Jumat, 29 Januari 2010

Heart block

Sepenggal Novel diiringi lagu Don't Stop the Music-Rihanna

Tulisan ini saya sadur dari novel berjudul heart block—Okke Sepatumerah. Di resensi ini, saya mencoba menempatkan diri saya sebagai tokoh utama.

***

Ampun! Saya sudah muak dengan ulah manajer yang memaksa menulis tulisan kacangan. Ia memaksa saya mengikuti talkshow, adaptasi novel, blog gila yang harus diisi tiap hari. Saya ini bukanlah mesin yang bisa menghasilkan gundala putra petir setiap jam (lho ga nyambung). Sama saja menjerumuskan diri jika saya dipaksa menulis karya kacangan. Novel atau karya saya haruslah selevel novel yang mendapat pulitzer. So, saya memutuskan rehat dan mencari inspirasi ke pulau dewata. Saya ingin melepaskan dari manajer gila dan kepenatan menjadi penulis terkenal.


Saya berencana meninggalkan Jakarta menggunakan Bavaria Air. Pagi itu juga saya langsung check in di Bandara.Ternyata pesawat murahan tersebut delay (Ya iya laaah....).


“Tinggal di mana non?” Sebuah suara terdengar di kupingku. Saya menoleh, ternyata bapak-bapak tampang hidung belang (sadis banget sih prasangka gue). Basa-basi. Saya tidak suka basa-basi. Aku mengangguk malas, buru-buru mematikan rokokku, lalu mematikannya.


“Tinggal di mana?” Huh, pertanyaan yang tak berujung. Ia mengeluarkan rokok dari saku pantatnya.

“Di kolong jembatan,” jawabku asal sambil mematikan lighter dan memasukkan kotak rokok klobot-ku.

Aku segera beranjak menjauhi Bapak botak itu.



Kepalaku semakin nyut-nyutan. Kucari kursi kosong lain di ruang tunggu itu. Kutemukan satu. Dengan sempoyongan aku menjatuhkan pantatku.

“Are you okay,” tanya sebuah suara.

Oh tidak, bebas dari bapak-bapak gatel sekarang aku harus menghadapi.....

Aku menoleh setelah menyiapkan tampang sangar andalanku.

Oh sialan....seseorang yang tampan sekali.


Laki-laki itu memiliki wajah sangat latin dengan dada yang kokoh (emang ayam). Alisnya tebel, matanya tajam (45o kurasa), begitupula hidungnya. Bibirnya tipis. Rambutnya dreadlock. Tubuhnya tinggi dan bahunya lebar. Kulitnya tampak kecokelatan.


Ow ow ow.... tunggu.... mataku ga berkedip-kedip kaaan?


Ia mengenakan T-shirt putih bergambar garuda (yang udah ditarik armani), serta celana bermuda penuh kantong berwarna khaki (itu celana ato kantong ya?). Kakinya yang mengenakan sandal gunung ditumpangkannya pada sebuah ransel besar abu-abu. Sementara di pangkuannya, terdapat sebuah tas kamera besar. Saking besarnya aku menyangka dia akan memotret badak bercula satu di Ujung Kulon dari Bali dengan lensa tele-nya.

Wow. Dobel wow, tepatnya.

***


Laki-laki itu bernama Genta. Dan, ia tinggal di Bali. Sebuah kebetulan yang menyenangkan. Genta itu benar-benar menarik! Bukan menarik secara fisik. Emmmm... baiklah-baiklahh, kuakui, dia memang menarik secara fisik, tapi itu cuma bonus bagiku. Serius! Bagiku, yang paling penting: kami nyambung! Di menit kelima belas, pembicaraan semakin seru.


People with the same wavelength will always bite each other. Aku pernah membaca kalimat ini, di sebuah novel yang pernah kubaca. Sayang sekali, aku lupa judulnya.


Nah, baru dua jam bersama Genta, aku merasa kami memiliki panjang gelombang yang sama, karena kami sangat klik, bagai ulir bibir botol dan tutupnya atau steker dengan stop kontaknya.


Sekitar empat puluh lima menit yang lalu, kami membahas mati di usia muda dengan pencapaian spektakuler, seperti Jim Morrison, Kurt Cobain, dan Marylin Monroe. Tiga puluh menit yang lalu, kami baru tahu kalau kami sama-sama menyukai anjing kampung (bukan Tsih Tsu atau GoldRet seperti orang lain)—dan menyukai Didi Kempot.


Barusan, kami cekikikan membahas mengapa cagak anim diberi nama cagak anim, yang berkembang menjadi penciptaan segala dalil-dalil yang kebenarannya bisa diragukan setengah, sedangkan setengah lagi, ngarang. Kami mengobrol, terus—tanpa jeda. Mengagumkan.


Jika pesawat harus di-delay sampai setahun, mungkin aku tidak akan keberatan sama sekali. Menunggu itu akan menyenangkan jika ada teman yang menyenangkan bukan?

Apalagi ternyata si Genta ini mau membantu mengambilkan bagasi saya (walau ternyata ia tidak menitipkan barangnya di bagasi); tinggal di Ubud (sama dengan lokasi yang ingin saya tuju); mau mengantarkan saya ke hotel—yang ternyata ia teman pemilik hotel. Selain itu, ternyata pria ganteng itu ketok-ketok kamar saya—walau awalnya dia tidak meninggalkan nomor teleponnya. Karena kamar saya tidak saya buka (karena ia saya pikir room service) maka si pria tampan itu meninggalkan pesan.


“Dua kali aku ketok pintu kamu, tapi kamu ga mau keluar. So, aku akan datang lagi pukul 17.00. Kalau kamu belum keluar juga, aku lapor satpam. Takut kamu kenapa-kenapa. (Ow ow ow....). Ternyata dengan motor trailnya ia mau ngajak nonton sunset sambil ngopi.... Wew....


Setelah jalan-jalan ia ngajak ke kontrakan ia yang sejuk, minimalis, dan nyaman. Kemudian dia mulai sibuk dengan sebuah buku dan sebuah pensil. Berkali-kali ia menatapku.


“Kamu ngapain, sih?” tanyaku. (Padahal gua tau.... Dilukis doooonk..... Aw aw aw).

“Nih,” ia merobek kertas dari buku dan menyerahkan padaku.

“Wah... Bagus,” Aku terkejut. Begitu mirip (padahal kalo mirip mah jelek. Aku sedikit berharap dia menggambar bidadari aja....)


Setelah itu.... Ia mengajak aku ke atas.... Yang ternyata... Aw aw aw.... Studio lukisnya.... Setelah berbincang-bincang betapa saya bodoh untuk urusan mengomentari karya seni, di luar dugaan ia malah geli dan menganggap saya lucu.


Aw aw aw.... dan ternyata sebelum pulang menciumku.... (urusan cium-mencium ini kali ada 4 kali ditulis di novel itu)


Berikutnya aku merasa berbunga-bunga dan mau tinggal bersama Genta. Eh.... kalau kehidupan saya diganggu writer's block, si Genta sang pelukis diganggu kuratornya yang bergaya bohemian. Ganggu kemesraan saya saja! Duh, kenapa si kurator aneh umur 30-an yang super jadul ini dimunculkan dalam kehidupan saya yak? Jangan-jangan....


Yup, si Genta si romantis ternyata karena otaknya step ato gimana dia mengencani banyak gadis. Masing-masing gadis itu kayaknya cuman dimanfaatin jadi model lukisannya. Trusss.... Setelah saya kembali ke Jakarta ternyata dia menghilang dan tidak pernah menghubungi saya. Dan blam... ketika melihat pameran lukisan di jogja.... Hweh... ternyata si Genta itu suka sama kuratornya. Jadi kiss-kiss waktu itu.... Hikz hikz hikz.... Ending dan awal yang dipaksakan. Kenapa sih, saya tidak menikmati cinta happily ever after sama sang pelukis keren dan tinggal di Ubuuuuud....


*Gue lumayan menikmati novel ini, bahasanya enak dibaca. Hanya saja kata-katanya di depan terlalu berbusa-busa (alias ngombro-ombro). Si pelukis yang dinanti-nanti ga muncul-muncul. Kebetulan-nya maksa banget, endingnya maksa untuk beda. But, recomended buat yang suka menjadikan kementok-an sebagai alasan untuk tidak produktif. Wakakaka.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar