Ketika saya bilang saya sakit flu, mungkin orang hanya akan bilang “Ooo.. Lekas sembuh ya.”
Tetapi berbeda ketika saya menjelaskan keadaan berikut ini.
“Ngg... aku habis operasi,” kata saya kepada teman.
“Oya? Operasi apa?”
“Payudara,” jawab saya.
Seketika itu berbagai macam pertanyaan bermunculan. Kok bisa dioperasi? Benjolan apa? Tumor? Ganas nggak? Kenapa sih buru-buru dioperasi? Ada juga yang berkomentar, ih ngeri ya.
Pertanyaan-pertanyaan itu wajar, karena penyakit ini jarang dibahas.
Mungkin status berikut sering kita lihat di twitter atau fb:
“Flu nih.”
Namun jarang yang menulis status dengan gamblang seperti ini:
“Lagi punya benjol di payudara nih.”
Beberapa wanita menutup rapat, bahkan enggan membicarakannya ketika mendapati dirinya terkena tumor, meski tumor jinak di payudaranya. Padahal, benjolan di payudara banyak dialami wanita usia produktif.
Saya adalah salah satu wanita yang mengalami benjolan di payudara. Dua minggu lalu, sekitar 3 hari sebelum menstruasi, saya terkejut menyadari payudara sebelah kiri saya agak sakit saat menggendong keponakan saya. Ketika saya periksa, ternyata ada benjolan di payudara kiri. Benjolan tersebut tidak menonjol, melainkan hanya terasa kalau diraba.
Operasi
Keesokan harinya, hari Selasa, saya langsung menemui dokter bedah onkologi di rumah sakit. Sebelum bertemu dokter, saya menjalani USG. Hasilnya terlihat ada benjolan padat (echoless) ukuran kurang lebih 7 mm x 5 mm. Diagnosis USG mengarah ke fibroadenoma atau FAM. Dokter praktek yang saya temui berkata sebaiknya benjolan tersebut diangkat.
Untuk mengetahui lebih lanjut apakah benjolan itu ganas atau jinak, kakak saya merekomendasikan untuk melakukan biopsi. Hari Jum’at saya melakukan biopsi di lab patologi anatomi. Dengan jarum suntik, cairan atau jaringan di dalam benjolan diambil. Jaringan dioleskan ke dalam preparat kaca untuk dianalisis. Setelah itu, agak deg-degan juga membuka hasil pemeriksaannya. Alhamdulillah, jenis benjolan yang saya alami termasuk yang jinak.
Meski sudah diketahui jinak, tapi benjolan tetap disarankan diambil untuk dianalisis lebih lanjut. Oleh sebab itu, saya melakukan operasi setelah selesai menstruasi Oktober lalu. Ada beberapa orang yang menanyakan mengapa saya memilih dan mau dioperasi. Mereka ini biasanya menganggap operasi merupakan sesuatu yang mengerikan. “Lha wong disuntik aja takut, apalagi operasi,” mungkin begitu pendapat mereka.
Saya menjalani operasi karena berprinsip sumber penyakit harus dibereskan dulu. Saya ingin ada analisis menyeluruh, bukan hanya meraba-raba, dan berharap-harap cemas apakah benjolan ini bisa hilang sendiri. Segera saya putuskan untuk operasi meski harus meminjam dana untuk operasi.
Dalam kasus saya, operasi merupakan cara yang tepat untuk menganalisis apa yang saya alami secara tepat. Karena setelah operasi, ada tahapan pemeriksaan jaringan, yang penting untuk mengetahui kecenderungan jaringan tersebut.
Pengalaman Teman
Sebelum operasi saya sempat bertanya-tanya kepada teman yang pernah mengalami hal yang sama. “Kalau aku sih ken, pernah mencoba alternatif, habis lumayan banyak. Jadi aku operasi. Karena pada dasarnya, ada FAM yang bisa sembuh sendiri, ada juga yang mesti diangkat,” katanya. Waktu itu saya masih berpegang pada diagnosis awal dokter bahwa saya menderita FAM.
Sewaktu saya periksa di rumah sakit, saya juga ketemu Ibu-ibu yang bercerita tentang penyakitnya. Ia duduk disamping saya ketika saya menunggu hasil USG dari rumah sakit. Ia berkata bahwa ia punya benjolan di payudara sejak usia 12 tahun. Ia tidak pernah memeriksakan benjolan itu. Kemudian, setelah usia 42 tahun, ia menderita kanker payudara. Kemungkinan benjolan yang ia derita dahulu itu menjadi kanker yang ia derita sekarang. Ibu yang bekerja di Jakarta itu akhirnya ke dokter setelah berbagai obat alternatif nan mahal harganya tidak membawa hasil.
Meski begitu, saya memutuskan operasi atau bukan tidak terkait dengan percaya atau tidak percaya terhadap pengobatan alternatif atau semacamnya. Saya memutuskan pergi ke dokter dan melakukan operasi terutama agar dapat segera menerima keadaan (secara psikis) dan memahami benar-benar apa yang tengah terjadi.
Dengan menjalani berbagai pemeriksaan, pikiran saya jadi tenang dan tidak dibayangi rasa cemas. Dengan mengetahui apa yang terjadi, saya merasa bisa berpikir jernih dan memutuskan apa yang baik bagi diri saya.
Macam-macam Tumor
Dokter Herjuna Herdiyanto SpB (Onk) menjelaskan pada saya, ada dua macam tumor payudara, yang jinak, dan ganas. Yang jinak terdiri dari dua, yaitu Fibroadenoma atau FAM, dan Fibrocystic disesase atau FCD.
FAM terdiri dari dua macam, FAM murni, dan Phylloids. FAM murni tidak ada kecenderungan menjadi ganas, namun tipe phylloids mempunyai kemungkinan menjadi ganas, sehingga diperlukan observasi rutin.
Untuk FCD, dibedakan menjadi 3 stadium, I, II, dan III. Stadium I cenderung jinak, sedangkan stadium II dan III bisa mempunyai kecenderungan ke ganas. Stadium II bisa 15—20 tahun menjadi ganas, sedangkan stadium III lebih singkat, bisa dibawah 5 tahun. Oleh sebab itu pada stadium II, diperlukan observasi setiap 3—6 bulan. Sedangkan stadium III diobservasi 2 minggu sekali sampai 1 bulan. Di situlah perlunya saya mengangkat benjolan di payudara saya, yaitu untuk menentukan saya ada di stadium mana.
Melalui operasi-lah, saya menjadi tahu diagnosis yang lebih tepat. Setelah benjolan saya diangkat, baru ketahuan ternyata saya mengalami fibrocystic disease (FCD) atau kista payudara, bukannya FAM seperti diagnosis awal. Meski begitu, saya tetap merasa lega karena baik FAM dan FCD sama-sama tumor jinak. Bedanya, FAM padat, sedangkan FCD berisi cairan.
Sabtu lalu saya menjalani operasi. Saya dibius lokal atau hanya di sekitar payudara. Operasi berlangsung singkat, sekitar 1 jam lamanya. Karena saya masih sadar, saya bercengkerama dan bergurau sepanjang operasi dengan dokter dan para perawat. Di ruang operasi juga terdapat TV yang bisa saya dengar siarannya. Saya bahkan bisa terus berpesan pada dokter dan perawat agar jahitannya rapi.
“Iya Mbak, ini rapi jali wis, jahitannya,” kata seorang perawat.
Saya pengen tertawa, tapi hanya bisa meringis karena waktu itu payudara saya tengah dijahit.***