Sabtu, 26 Januari 2013

Sepeda, Lego, dan Celana Bayi


Pulang membeli makan malam, saya dan kakak perempuan saya, Nano, mampir ke toko perlengkapan bayi di Jalan Magelang, Yogyakarta. Saya usul ke situ karena saya sendiri belum pernah mampir ke toko yang agak suram temaram itu.

Menurut saya, toko itu lebih mirip depot daging sapi dibanding toko baju bayi. Meski begitu Nano langsung mengiyakan usulan saya untuk mampir. Ia kepingin melihat-lihat sepeda untuk anaknya Tholo yang berumur 1 tahun 9 bulan itu.

Masuk di gerbang toko, Tholo, keponakan saya sudah menjerit-jerit,
“Naik-naiiik!” begitu teriaknya tiada henti sambil menunjuk mobil-mobilan yang terpajang. Kami tidak mengijinkannya naik. Maklum, begitu naik dia akan susah dibawa pulang.

Akhirnya dengan menggendong paksa Tholo, kakak saya bisa menjelajah toko. Mulai dari sepeda bayi, sampai baju-baju. Uniknya di toko itu, setiap pelanggan seperti kami dikawal oleh seorang pramuniaga. Bak pembelanja pribadi di gerai mahal, ia mengikuti kami dengan selalu sigap menjawab pertanyaan yang kami ajukan.

Sewaktu di bagian sepeda bayi, kakak saya bertanya.
“Ini berapa, Mbak?” sambil menunjuk sepeda ukuran sedang.
“Dua ratus dua puluh lima, Mbak,” jelas Mbak Pramuniaga.
“Oooh,” kata kakak saya.
“Kalau yang ini?”
“Seratus enam puluh lima.”
Berikutnya kakak saya makin aktif bertanya. Melihatnya hanya bertanya-tanya dan belum mengambil keputusan, saya bertanya lagi dengan lebih gamblang kepada si Mbak-mbak pramuniaga.
“Yang paling murah yang mana, Mbak?”
“Ini yang paling murah. Seratus empat puluh lima.”
“Oooh, kataku.”

Kakak saya juga manggut-manggut. Setelah bagian sepeda itu, Mbak Pramuniaga masih tampak sabar mengikuti kami berdua, walaupun saya yakin, ia sudah melihat bahwa kami bukanlah calon pembeli yang prospektif.

Selanjutnya, mata saya beralih pada lego anak-anak yang berukuran besar. Saya pun bertanya kembali kepada Pramuniaga yang memakai kaus warna pink itu.
“Ini berapa Mbak?” ujar saya sambil menunjuk lego yang paling besar.
“Tujuh ratus ribu,” jawabnya.
“Apaaa? Tujuh ratus ribu?” ucap saya spontan.
Melihat muka saya yang terbengong, Mbaknya kemudian merinci harga lego lainnya satu persatu. Yang saya heran, dia hapal sekali.
“Yang ini, 76-ribu, yang ini 67-ribu, bla-bla-bla,” jelasnya. Mungkin ada sekitar 9 macam lego yang ada di situ.

Melihat saya yang hanya mengangguk-angguk tak antusias, ia tetap gigih dengan coba menawarkan harga lego yang terendah.
“Nah, yang ini 19-ribu.”
“Oke, terimakasih,” jawab saya singkat sambil ngacir.

Selanjutnya, mungkin setelah melihat kami adalah calon pembeli tingkat E (calon pembeli sangat sangat sangat tidak potensial), saat kakak saya melihat-lihat celana bayi, si pramuniaga dengan cepat menyesuaikan keadaan.
“Nah, ini yang celana bayi yang murah, cuma Rp 9-ribu,” katanya sambil mengangsurkan contoh celana yang paling murah kepada kakak saya. Mungkin pikir Mbak Pramuniaga tiada guna menawarkan celana mahal.
“Ehm,” kata saya sambil nelan ludah. “Warnanya norak banget ya.”

Kakak saya hanya nyengir. Setelah berterimakasih pada si Mbak, kami mengembalikan celana dan keluar Toko. Saya tidak mau menebak-nebak pikiran si Mbak Pramuniaga karena toh pasti dia juga sudah maklum. Entah sudah pelanggan ke berapa yang serupa dengan kami hari ini.

Sebelum saya mengambil motor, Nano berusul lagi.
“Eh, kita ke toko sebelah yuk.”
“Lha ini motornya? Boleh parkir di sini?”
“Boleeeeh,” katanya pede sambil menggendong Tholo.
Kami berdua pun berjalan menuju toko perlengkapan bayi sebelah.

Selanjutnya adegan itu terulang lagi:
“Yang ini berapa Mbak? Yang itu berapa Mbak?” tanya kakak saya sambil tunjuk-tunjuk sepeda bayi yang dipajang. Bedanya, lokasinya di toko sebelah.
Beberapa saat kemudian terdengar juga rengekan Tholo. Kali ini ia tak mau diturunkan dari salah satu sepeda.

“Naik-naiiiik!”