Suatu saat saya boker. Belum sempat keluar apapun, terdengar sebuah kecipak di kloset. Saya tengok: walah, seekor tikus yang gelagapan sedang berusaha keluar dari kubangan kloset. Hiiiiiyyyy...
Saya tidak berteriak histeris itu sih. Segera saya tutup pintu kamar mandi dan mengambil tongkat. Entah mungkin karena takut digebuk tiba-tiba bisa merangkak keluar dari kloset. Saya dan Mbak Pri—asisten rumah tangga—mengejar-ngejar tikus itu. Tikus itu sukses meloloskan diri melewati sebuah lubang kecil yang terhubung dengan rumah tetangga.
Awalnya saya agak traumatis. Takut di dalam kloset terdapat another tikus. Tapi toh karena hasrat kebelet ya gimana lagi. Mungkin tikus itu tergelincir di dalam kloset dan tidak bisa meloloskan diri. Sehingga ia malah menyelam dan terjebak di situ. Dan ketika akhirnya ia mau keluar, eh, malah melihat pantat saya. Lalu saya berpikir, ia pasti lebih ketakutan dan traumatis daripada saya.
Super serakah
Ketika membayangkan peristiwa itu, saya mulai menyadari bahwa saya adalah makhluk yang serakah. Pokoknya, saya ingin rumah saya bersih. Nggak boleh ada kecoa, nyamuk, tikus, lalat, apalagi ular dan tomcat!!
Bapak saya pernah cerita. Dulu, waktu bapak saya kecil, di molo (balok yang menopang rangka atap) sering terlihat ular mondar-mandir mencari tikus. Namun, lama kelamaan tidak ada lagi ular-ular karena hunian di sekitar kami semakin padat.
Nah, giliran si pemangsa tikus hilang, meledaklah populasi tikus. Dan sekarang saya menggerutu karena banyak tikus. Namun saya tidak membayangkan saya akan memelihara ular untuk membasminya: mengingat kucing tak lagi berburu tikus.
Burung yang nyasar di ruang perpustakaan rumah.
Mungkin karena rumah mereka sudah banyak terusik saya.
Manusia selalu ingin keadaan ideal bagi mereka, namun tak pernah ideal bagi kaum lainnya. Bahkan kalau di suatu rumah ada hantunya, terpaksa paranormal bertindak dan membujuk si makhluk halus pindah lokasi. Pokoknya tempat tinggal manusia ya manusia! Nggak boleh ada yang mengganggu.
Belum lagi kalau ada serangan semacam ulat bulu. Memang tidak sedikit yang takut dengan makhluk bernama ulat. Padahal, peristiwa seperti itu merupakan suatu siklus, bahkan bisa membantu pertumbuhan tanaman. Tapi kejadian seperti itu justru ditanggapi berlebihan dengan menyemprotkan pestisida ke mana-mana. Padahal, dengan menyemprotkan pestisida, konsumen yang paling terimbas adalah manusia karena ia merupakan makhluk di pucuk piramida makanan.
Ulat hitam
Beberapa bulan lalu, serangan ulat juga terjadi pada tanaman daun ungu saya. Tanaman itu bopeng-bopeng dimakan ulat hitam yang menyeramkan. Namun, beberapa bulan kemudian banyak kupu-kupu cantik di rumah saya. Selain itu tanaman daun ungunya kembali tumbuh subur. Indahnya kupu-kupu yang berterbangan di sekitar saya itu suatu saat juga akan bertelur di daun, dan kembali terdapat ulat-ulat yang memakan dedaunan itu. Hal itu sangat alami bukan?
Untungnya serangan tomcat yang terjadi akhir-akhir ini ditanggapi secara berbeda. Media massa sudah semakin cerdas dengan membuat judul berita: tomcat sahabat petani. Penyemprotan juga dilakukan dengan pestisida organik. Menurut saya itu awal yang bagus untuk ‘bersahabat’ dengan makhluk lainnya. Saya tidak bisa membayangkan kalau manusia tetap mengadakan berbagai permusuhan dengan makhluk-makhluk yang sejatinya berguna itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar