Jumat, 25 Juni 2010

Perang Sebagai Candu

Pukul 7—11 malam, Alhamdulillah saya bisa menjalankan 4 kegiatan. Yang pertama berbuka puasa di warung capcay, menyetrika semua cucian, mengambil baju di laundry, sekaligus menamatkan novel grafis Nafsu Perang: Sejarah Militerisme Amerika di Dunia



Dari judulnya, saya pikir ini bacaan berat. Maksudnya, setidaknya butuh 2 hari di hari libur. Namun, ternyata butuh 1 jam saja menamatkannya.

Itu karena buku buatan Joel Andreas itu mudah dicerna dan mengalir. Gaya penulisannya pun cukup baik. Alih bahasa dari Tim Profetik juga cukup jelas. Walau hanya 69 halaman, buku itu mampu menceritakan banyak hal, sekaligus mengundang simpati.

Kesan pertama tentang buku itu: provokator bangeeet. Maksudnya, sangat mampu mempengaruhi pembacanya. Buku itu mengingatkan saya pada novel grafis Palestina karangan Joe Sacco.

Buku itu menggambarkan kegemaran AS berperang dan menciptakan perang. Cerita berawal dari pemusnahan etnis Indian Amerika dan perampasan hampir separuh wilayah Meksiko. Bab lainnya bercerita secara gamblang tentang faktor-faktor ekonomi dibalik ambisi kolonialisme AS. Dengan baik buku itu juga mengilustrasikan mahalnya biaya militer di AS.

"Sejak 1948, AS telah menghabiskan lebih dari lima belas triliun dolar untuk membangun kekuatan militer. Nilainya melebihi seluruh hasil buatan manusia di AS. Dengan kata lain, nilai anggaran militer pemerintah selama empat dekade terakhir melampaui nilai gabungan semua pabrik, mesin, jalan raya, jembatan, sistem pengolahan air limbah, bandara, rel KA, pembangkit listrik, gedung perkantoran, pusat belanja, sekolah, rumah sakit, hotel, rumah, dll yang ada di negara ini,”

Tulisan pengajar Universitas Johns Hopkins itu juga menceritakan fakta-fakta menarik. Misal, bagaimana CIA merekrut Osama bin Laden dan menceritakan mengapa Osama balik melawan negara adidaya tersebut. Diceritakan juga bagaimana AS mengintervensi Panama dengan alasan menangkap bandar narkotika. Padahal, motif sejatinya memastikan kendali AS atas terusan panama sebagai pangkalan militer AS. Tak ketinggalan cerita kekejaman senjata biologis di Vietnam serta Timur Tengah.

Terlepas dari sifat provokatornya, buku ini layaknya buku dongeng yang enak dinikmati. Walaupun buku perang, bukan berarti memprovokator pembacanya untuk berperang juga. Buku yang sudah diterjemahkan berbagai bahasa itu hanya menegaskan, perang bukanlah jawaban untuk perdamaian. Dengan segala kelebihan itu, saya malah heran baru membaca buku yang terbit tahun 2004 itu sekarang. Lagi-lagi saya harus berterimakasih kepada rental penyedia buku aneh-aneh dekat kost.

Kekurangan buku yang sudah dicetak 200-ribu eksemplar pada 2004 itu agak sulit saya cari. Jujur saja, saya bukan ahli perang yang bisa memastikan apakah semua sumber yang ada valid. Namun, toh referensi sangat ditulis dengan jelas. Silakan gugling atau mencari referensi buku lain kalau penasaran.***

“Saya menyimpulkan bahwa jika kita tidak mengubah sistem nilai yang didasari cinta pada uang dan kekuasaan menjadi cinta pada kasih sayang dan kemurahan hati, maka kita akan musnah abad ini juga. Kita perlu gempa kecil untuk membangun umat manusia. Buku-inilah gempa itu."
Patch Adams, pendiri institut Gesundheit penentang kebijakan Perang Vietnam.

Sumber: Andreas, Joel. 2004. Nafsu Perang, Sejarah Militerisme Amerika di Dunia. Profetik, Jakarta.
Foto: http://rgr-static1.tangentlabs.co.uk/images/bau/97819048/9781904859017/0/0/plain/addicted-to-war-why-the-u-s-cant-kick-militarism.jpg

Jum’at, 14 Mei 2010; 00.05

Tidak ada komentar:

Posting Komentar