Minggu, 27 Desember 2009

Apakah Sebegitunya Saya?

Diantara saudara saya—Gembil, Nano, dan Mbinci—hanya saya yang berprofesi menjadi wartawan. Gembil seorang karyawan, Nano ibu rumah tangga, dan Mbinci dosen. Pekerjaan saya sebagai wartawan dianggap pekerjaan luntang-luntung. Ga jelas.

Seringnya saya pergi ke mana-mana sendirian dan bayangan bahwa saya hunting berita setiap hari mengundang simpati dari saudara-saudara saya. Merasa diperhatikan iya, tetapi sekaligus merasa dikasihani. Komentar-komentar biasa datang dari paman, bibi, serta sepupu saya. Apakah sebegitunya menyedihkan jadi wartawan? Saya ingat kata-kata seorang wartawan harian nasional. "Kalau nggak mau kere ya jangan jadi wartawan," katanya. Waktu itu saya telepon dia untuk memilih apakah saya bekerja di perusahaan nasional, atau di media.

Kerabat saya seringkali terkejut mendengar saya sering bepergian ke luar kota sendiri. Bagi mereka, aneh kalau seorang perempuan pergi ke sana kemari sendiri. Saya sih setuju. Namun, bagi saya ke luar kota adalah hal biasa. Kalaupun nanti di sana tidak tahu jalur angkot, ya cukup bertanya saja. Apabila tidak ada kendaraan yang saya tumpangi, toh pasti ada teman yang bisa saya hubungi. Kalau itu pun tidak ada, saya yakin banyak orang baik di dunia ini.

Pernah waktu itu saya ke Bandung untuk menjenguk Budhe. Saya bilang saya akan pulang pukul sembilan malam. Mendengar saya pulang malam, mereka panik sekali mencarikan transport kembali ke Depok, kost saya.
“Memangnya masih ada bis di Leuwi Panjang?”
“Masih,” jawab saya enteng.
Tetapi mereka tidak percaya begitu saja. Sehingga walhasil saya harus menelepon travel Cipaganti, kantor terminal bus Leuwi Panjang serta Kampung Rambutan. Dengan tujuan: menenangkan mereka. Namun nihil, ternyata tak satupun dari kedua kantor bus tersebut mengangkat telepon. Travel Cipaganti pun sudah habis sejak pukul 8.

Malahan saudara kemudian bercerita bahwa Terminal Kampung Rambutan itu sangat seram. Haduh, seseram-seramnya Kampung Rambutan, itu adalah terminal kesayangan yang paling dekat dengan kost sayaT_T. Selama ini Alhamdulillah saya belum pernah menemui hal yang seram di situ.

Sepupu-sepupu saya sangat baik hingga mengantarkan saya sampai terminal Leuwi Panjang. Dan benarlah pendapat saya, bus ke Kampung Rambutan masih tersedia. Karena perjalanan malam, bis tersebut sangat cepat hingga perjalanan ke Jakarta hanya 1 ½ jam. Sesampainya di kost, saya langsung sms sepupu saya. Bagaimanapun, saya senang dianggap apapun oleh mereka. Toh, mereka semua saudara-saudara yang saya cintai.***

Note: Sepertinya saya memang tidak usah cerita pada Pakdhe dan Budhe saya bahwa saya pernah pulang dari Bogor jam dua belas. Apalagi bercerita pernah pulang dari Tasik sampai kost pukul setengah tiga pagi….

3 komentar:

  1. Memang seram wanita cantik dan menarik pulang sendirian malam-malam, untung kamu jelek dan nggak menarik. Secara fisiologis memang cocok jadi wartawan.

    BalasHapus
  2. Aha, ini pasti komentar dari seseorang yang saya katai kuwuk tempo hari.... Wajar orang kuwuk ga ngerti standar wanita cuantix.... Terimakasih atas komennya ^_^ Komen terus ya Kek.. Btw yang kakek maksud adalah morfologis, bukan fisiologis ya kek?

    BalasHapus
  3. wartawan, komikus, ataupun musisi (yang memilihnya sebagai jalan hidup, bukan untuk popularitas) emang sring banget dapet ocehan dan celoteh nggak enakd ari orang2, nggak jarang orang2 terdekat, bahkan keluarga meragukan jalan yang kita pilih, karena ternayat mereka tidak/kurang paham dunia yang kita pilih.

    Tetep berjuang aja, sekalipun harus pulang malam, ehehhe....

    Asik tuh kayaknya jalan2 keluar kota bawa kamera? ajak2 dong, sekalian gambar2 di pinggir jalan :-p

    BalasHapus