Sabtu, 06 Oktober 2012

Empati

Setiap hari, ada tetangga ‘gila’ yang mondar-mandir di belakang rumah. Saya sering berpapasan, ketika menuntun motor ke luar, atau menggunting tanaman. Sejak saya berumur 4 tahun, saya sudah mengabaikannya. Ia tak pernah saya sapa, atau sekadar berani menatap matanya.

Orang gila itu sudah saya cap menakutkan sejak kecil. Meski ia tak pernah sekalipun merugikan. Tingkahnya hanya mondar-mandir tanpa tujuan di jalanan kampung, tetapi tidak lebih jauh dari itu. Bahkan, kata ‘gila’ itu sendiri saya juga yang mengasosiasikan. Ia adalah kata yang sudah tertanam, baik gila, nggak waras, kurang satu ons, dan kata lain yang selaras dengan gila.

Dulu sampai sekarang, saya selalu was-was dan penuh prasangka. Jangan-jangan kalau disenyumi, dia naksir saya atau berbuat sesuatu yang gila. Padahal belum pernah sekalipun saya buktikan. Saya menghakiminya sejak dulu. Sejak Mami—Ibu saya bercerita, bahwa orang gila itu pernah bilang ingin menikah dengan Mami, meski maaf, Ibu saya itu udah tua, nggak cantik dan sudah punya banyak anak.

Oke, cantik itu relatif. Kadang memang tabu untuk diungkapkan, tetapi yang jelas Mami tipe-tipe yang nggak akan masuk di sampul Majalah MORE.

Saya selalu dan selalu menghakimi. Bertindak kejam dengan mengabaikan. Menganggap dia itu hantu. Hantu—yang sampai kapanpun tidak pernah saya akui sebagai makhluk yang punya perasaan. Saya sudah terlanjur menempelkan stigma gila. Dengan ‘spidol Snowman permanent’.

Saya tidak pernah mencoba peduli. Dengan tersenyum, menyapa, atau ngajak ngobrol. Itu karena sama dengan mencoba sesuatu yang gila. Beresiko. Mending cari aman. Yaitu pengabaian.

Teman saya pasti akan mengatakan saya GE-ER-an. Tapi akan saya tanggapi, ‘Ya udah, coba Anda saja yang senyam-senyum sama dia. Itung-itung amal.’

Stigma yang saya tempel, baik atau buruk jelas-jelas buruk. Bagaimana cara menakar baik buruknya? Ya dengan ber-empati—kata yang sekarang makin ditinggalkan. Kok bisa? Hal itu bisa kita lihat dalam diri dan sekitar kita. Haji dipandang sebagai hal yang terbaik padahal tetangganya tiap hari cuma makan indomie. Orang-orang hanya sibuk menyalahkan pemerintah dan cukup puas bila sudah nyetatus di facebook atau ngetweet tanpa ada hal nyata-nyata dilakukan untuk memperbaiki negara yang sudah morat-marit.

Kembali pada orang gila, kemudian saya berandai-andai. Jika saya jadi dia maka... Hmm... tentu saya merasa sedih. Kalau dia benar-benar gila sehingga nggak peduli apakah saya senyum atau koprol sih mungkin tidak menyakiti dia. Tapi kalau dia kumat-kumatan bahkan sudah sembuh, apa nggak miris tuh perasaannya, tiap hari dicuekin tetangga? Jelas saya berlumuran dosa.

Sehingga, ketika ada anak tetangga yang bilang,
“Keyla masuk neraka.”
Keyla adalah salah satu teman bermainnya, yang masih hidup tentunya.
“Kok bisa?” saya mengernyit.
“Ya iya, karena dia nakal.”
“Kok kamu bisa mastiin dia masuk neraka?” tanya saya.

Dia tidak menjawab. Tapi ada satu yang pasti, bahwa anak itu sudah mulai terpengaruh untuk mengadili orang bahkan sebelum mereka mati. Mengadili, memberi stigma, memberi cap, yang kemungkinan besar bisa meleset.

Jangan-jangan yang bilang Keyla masuk neraka lebih nakal? Jangan-jangan, saya lebih gila daripada orang yang saya cap gila? Jangan-jangan...

Ah sudahlah. Saya teruskan lagi menggunting tanaman dan memilih mengabaikannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar