja jalan searah itu. Sekalian sambil cari makanan di pinggir jalan. Sepanjang jalan kepala saya tengak-tengok. Owh, ada gedung ini, warung itu, restoran ini, apartemen itu. Soalnya hal-hal beginian berguna juga lho, siapa tahu harus ke Kemang lagi.

Karena kepala saya tengak-tengok sepanjang jalan, petugas parkir atau anak jalanan pun jadi penasaran juga.
“Nyari apa mbak?” begitu tanya mereka.
Saya hanya meringis saja. Kalau saya jawab melihat-lihat saja, pasti dikira aneh. Masa yang lain pengen cepet-cepet pulang karena macet, eh saya malah enak-enak menikmati suasana.


Hari itu saya memang sengaja mengamati dengan serius di sekeliling jalan. Itu karena umumnya saya terlalu cuek dengan keadaan sekitar. Jarang ngeliat jalan. Kalau di bis mah tidur. Bahkan saya baru tahu ada plang perbatasan Jakarta Depok di BCA dekat kost.

Saya berencana mempraktekkan anjuran Arvan Pradiansyah. Yaitu menikmati dengan sungguh-sungguh waktu yang sedang kita jalani. Misal, kalau lagi meneguk es jeruk, ya nikmati setiap tegukan yang masuk di kerongkongan kita. Selalu bersyukur. Nah, karena saya sedang berjalan-jalan, saya juga harus menikmati setiap langkah saya. Meresapi dan mensyukuri apa yang bisa saya pandang saat itu.

Teorinya seperti itu, tapi 30 menit kemudian saya merasa bosan.




Saya melanjutkan berjalan kemudian saya menemukan Breww Kemang! Waw. Uhm... kebetulan hari itu hari Sabtu. Sebenarnya beberapa jam lagi saya bisa menyaksikan band favorit saya bermain musik. Wew, tapi saya enggan karena menonton band itu harus menikmati minuman atau makanan di Kafe. Hmm... pengen juga sih suatu saat. Yang penting saya sudah tahu di mana Breww.

Kaki saya langkahkan dan menemukan KFC. Saat itu pukul setengah enam. Sebelumnya tidak banyak tempat makan yang saya lewati. Saya pikir, boleh juga makan di restoran junkfood itu. Soalnya, saya bisa lapar di dalam perjalanan pulang kalau tidak makan sore itu. Lagipula, saya belum pernah makan di KFC Kemang. Bukan berarti saya penggemar KFC. Hanya saja, KFC yang itu pernah dimuat di majalah Swa. Katanya, perombakan KFC menjadi tempat yang cozy dimulai dari Kemang. Haha, itu alasan saja dink. Sebenarnya perut saya sudah lapar, jadi kepingin makan di situ.



Saya pesan satu bento, satu sup krim, dan milo. Saya mengambil saus sambal kemudian membawa makanan itu ke lantai dua. Setelah di atas, saya baru nyadar kalau lupa ambil sedotan. Padahal di milo itu ada banyak es. Saya tidak begitu suka es. Tanpa sedotan es-es itu bisa nempel di hidung. Tapi tak mengapa, hemat plastik. Selain itu tidak akan ada yang memprotes kalau hidung saya atau mulut saya terkena milo. Sambil makan saya menjepret-jepret suasana di sekitar KFC. Iseng banget emang.



Pulangnya saya menimbang-nimbang. Kalau pake 605A lagi kayaknya kejauhan. Pasti ada shortcutnya di sini, batin saya. Bertanyalah ke tukang parkir. Ternyata saya harus berjalan sedikit lagi, naik 63 ke Cilandak. Dari situ saya langsung naik bis yang ke Pasar Rebo. Naik 63, saya sukses turun di Cilandak. Namun, pas naik 605, saya sulit menahan kantuk, dan ketiduran. Kemudian taraaaa.... saya kebablasan sampai jalan Baru, nggak turun di Pasar Rebo. Apa boleh buat, ya balik lagi. Toh, itu malam minggu, masih banyak waktu.***