Sabtu, 19 Desember 2009

Berlibur ‘lumayan’ murah—ke Kota Tua



Selama tinggal di Depok, menikmati hari libur berarti harus mengeluarkan uang. Bagi lajang seperti saya, mencari tempat rekreasi murah itu lumayan susah. Ke Kebun Raya Bogor misal, minimal habis 50-ribu. Meski sebenarnya jarak Depok-Bogor tidak begitu jauh—sekitar 40 menit berkereta. Ke mall juga lumayan menyita biaya, setidaknya untuk makan.

Apabila dibandingkan, saya lebih memilih tempat rekreasi bukan mall. Karena selain mendapat penghiburan, sedikit banyak saya mendapat pengetahuan baru. Salah satunya ke Kota Tua. Saya sudah barang tiga kali ke ikon sejarah Jakarta itu, namun belum juga puas. Saya merasa belum semua tempat saya jelajahi. Oleh sebab itu, saya tidak menolak apabila seorang teman menawarkan untuk ke sana lagi.

Suatu kali teman saya mengajak ke Kota Tua. Saya sih senang-senang saja, apalagi kami bisa hunting foto bersama. Pukul 6 pagi, dia sudah nongkrong di depan kost. Hanya saja, kemudian dia ngomel-ngomel karena saya masih mandi pagi:D Sekitar setengah tujuh pagi kami baru berangkat menggunakan angkot sampai ke stasiun UI.


Museum Jakarta di siang hari, dulunya sebagai kantor Balai Kota Pemerintahan Belanda.

Kereta rel listrik (KRL) kami pilih karena lebih murah dan menghemat waktu. Hanya dengan ongkos Rp1.500 kami sudah sampai di kawasan Kota Tua. Dari stasiun UI ke Kota Tua menghabiskan waktu sekitar 40 menit. Seringkali dalam perjalanan saya lebih memilih KRL ekonomi dibanding AC—karena lebih afdol. Dalam artian, kita bisa melihat berbagai macam tipe pengamen dan bisa membeli barang krucil-krucil dengan harga miring.

Hari Sabtu, kereta tidak begitu penuh sehingga kami berdua bisa duduk (kesempatan yang langka apabila berkereta di hari kerja). Sampai Stasiun Kota, kami turun dan membeli sarapan terlebih dahulu. Teman saya membeli roti bakar, walau sebenarnya saya lebih mantap sarapan nasi. Namun tak apa, toh dengan harga Rp2.500 sudah bisa mengganjal perut.

Suasana stasiun UI Sabtu pagi, tiada hiruk pikuk seperti hari biasa.

Setelah sarapan, kami menuju Stadhuis plain atau lapangan bekas kantor Balai Kota Pemerintahan Belanda (Batavia). Waktu itu Museum Sejarah Jakarta yang berada di Stadhuis plain belum buka. Karena itulah, kami berdua menyewa pemandu bersepeda terlebih dahulu. Saya tidak memilih menyewa sepeda sendiri. Terus terang, saya ngeri kalau bersepeda sendiri menjelajah Kota Tua di antara angkot-angkot yang ngebut.

Suasana Stadhuis plain di Sabtu pagi, masih sepi.

Sebelum menyewa, saya menelepon kakak saya yang pernah menyewa guide bersepeda. Maklum, saya belum sempat mencari harganya di internet. Kakak saya bilang harganya sekitar Rp15.000. Namun ketika kami tanyakan, maksimal yang bisa kami tawar Rp25.000. Ya sudah, pikir kami. Mungkin kami tidak berbakat menawar.

Setelah dibonceng naik sepeda, saya baru sadar mengapa harga yang ditawarkan pada kami lebih mahal. Karena selain bersepeda, jantung saya berdegup kencang tak ubahnya ketika sedang naik roller coaster. Berbeda dengan saya yang jantungan, teman saya santai dan menikmati dibonceng dengan cara begitu. Padahal, kami nyelip-nyelip diantara kendaraan yang berhenti di lampu lalulintas, melawan arus, menaiki trotoar, dan menyeberang diantara angkot yang super ngebut. Bapak yang memboncengkan benar-benar berhasil membuat saya berdzikir!

Pemberhentian pertama adalah Menara Syahbandar. Dari menara, pengunjung dapat melihat keadaan pelabuhan Sunda Kelapa. Kami berdua berniat naik ke atas, namun sayang ditutup. Bangunan berjendela hijau itu sudah berumur 170 tahun. Awalnya menara berarsitektur Eropa itu berguna mengawasi keluar masuk kapal dari sungai Ciliwung. Namun, pada 1967—seiring diresmikannya Pelabuhan Sunda Kelapa—menara ini tidak digunakan lagi. Ketika kami lihat, di sekeliling menara tersebut terdapat pasar ikan nan becek yang menurut pemandu memang sudah ada sejak jaman dahulu kala.


MenaraSyahbandar, bagian dari Museum Bahari.

Setelah melewati pasar yang ramai, kami turun di Museum Bahari. Bangunan yang dibangun pada 1652 ini dulunya berisi lada, pala, cengkeh, kopi, bahkan tembaga dan senjata. Namun, sekarang isinya berbagai macam pernak-pernik kelautan. Berbagai macam tipe kapal dan peralatannya dapat dilihat di sini. Pemandangan yang menarik bagi saya adalah peta The City of Batavia yang dibuat oleh JA Whittle dan R.H. Laurie tahun 1818. Yang terlintas di benak saya setelah melihat peta itu adalah “Duh, seandainya Jakarta seteratur ini….”


Gambar The City of Batavia, dibuat 191 tahun yang lalu.

Puas melihat-lihat dan mencoba dayung berbagai kapal, kami melanjutkan perjalanan ke Pelabuhan Sunda Kelapa. Di sini kita bisa melihat deretan kapal penangkap ikan yang berlabuh. Kami juga bisa naik ke kapal setelah meminta ijin kepada awak kapalnya. Namun, sebelumnya kami harus berjalan melewati jembatan titian yang lumayan sempit. Ini membuat teman saya agak kewalahan, namun berhasil juga naik ke kapal.


Deretan ikan bandeng yang dibumbui di atas kapal di Pelabuhan Sunda Kelapa

Tujuan berikutnya adalah Jembatan Kota Intan. Kata ‘cantik’ terlontar melihat jembatan berumur 381 tahun ini. Tak menyangka bahwa jembatan cantik ini pernah dinamai jembatan Pasar Ayam (Hoender Pasar Brug). Jembatan model gantung ini dapat dinaikkan dan diturunkan sehingga kapal dapat melintas di bawahnya. Sayangnya entah kapan dapat melihat jembatan tersebut beroperasi lagi. Apalagi melihat di sebelahnya terlihat sebuah jembatan kokoh untuk dilintasi KRL. Mungkin nantinya jembatan KRL itu juga dibuat jembatan gantung apabila jembatan kota intan dioperasikan kembali untuk lalu lintas kapal.


Jembatan kota intan mempunyai panjang 38,60 m dan waktu angkat jembatan 12 detik.

Dari jembatan, perjalanan diteruskan dengan melihat berbagai macam gudang rempah, gedung kembar, dan melintasi jalanan Batavia. Sayangnya, tak terasa sudah hampir 1 jam. Itu artinya kami harus kembali ke Stadhuis Plain. Sebenarnya masih banyak obyek yang belum kami kunjungi. Hal ini karena untuk menikmati perjalanan yang lengkap, kurang lebih dibutuhkan waktu 4 jam. Namun hal itu tak mengapa, toh saya tidak berencana menghabiskan keindahan kota tua dalam sehari:) (Niken Anggrek Wulan)

Perkiraan Biaya—dari Mekarsari, Cimanggis, Depok.

Angkot ke Pal Rp2.000
Angkot ke Stasiun UI Rp2.000
KRL ke Stasiun Kota Rp1.500

Total ongkos transport bolak-balik = Rp11.000

Minum aqua tambahan Rp3.000
Roti Rp2.500
Makan Rp30.000 (Di mall)
Es potong (kalau mau) Rp2.000
Guide sepeda Rp25.000

Total: Rp73.500 (Hweh mahal juga. Oleh karena itu judul di atas dari Berlibur murah saya ubah jadi berlibur ‘lumayan’ murah.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar