Senin, 06 Desember 2010

Workshop Karikatur Thommy Thomdean dan Toni Malakian

Inti dari karikatur bukanlah tentang paling mirip atau bagus-bagusan. Tetapi bagaimana si penggambar bisa menangkap sisi paling menonjol si objek. Obama misalnya, bisa saja digambarkan tanpa mata dan hidung. Tonjolkan saja tawanya yang khas, atau wajahnya yang meruncing.

Itulah salah satu materi yang diberikan Thommy Thomdean dan Toni Malakian dalam acara Workshop Karikatur yang diadakan oleh Persatuan Kartunis Indonesia. Pada dasarnya karikatur bukan proses meniru mentah suatu objek. “Kalau pengen mirip banget, ya mending foto aja orangnya,” jelas Thom.

Ia juga menyayangkan bahwa karikatur selalu diasosiasikan ‘kepala besar’ dan ‘badan kecil’. Padahal, model karikatur yang tidak harus seperti itu. “Yang penting menunjukkan ciri yang menonjol dari objek,” tegasnya.

Thom kemudian menjelaskan bagaimana berlatih menangkap sisi menonjol objek. Teorinya, memang lebih mudah menggambar orang yang berciri khas. Misalnya orang berambut gimbal, berkumis tebal, atau yang mempunyai ciri khas lainnya. “Hitler contohnya, sangat khas dengan kumis dan rambut klimisnya,” jelas pria yang berlatar belakang arsitek itu. Dan memang, hitler dapat digambarkan cukup dengan seperti ini.

Gambar Hitler (kiri) mirip dengan gambar Charlie Chaplin (kanan)*.

Selain ciri khusus secara fisik, bisa juga dilihat dari hobi atau profesinya. Gambar Leo Tolstoy atau Pramoedya misalnya. Karena keduanya penulis, dapat dipertegas cirinya dengan menambah gambar pena. Contoh lain adalah Dalai Lama. Karena identik dengan perdamaian, dapat ditambahkan simbol perdamaian. Merpati contohnya. Yang lebih ekstrim, menggambarkan objek dengan objek lain. Objek tersebut tidak sembarang, tetapi tetap menimbulkan asosiasi. Misalnya menggambarkan Presiden Putin dengan beruang oleh kartunis Swedia.


Menurut Toni, antara gambar biasa dengan karikatur mempunyai
proporsi yang sama. Namun, karikatur ibarat bola voli yang dimampatkan
.

Selanjutnya, Thom dan Toni menjelaskan pembuatan karikatur yang bersifat kritik sosial. Soal materi yang diangkat, terlebih dahulu si penggambar harus tahu benar duduk permasalahannya. Thom mencontohkan permasalahan keistimewaan Yogyakarta yang sedang hangat saat ini. Sebuah karikatur di media massa menggambarkan tubuh kecil Pak Beye dibalik meja yang besar. Ia terlihat sedang membaca buku tebal sejarah Yogyakarta. Buku yang tebal itu dibaca terbalik. Intinya, si penggambar ingin menegaskan perlunya pemerintah menilik kembali bagaimana sejarah keistimewaan Yogyakarta.

Workshop Karikatur yang berlangsung dari pukul 2—4 sore itu juga mengadakan praktek langsung. Peserta diminta menggambar model. Sebelumnya, model ditanya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan si model seperti nama, alamat, hobi, dan pekerjaannya. Hal itu bertujuan agar kita semakin mengenal karakter objek, termasuk karakter nonfisiknya. Saya sendiri menggambar si model yang sedang berkutat dengan hobi berjejaring sosialnya.

*Sumber: dailyhitler.blogspot.com/lewat google search.

3 komentar: