Kamis, 13 Januari 2011

Inilah Jogja

Saya baru saja pulang dari hiruk pikuk Jakarta. Karena belum punya SIM, salah satu kendaraan yang saya andalkan adalah sepeda milik kakak. Itu karena tanpa kendaraan pribadi, akses kemana-mana susah. Seperti yang kita tahu, angkutan di Jogja itu ibarat mati bukan, hidup segan.

Dengan becak, saya malah sering nggak tega sama tukang becaknya. Karena tak tega, saya nggak bisa cuma ngasih uang nge-pas sama mereka. Walaupun, mungkin pengayuh roda tiga itu sudah biasa dikasih yang nggak seberapa. Jadinya ya boros kalau naik becak terus-terusan.

Naik sepeda di Jogja itu banyak enaknya. Parkir umumnya gratis, atau kalaupun bayar cuma Rp500. Itu pun saya rasa tukang parkirnya ga protes kalau nggak dikasih. Lha wong sepeda=kendaraan orang cilik.


Kakak ipar saya di ruang tunggu sepeda, perempatan Malioboro, Yogyakarta*

Ada benarnya Pemerintah Kota Jogja memberikan fasilitas-fasilitas menarik bagi pesepeda. Misal, tanda penunjuk arah untuk pesepeda dan jalan khusus .Ada juga ruang tunggu lampu lalu lintas di depan pengendara motor lainnya. Oleh sebab itu, orang seperti saya ini merasa diuwongke atau dihargai. Meski hanya naik sepeda.

Di tukang mie pun, saya menikmati rasanya diuwongke. Waktu itu hujan deras dan saya dalam perjalanan membeli bakmie jawa. Saya bersepeda menggunakan jas hujan dan helm standar (kira-kira tampang saya mirip ultraman). Sampai tukang mie, sepeda saya parkir di gubug samping bakul mie itu.
“Sudah, taruh di situ mbak, nanti saya masukkan,” kata mas-mas itu dengan bahasa jawa.
Sepanjang menunggu selama 1,5 jam itu sepeda saya dijaga mas-mas itu. Setelah mie saya matang dan akan mengambil sepeda, saya ulurkan uang Rp2.000 (karena ga ada uang receh).
“Nggak usah mbak,” jelasnya sambil menolak uang itu.
Wah, sebuah kata-kata yang jarang saya dengar ketika di Jakarta dulu.

Di kantor polisi (saat ujian SIM) pun juga begitu. Ketika saya cari-cari tukang parkir untuk membayar, ia juga menolak. “Nggak usah,” jelasnya.
Memang, menurut saya rata-rata sepeda tidak terlalu dituntut bayar parkir. Semoga senyum dan keikhlasan bapak dan mas parkir itu menambah kegairahan warga Jogja untuk bersepeda. Sehingga, apabila nanti jogja macet, macet karena sepeda dan becak yang tidak menimbulkan asap hitam menyesakkan :D

*Foto: Niken Terate Sekar

5 komentar:

  1. Ahahahaaayyy.... Ayo, test maneh kaya aku. Nek aku ilange kawit biyen liputan nang karawang kae :D

    BalasHapus
  2. wah sakiki tambah rajin nulis. sip2...kangen jaman2 ngepit neng jogja. nek aku udu sime sing ilang wong ncen ra duwe sim, tapi sepedane :(

    BalasHapus
  3. suwe gak dolan ke Yogya, pas akhir tahun kemarin sempat maen ke rumah teman di Gejayan, dan melihat ada perlakuan khusus buat pesepeda, tampaknya memang kota Yogya masih enak buat bersepeda, dan di sana transportasi sepeda memang masih menjadi pilihan yo?
    sedangkan kalo aku lihat di kota besar, ya bersepeda terkadang pas liburan saja.
    pernah temanku beli sepeda di toko di daerah Serpong, eh habis beli sepeda malah ditakoni, "mas mobilnya mana, biar sepedanya saya anter ke mobil" nah temanku langsung komentar "nah saya beli sepeda ini justru karena saya nggak punya mobil"
    hmmm jadi saya lihat memang yang beli sepeda di toko itu rata2 semua sudah bermobil, sepeda sebatas pengisi waktu luang saja...

    BalasHapus
  4. Indolife: Wakakaka... Nek pas jaman kuliahan ki kayane kelangan pit ki cerita sing umum. Nek ra di silih ra dibalekke, apa cen raib begitu saja :D
    Asfanforever: Ehehehe... Cerita yang menarik^^

    BalasHapus