Senin, 18 Januari 2010

Pesimis

Surat kepada Neptunus (diiringi lagu Ching A Ling—Missy Elliot)

Saya terpaku. Rasanya ingin menangis. Tapi buat apa nangis kalau ga main sinetron? Hehe. Rugi. Kembali saya tajamkan seluruh indera di tubuh. Mulai dari indera penglihatan, penciuman, dan pendengaran. Ternyata masih normal.

Hanya saja, indera perasaan saya memang perlu diperiksa. Sepertinya sudah terlalu tumpul. Hal ini baru saya sadari ketika saya membaca Perahu Kertas karya Dee. Sampai halaman 50, buku itu saya tutup. Saya tidak sanggup meneruskannya.

Diceritakan di situ ada dua tokoh. Kugy, cewek yang terobsesi menjadi pendongeng; dan Keenan, pelukis sekaligus cowok sempurna (secara fisik dan kekayaan). Lukisannya bagus sekali. Ia bersekolah di Belanda. Walau kesannya malas belajar dan kerjaannya hanya melulu menggambar, toh cowok itu dengan mudahnya masuk ke Fakultas Ekonomi Universitas ternama. Sepanjang lima puluh halaman yang saya baca, isinya hanya menceritakan perasaan mereka berdua. Perasaan jatuh cinta! Namun keduanya dibuat seakan-akan mereka tidak menyadari mereka saling suka.

Umumnya ketika menulis resensi, terlebih dahulu kita harus membaca habis buku tersebut. Tidak peduli buku itu bagus atau tidak. Hanya saja, rasanya saya tidak kuat meneruskan Perahu Kertas. Itu karena akhir ceritanya mudah ditebak. Si cewek dan cowok perfect itu pasti jadian (dan memang benar, karena saya langsung membuka halaman akhirnya). Apalagi sudah ada sinyal-sinyal bahwa pacar Kugy—Joshua—itu posesif. Pokoknya ia menjadi tokoh yang wajar kalau diputusin sama Kugy. Hihihi.

Saya ingin menamatkan novel tersebut—karena populer. Namun, saya malas juga karena ceritanya tidak saya sukai. Novel tersebut tidak jelek (dari segi penceritaan), hanya saja temanya tidak sesuai dengan perasaan saya yang mulai tumpul: pesimis dan tidak punya obsesi. Perasaan itulah yang saya sadari setelah membaca novel tersebut. Jadinya saya ingin menangis bombay. Kok saya tidak bisa menikmati novel begituan sama sekali? Jangan-jangan….

Saya takut tidak mempunyai mimpi, tidak berani bermimpi, dan tidak pernah percaya bahwa kehidupan yang normal akan saya punyai. Seperti juga ketidak percayaan saya akan adanya pangeran berkuda putih menjemput dan meminta saya jadi pasangannya.

Perasaaan sirik abis dengan tokoh novel itu, membuat saya tersadar, jangan-jangan saya ini fobia bahwa hidup saya bakal tidak bahagia. Tidak akan sebahagia tokoh-tokoh di novel tersebut. Apakah hati saya hanya cocok dengan novel grafis suram atau satir seperti David B atau Joe Sacco?

Apa sih salahnya bermimpi ala cerita dongeng?

Kenapa sih saya tidak berani, meski hanya bermimpi?

5 komentar:

  1. Aku tamat dunk, ntar ya baca reviewku di MP, kagak kalah ... pesimisnya.

    BalasHapus
  2. ceritanya bagus kok ken..maybe awal2nya bikin gedeg2 bego tapi lama2 cerita mengalir tanpa perlu dipaksa untuk menyelesaikan mimpinya...coba baca yaa..;)

    BalasHapus
  3. hehe, pesimis boleh, tapi jangan lama-lama. Kalo lagi ke kamar mandi aja pesimis boleh dibawa, setelah itu (keluar kamar mandi) pesimisnya tinggalin, hahha...semanta pokokny dah!

    BalasHapus
  4. @vtea: iya bagus fet... hanya sadja... tidak sesuai tipe saya yang pesimistik. Hehehe.
    @darbe: Wah gimana tuh ya cara ninggalin pesimis?

    BalasHapus