Berikut ini yang saya lihat di acara hunting bersama komunitas fotografi di Jakarta: Di pojok jalan, terlihat seorang bapak tua, yang nampaknya tertidur. Bajunya lusuh, compang-camping, kontras dengan gedung-gedung kantor yang megah di sekitarnya.
Seketika itu beberapa fotografer muda mendekat. Beberapa jepretan mendarat padanya. Bapak yang semula nampak tertidur itu berkata dengan muka masam ‘Sudah miskin, masih dijeprat-jepret pula’. Ia menunjukkan ketidaksenangannya pada fotografer muda yang menjadikan dirinya sebagai objek fotografi. Nasibnya jauh berbeda dengan model cantik yang dibayar seusai pemotretan.
Teknologi kamera yang canggih dan murah saat ini memunculkan banyak fotografer. Sayangnya, dalam prakteknya--demi mengejar foto--si fotografer terkesan asal jepret. Alih-alih dapat foto yang bagus, malah mendapat potret bapak dengan muka masam seperti cerita di atas.
Asal jepret
Kejadian di atas banyak dialami karena kurang adanya interaksi antara fotografer dengan objek yang difoto. Siapa sih, yang suka difoto orang dengan membabi buta oleh orang yang tidak dikenal? Oleh sebab itu, kedekatan dengan objek, terutama pada fotografi human interest itu sangat penting. Namun, untuk mendekatkan dengan objek memang butuh banyak usaha. Apalagi di negara lain, yang kerap terkendala bahasa.
Salah satu fotografer jurnalis yang menghasilkan foto-foto human interest yang menarik adalah Agustinus Wibowo. Agustinus atau yang biasa dipanggil Gus Weng adalah seorang fotografer dan penulis. Beijing, Tibet, Nepal, India, Pakistan, Afganistan, Uzbekistan, Turkmenistan adalah beberapa negara yang pernah ia kunjungi. Ia tak segan mempelajari bahasa di setiap negara itu demi bisa berinteraksi dengan masyarakatnya dan mendapatkan foto serta bahan tulisan yang mendalam.
Penulis buku Selimut Debu dan Garis batas itu tinggal di Afghanistan selama tiga tahun untuk benar-benar melebur ke dalam masyarakatnya. Walaupun tidak mempunyai dasar fotografi atau jurnalistik, kegigihannya membuat karya fotonya diminta untuk PBB dan berbagai NGO. Dalam acara Cephas Photo Forum di Multiculture Campus Realino, Gejayan, Yogyakarta pria yang berasal dari Lumajang itu bercerita bagaimana mendapatkan ekspresi subjek foto yang menarik dan natural.
Melebur
Menurut pria yang kini tinggal di Beijing itu, kekuatan suatu foto adalah ekspresi dari subjek foto. Untuk mendapatkannya, antara fotografer dan subjek membutuhkan komunikasi yang dekat. “Untuk mendapatkan foto yang baik, saya harus melebur, benar-benar masuk dalam kehidupan subjek foto,” jelas pria yang pernah menempuh pendidikan di Tsinghua University itu.
Untuk mendapatkan objek yang natural, ia memakai pakaian yang sama, benar-benar tinggal di rumah penduduk 1—2 minggu. “Saya jadi tahu kisah hidup mereka, kehidupan pribadinya, dan selanjutnya belajar mengengai filosofi dan cara berpikir penduduk tersebut.” Selain manjur untuk mendapatkan angle human interest yang bagus, informasi itu sangat membantu untuk membuat catatan perjalanan yang baik.
Waktu untuk tinggal di suatu negara tidak Gus Weng batasi. “Jika banyak yang perlu dipelajari, saya akan tinggal cukup lama,” jelasnya. Di Afghanistan, untuk mendalami ia tinggal selama 3 tahun. Di Pakistan 6 bulan, di Asia Tengah total 7 bulan. Ada filosofi yang dipengang Gus Weng. Semakin lambat kita melakukan perjalanan, semakin lama tinggal di suatu tempat, semakin banyak kita menyerap kebijakan dari tempat tersebut.
Saya dan Gusweng di acara Travel Writing :D*
*Foto by Natalia Natty
tambah mantep wae...
BalasHapusMaturnuwun mbakyu :D
BalasHapustulisan yang bagus :)
BalasHapusMakasih mbak Iyut :D
BalasHapusfotonya juga jd bagus, hitam putih gini Ken :)
BalasHapusMakasih ya Nat, udah ngejepretin :D
BalasHapus