Jumat, 30 Maret 2012

Ada Manusia, yang Lain Diharap Minggir

Suatu saat saya boker. Belum sempat keluar apapun, terdengar sebuah kecipak di kloset. Saya tengok: walah, seekor tikus yang gelagapan sedang berusaha keluar dari kubangan kloset. Hiiiiiyyyy...

Saya tidak berteriak histeris itu sih. Segera saya tutup pintu kamar mandi dan mengambil tongkat. Entah mungkin karena takut digebuk tiba-tiba bisa merangkak keluar dari kloset. Saya dan Mbak Pri—asisten rumah tangga—mengejar-ngejar tikus itu. Tikus itu sukses meloloskan diri melewati sebuah lubang kecil yang terhubung dengan rumah tetangga.

Awalnya saya agak traumatis. Takut di dalam kloset terdapat another tikus. Tapi toh karena hasrat kebelet ya gimana lagi. Mungkin tikus itu tergelincir di dalam kloset dan tidak bisa meloloskan diri. Sehingga ia malah menyelam dan terjebak di situ. Dan ketika akhirnya ia mau keluar, eh, malah melihat pantat saya. Lalu saya berpikir, ia pasti lebih ketakutan dan traumatis daripada saya.

Super serakah

Ketika membayangkan peristiwa itu, saya mulai menyadari bahwa saya adalah makhluk yang serakah. Pokoknya, saya ingin rumah saya bersih. Nggak boleh ada kecoa, nyamuk, tikus, lalat, apalagi ular dan tomcat!!

Bapak saya pernah cerita. Dulu, waktu bapak saya kecil, di molo (balok yang menopang rangka atap) sering terlihat ular mondar-mandir mencari tikus. Namun, lama kelamaan tidak ada lagi ular-ular karena hunian di sekitar kami semakin padat.

Nah, giliran si pemangsa tikus hilang, meledaklah populasi tikus. Dan sekarang saya menggerutu karena banyak tikus. Namun saya tidak membayangkan saya akan memelihara ular untuk membasminya: mengingat kucing tak lagi berburu tikus.

Burung yang nyasar di ruang perpustakaan rumah.
Mungkin karena rumah mereka sudah banyak terusik saya.

Manusia selalu ingin keadaan ideal bagi mereka, namun tak pernah ideal bagi kaum lainnya. Bahkan kalau di suatu rumah ada hantunya, terpaksa paranormal bertindak dan membujuk si makhluk halus pindah lokasi. Pokoknya tempat tinggal manusia ya manusia! Nggak boleh ada yang mengganggu.

Belum lagi kalau ada serangan semacam ulat bulu. Memang tidak sedikit yang takut dengan makhluk bernama ulat. Padahal, peristiwa seperti itu merupakan suatu siklus, bahkan bisa membantu pertumbuhan tanaman. Tapi kejadian seperti itu justru ditanggapi berlebihan dengan menyemprotkan pestisida ke mana-mana. Padahal, dengan menyemprotkan pestisida, konsumen yang paling terimbas adalah manusia karena ia merupakan makhluk di pucuk piramida makanan.

Ulat hitam

Beberapa bulan lalu, serangan ulat juga terjadi pada tanaman daun ungu saya. Tanaman itu bopeng-bopeng dimakan ulat hitam yang menyeramkan. Namun, beberapa bulan kemudian banyak kupu-kupu cantik di rumah saya. Selain itu tanaman daun ungunya kembali tumbuh subur. Indahnya kupu-kupu yang berterbangan di sekitar saya itu suatu saat juga akan bertelur di daun, dan kembali terdapat ulat-ulat yang memakan dedaunan itu. Hal itu sangat alami bukan?

Untungnya serangan tomcat yang terjadi akhir-akhir ini ditanggapi secara berbeda. Media massa sudah semakin cerdas dengan membuat judul berita: tomcat sahabat petani. Penyemprotan juga dilakukan dengan pestisida organik. Menurut saya itu awal yang bagus untuk ‘bersahabat’ dengan makhluk lainnya. Saya tidak bisa membayangkan kalau manusia tetap mengadakan berbagai permusuhan dengan makhluk-makhluk yang sejatinya berguna itu.

Rabu, 07 Maret 2012

Basa-basi versus Aneh-aneh

Beberapa hari lalu, Erick, pacar saya, mengungkapkan keheranan terhadap saya. Menurutnya saya cenderung menarik orang untuk mengobrol.

“Kita berdua sama-sama lagi membaca, tapi kok yang diajak ngobrol kamu,” ungkapnya beberapa waktu lalu.

Katanya ini sering terjadi. Seperti di Malioboro beberapa waktu lalu, ada seorang fotografer wanita yang mengajak ngobrol saya, dan bukannya mengajak ngobrol Erick atau orang lain.

Saya tidak bermaksud nyombong seandainya saya punya kemampuan 'menarik' orang. Pasalnya, tak semua yang ngobrol itu ‘nggenah’.

Kadang malah orang aneh yang mengajak saya bicara. Contohnya beberapa hari lalu, seorang pria yang mengajak ngobrol saya.

“Mbak kerjaannya apa?”
“Mmm... sekarang sedang menulis. Eh, bisa dibilang serabutan,” jawab saya.
Sebagai basa basi dan menaruh hormat, saya ganti bertanya, karena dari tadi orang ini yang terus bertanya.
“Lha kalau bapak, kerjaannya apa?” tanya saya.
“Pendusta.”

Jederr.... Pria itu berbicara tidak dengan nada bercanda, ia serius. SUNGGUH. Ini membuat saya menerka, jangan-jangan pendusta bisa sejajar dengan profesi baru lain seperti sosialita, dan aktivis jejaring sosial.

Ada juga orang yang ingin kenalan dengan saya dengan cara menebak-nebak.
“Kamu agamanya apa sih? Kristen?”
“Bukan.”
“Budha?”
“Bukan.”

Dan dia urutkan ke semua agama besar di Indonesia sampai tamat.

Tak puas dengan Agama, karyawan sebuah perusahaan swasta di Jakarta itu bertanya hal lain.
“Kamu dari daerah mana sih? Padang?”
“Bukan.”
“Medan?”
“Bukan.”
“Sulawesi Selatan?”
“Bukan”

Dan dia urutkan sama seperti pertanyaan sebelumnya. Mungkin nyaris 33 provinsi ia tebak. Saya mulai menerka-nerka bahwa ia dulu maniak ikut kuis ‘who wants to be millionare’ dengan pilihan bantuan: boleh menebak sesukanya.

Menurut teman saya Kurnia Harta Winata saya cenderung menarik orang-orang aneh. Berbicara dengan orang aneh terdapat sisi positif karena saya justru lebih bisa mengingat orang-orang aneh itu dibanding orang yang ngobrol tentang hal biasa alias basa-basi.

Omong-omong soal basa-basi, kadang saya sendiri merasa terlampau basa-basi. Hanya ngomong iya-iya, tanpa begitu konsentrasi apa yang dikatakan orang. Contohnya seperti ini, dan ini berkali-kali terjadi:

“Anaknya ya Mbak? Umur berapa?” tanya seorang Ibu-ibu yang lewat di depan rumah. Waktu itu saya tengah menggendong keponakan saya.
“Iya, 9 bulan bu.”

Lain kali, saya bersepeda ingin ke pasar, ada seorang tetangga baru yang bertanya.
“Mau pulang ya Mbak?”
“Iya,” jawab saya.
Akibatnya, selama beberapa lama tetangga itu selalu mengira saya pembantu di rumah Bapak saya.

Tentang bab asisten rumah tangga ini tak hanya Ibu itu yang bertanya, tapi yang lain juga.
“Dulu perasaan sampeyan belum kerja di sini,” tanya seorang Ibu ketika saya sedang menyapu halaman.
“Iya sih Bu,” jawab saya.
“Oh, dulu kerja di mana?”
“Di Jakarta.”
“Oh, jadi pas Mbaknya (Majikan alias kakak saya-red) ngelairin, baru kerja di sini ya?”
“Iya,” jawab saya. Lagi-lagi saya tidak mau dan malas menjelaskan.
“Wah, kalau sudah seminggu gajinya lumayan ya,” cerocos ibu itu lagi.
“Nggg...”

Tapi terkadang saya terlalu apa adanya, bukan basa-basi.
“Mau ke mana Mbak?” tanya seorang tetangga. Sungguh, sebenarnya ini pertanyaan basa-basi. Orang tidak akan peduli andai kita menjawab pamit ke Timbuktu.
Dengan malas saya menjawab, “Ngg... ke Toga Mas Bu.” Toga Mas adalah sebuah toko buku di Jogja.
“Oh... Oleh-olehnya ya,” katanya.
“...” saya speechles dan cuma tertawa getir. Niatnya mau jujur apa adanya malah repot. ***