Rabu, 07 Maret 2012

Basa-basi versus Aneh-aneh

Beberapa hari lalu, Erick, pacar saya, mengungkapkan keheranan terhadap saya. Menurutnya saya cenderung menarik orang untuk mengobrol.

“Kita berdua sama-sama lagi membaca, tapi kok yang diajak ngobrol kamu,” ungkapnya beberapa waktu lalu.

Katanya ini sering terjadi. Seperti di Malioboro beberapa waktu lalu, ada seorang fotografer wanita yang mengajak ngobrol saya, dan bukannya mengajak ngobrol Erick atau orang lain.

Saya tidak bermaksud nyombong seandainya saya punya kemampuan 'menarik' orang. Pasalnya, tak semua yang ngobrol itu ‘nggenah’.

Kadang malah orang aneh yang mengajak saya bicara. Contohnya beberapa hari lalu, seorang pria yang mengajak ngobrol saya.

“Mbak kerjaannya apa?”
“Mmm... sekarang sedang menulis. Eh, bisa dibilang serabutan,” jawab saya.
Sebagai basa basi dan menaruh hormat, saya ganti bertanya, karena dari tadi orang ini yang terus bertanya.
“Lha kalau bapak, kerjaannya apa?” tanya saya.
“Pendusta.”

Jederr.... Pria itu berbicara tidak dengan nada bercanda, ia serius. SUNGGUH. Ini membuat saya menerka, jangan-jangan pendusta bisa sejajar dengan profesi baru lain seperti sosialita, dan aktivis jejaring sosial.

Ada juga orang yang ingin kenalan dengan saya dengan cara menebak-nebak.
“Kamu agamanya apa sih? Kristen?”
“Bukan.”
“Budha?”
“Bukan.”

Dan dia urutkan ke semua agama besar di Indonesia sampai tamat.

Tak puas dengan Agama, karyawan sebuah perusahaan swasta di Jakarta itu bertanya hal lain.
“Kamu dari daerah mana sih? Padang?”
“Bukan.”
“Medan?”
“Bukan.”
“Sulawesi Selatan?”
“Bukan”

Dan dia urutkan sama seperti pertanyaan sebelumnya. Mungkin nyaris 33 provinsi ia tebak. Saya mulai menerka-nerka bahwa ia dulu maniak ikut kuis ‘who wants to be millionare’ dengan pilihan bantuan: boleh menebak sesukanya.

Menurut teman saya Kurnia Harta Winata saya cenderung menarik orang-orang aneh. Berbicara dengan orang aneh terdapat sisi positif karena saya justru lebih bisa mengingat orang-orang aneh itu dibanding orang yang ngobrol tentang hal biasa alias basa-basi.

Omong-omong soal basa-basi, kadang saya sendiri merasa terlampau basa-basi. Hanya ngomong iya-iya, tanpa begitu konsentrasi apa yang dikatakan orang. Contohnya seperti ini, dan ini berkali-kali terjadi:

“Anaknya ya Mbak? Umur berapa?” tanya seorang Ibu-ibu yang lewat di depan rumah. Waktu itu saya tengah menggendong keponakan saya.
“Iya, 9 bulan bu.”

Lain kali, saya bersepeda ingin ke pasar, ada seorang tetangga baru yang bertanya.
“Mau pulang ya Mbak?”
“Iya,” jawab saya.
Akibatnya, selama beberapa lama tetangga itu selalu mengira saya pembantu di rumah Bapak saya.

Tentang bab asisten rumah tangga ini tak hanya Ibu itu yang bertanya, tapi yang lain juga.
“Dulu perasaan sampeyan belum kerja di sini,” tanya seorang Ibu ketika saya sedang menyapu halaman.
“Iya sih Bu,” jawab saya.
“Oh, dulu kerja di mana?”
“Di Jakarta.”
“Oh, jadi pas Mbaknya (Majikan alias kakak saya-red) ngelairin, baru kerja di sini ya?”
“Iya,” jawab saya. Lagi-lagi saya tidak mau dan malas menjelaskan.
“Wah, kalau sudah seminggu gajinya lumayan ya,” cerocos ibu itu lagi.
“Nggg...”

Tapi terkadang saya terlalu apa adanya, bukan basa-basi.
“Mau ke mana Mbak?” tanya seorang tetangga. Sungguh, sebenarnya ini pertanyaan basa-basi. Orang tidak akan peduli andai kita menjawab pamit ke Timbuktu.
Dengan malas saya menjawab, “Ngg... ke Toga Mas Bu.” Toga Mas adalah sebuah toko buku di Jogja.
“Oh... Oleh-olehnya ya,” katanya.
“...” saya speechles dan cuma tertawa getir. Niatnya mau jujur apa adanya malah repot. ***

5 komentar:

  1. Jadi, gaji jadi baby sitter di Yogya berapa mbak? *kabuuur*

    BalasHapus
  2. hai, niken! Apa kabar? #basa-basi :D

    BalasHapus
  3. Lani: Kalau rajin sih, bisa buat beli ferari XD
    Eny: Baiiiik... (Basa basi juga :D)

    BalasHapus
  4. numpang ngakak ah =)) btw, lagi ngerjain apa sekarang? sebutin 2 huruf pertama aja ya.. #maniak tts yang basa-basi

    BalasHapus
  5. Anonim: Kamu lebih aneh daripada orang aneh karena menyembunyikan identitas XD Wakaka...

    BalasHapus