Senin, 26 April 2010

Bertani di Negeri Tulip





Orang Belanda begitu mencintai bunga. Saking cintanya pada bunga, sudah menjadi budaya untuk membawa bunga sebagai buah tangan bila bertamu. Bagi mereka, ruang tanpa bunga berasa membosankan (gezellig). Ibarat pagi tanpa minum kopi.

Industri bunga hanyalah sebagian kecil dari industri hortikultura Belanda yang sangat besar. Sungguh menakjubkan mengingat luas negeri kincir angin itu hanya 4,15-juta hektar—sepertiga luas pulau jawa. Namun, lahan terbatas tidak membuat negeri tanah-tanah rendah itu takut bercocok tanam. Lebih dari separuh tanahnya digunakan untuk pertanian. Bahkan, industri hortikultura—seperti sayuran dan tanaman hias—adalah sektor penting penyumbang devisa. Negeri Ratu Beatrix itu merupakan negara pengekspor produk pertanian terbesar setelah Amerika Serikat. Nggak heran, Belanda berupaya terus memperkaya inovasi pertaniannya.

Tulip adalah simbol bunga nasional Belanda. Bunga keluarga Liliceae itu dibawa ahli hortikultura Belanda pada awal abad ke-16. Sejumlah besar uang, rumah, tanah, bahkan seluruh armada kapal dapat berpindah tangan demi mendapatkan tulip yang waktu itu masih langka.


Lahan untuk budidaya bunga di Belanda hanya sekitar 4% dari total luas tanah pertanian. Namun, budidaya di bawah rumah kaca dilakukan sangat intensif. Sektor ini menghasilkan 300 juta euro atau 3,6 trilyun rupiah—setengah dari total produksi hortikultura Belanda. Setiap tahunnya, Belanda menghasilkan 9 milyar umbi bunga seperti tulip, hyacinth, lili, dan daffodil. Bayangin deh, sembilan milyar! Kalau tiap umbi menghasilkan sepuluh bunga aja, wah ngisi kolam renang dengan bunga bisa aja kali! Untung deh, sekitar 65% dari produksi tersebut diekspor ke lebih dari 100 negara. Kalau nggak, mungkin penduduk Belanda bisa terbenam di lautan kembang.


Gimana pertanian mereka bisa semaju itu sih? Padahal lahannya sempit dan tenaga kerjanya juga mahal? Begini, negara yang hanya berpenduduk 16-juta jiwa itu menggunakan teknologi otomatisasi untuk mengakali mahalnya tenaga kerja. Pada budidaya anggrek bulan misalnya, mulai dari pengisian media, menanam benih, penyiraman, sampai menyeleksi tanaman dijalankan secara otomatis. Dengan sistem robotik, greenhouse seluas 3 ha hanya butuh tenaga kerja 12 orang. Kalau nggak pakai robot, lahan segitu butuh tenaga 40 orang loh.


Negeri bunga tulip itu beriklim dingin alias subtropis. Artinya, waktu produksi tanaman lebih sempit dibanding negara tropis seperti Indonesia. Pada musim dingin, umumnya tanaman tidak berproduksi karena mengalami dormansi atau tidur. Tanpa modifikasi iklim mikro—misal suhu, kelembapan, dan cahaya—tanaman hias seperti anggrek sulit dibungakan. Untuk itulah, penggunaan rumah kaca atau greenhouse penting digunakan.


Belanda memang terdepan dalam teknologi rumah kaca. Total area rumah kaca di Belanda mencapai 10.000 hektar. Sekitar 75—70% produksi tanaman di rumah kaca ditujukan untuk keperluan ekspor. Pekebun mengoperasikan greenhouse berteknologi tinggi dengan luasan hektaran untuk memproduksi sayuran, buah, atau tanaman hias berkualitas prima.


Rumah kaca teknologi tinggi mempunyai sistem otomatis yang dikendalikan oleh komputer. Proses penyiraman dan pemupukan dilakukan oleh sederet sprinkler yang menciptakan kabut air. Ketika sinar terlalu terik dan suhu memanas, semacam tirai secara otomatis bergerak menutup langit greenhouse. Bersamaan dengan itu, jendela di atap perlahan membuka. Udara panas pun menghambur keluar.

Salah satu teknologi greenhouse otomatis yang diterapkan di Belanda.
Sumber: Majalah Trubus Edisi Desember 2008.



Pada musim dingin, jendela otomatis menutup. Jika masih terlalu dingin, suhu ditingkatkan oleh pemanas tambahan di bawah meja tanam. Kekurangan intensitas cahaya pada musim salju pun tak masalah. Sinar ultraviolet buatan secara otomatis menerangi sesuai kebutuhan tanaman. Lampu buatan tersebut juga dapat digunakan untuk meningkatkan fotosintesis tanaman. Imbasnya produksi meningkat. Pada mawar misalnya, campuran lampu LED warna merah dan biru digunakan untuk meningkatkan produksi.


Sistem otomatisasi lainnya adalah agricultural robot atau agrobot. UV crop protection robot misalnya, berguna untuk membunuh jamur dan virus dengan sinar ultraviolet. Jamur dan virus lebih sensitif terhadap sinar UV dibanding tanaman, sehingga pertumbuhan tanaman tak terganggu. Selain menghemat tenaga kerja, tanaman tidak tercemar fungisida atau pestisida. Waktu tunggu sebelum panen untuk menghilangkan kadar pestisida pun tidak diperlukan. Robot ini sudah diaplikasikan untuk tanaman tomat, timun, cabai hijau, serta mawar di rumah kaca. Berbagai robot lain seperti robot pemanen, robot sprayer, dan robot penanam turut memudahkan peningkatan produksi.



Bukan mustahil suatu saat Indonesia menerapkan teknologi otomatisasi seperti di Belanda. Siapa tahu sepuluh tahun lagi ada robot pengambil sekaligus pengolah durian seperti gambar di atas :)


Teknologi robotik, greenhouse dengan kontrol otomatis, lampu LED untuk fotosintesis, mau tak mau membuat saya kagum. Memang, ada yang tidak bisa kita tiru mentah-mentah. Robotik misalnya, akan sangat mahal—ketika diaplikasikan pada komoditas yang masih bernilai rendah. Namun, menengok teknologi Belanda membuat saya berpikir pasti banyak hal yang bisa kita lakukan untuk memajukan pertanian Indonesia. Inspirasi, ya kan?***


Data & Referensi:
FlowerTech 2008, Vol 11/No 8.
Majalah Trubus Edisi Desember 2008.
Agriculture in the Netherlands http://www.mfa.nl/tok-en/agriculture_nature

Ilustrasi: Niken Anggrek Wulan