Selasa, 10 Mei 2011

Membuat Perjalanan Lebih Bermakna


Berikut ini yang saya lakukan selama berlibur di Bali: berangkat, foto-foto narsis, kemudian pulang kembali. Yang saya ceritakan adalah: Bali indah. Tidak lebih dari itu. Kalau tidak percaya, silakan lihat dari foto-foto saya. Tetapi kalau ditanya, apakah penduduk Bali ramah-ramah, apa masakan Bali enak, apakah tinggal di Bali nyaman, saya tidak bisa menjawabnya. Karena ya itu, saya hanya datang, berfoto, dan pulang.

Bepergian dengan rombongan tur biasanya memang membuat interaksi dengan tempat yang kita tuju sangat terbatas. Paling pol hanya mendengar informasi dari pemandu wisata. Akibatnya, tidak ada yang bisa kita bagi selain foto-foto narsis saya. Ketika dituliskan pun, tulisan kita hanya berisi sejarah singkat atau menjadi panduan perjalanan yang sudah jadul ketika dilihat setahun kemudian.

Bagaimana memaknai perjalanan dan membuatnya lebih bermakna mungkin dapat kita pelajari dari Agustinus Wibowo. Pria yang akrab dipanggil Gus Weng itu menuliskan perjalanannya mengarungi negara-negara Afghanistan dan Asia Tengah dalam buku Selimut Debu dan Garis Batas. Penulis yang juga fotografer itu membuat tulisan perjalanan tidak hanya sebuah deskripsi, namun juga membawa manfaat bagi pembacanya. Tulisan pria kelahiran Lumajang itu berpegang pada unsur jurnalistik. Ditambah bumbu sastra, membuat pembacanya mempunyai kesan yang dalam.

Being local

Proses Gus Weng memperoleh cerita yang mendalam, ia paparkan di Acara Travel Writing Forum yang diadakan Smarttraveler dan Goodreads Indonesia pada 7 Mei lalu di Quack2 Resto, Gejayan, Yogyakarta. Menurutnya, tulisan perjalanan yang baik adalah membawa manfaat bagi pembacanya. Dari tulisan kita, pembaca tidak sekadar mendapatkan deskripsi, tetapi dapat mengambil berbagai pelajaran hidup darinya.


Untuk mendapatkan informasi yang rinci, tak ada cara yang lebih efektif selain berkomunikasi dengan penduduk setempat. Untuk berkomunikasi dengan penduduk, Gus Weng tak segan mempelajari bahasa di setiap negara yang ia kunjungi. Ia tidak tidak pernah menghitung berapa bahasa yang saya kuasai. Namun, beberapa yang menurutnya lancar adalah Mandarin, Inggris, Farsi (Iran, Afganistan, Tajikistan), Rusia, Urdu Hindi, Turki, Uzbekistan, Kirgiztan, Kazaktan, dan Mongol.

Selain mempelajari bahasa, ia tak segan hidup bersama masyarakat setempat. Dari situ ia tahu kisah hidupnya, kehidupan pribadinya, dan filosofi serta cara berpikir masyarakat sekitar. Pada akhirnya, detail seperti itu sangat memperkuat catatan perjalanan serta fotografi yang bersifat human interest.

Dalam proses being local, Gus Weng berterimakasih pada fotografi yang ia tekuni sebelum menjadi penulis. Saat mendalami fotografi, ia sadar bahwa kekuatan foto adalah ekspresi dari subjek itu sendiri. “Untuk mendapatkan foto yang baik, saya harus melebur, benar-benar masuk dalam kehidupan subjek foto, misal memakai pakaian yang sama dengan penduduk sekitar,” jelas penulis terbitan Gramedia itu.

Leburkan Ego

“Perjalanan adalah proses menembus garis batas. Saat menembus garis batas, pelan-pelan kita meleburkan ego kita. Dahulu saya menganggap bahwa saya pusat dunia atau sebuah ego yang berjalan. Sampai suatu titik, saya merasa saya bukanlah siapa-siapa. Saya hanya manusia yang belajar dari alam dan hanya menerima apapun yang diajarkan kepada alam. Saya tidak lagi berusaha mengubah dunia.” –Agustinus Wibowo—

Gus Weng mengawali perjalanan-perjalanannya seperti backpacker lain untuk berkunjung ke berbagai negara. “Awalnya saya bertujuan untuk mencari warna hidup dan sebagai ajang pembuktian diri,” jelasnya. Namun, setelah sekian lama hidup di jalan, ia merasa bahwa perjalanan bukan masalah gaya-gayaan atau dengan budget tertentu kita melakukan kunjungan ke beberapa negara.

Awalnya sebagai pelancong, umumnya mencari objek-objek yang mencolok mata seperti warna-warni pakaian penduduk, atau tari-tarian yang eksotis. Namun, setelah hidup lama dengan masyarakat yang dikunjungi, Gus Weng menyadari bukan karena warna-warni pakaiannya sehingga mereka layak di tonton. Pada hakikatnya mereka adalah manusia yang sama seperti kita. “Dari situ, kata eksotis menjadi kata yang absurd bagi saya,” jelas pria yang saat ini tinggal di Beijing itu.



“Kalau awalnya banyak mengeluh, misal toiletnya begini, makanannya begitu, itu karena awalnya ada mindset untuk mengubah dunia. Tetapi ketika mindset ini sudah hilang, prinsipnya semuanya adalah proses belajar,” jelas Gus Weng. Intinya, secara perlahan-lahan meleburkan ego dari diri kita. Dari situ, Gus Weng ia memutuskan tidak hanya berkunjung, tetapi juga mencari proses mengalami. “Semenjak itu, perjalanan benar-benar mengubah diri saya secara maksimal,” jelasnya.

Tulisan berkualitas

Mengenai tulisan perjalanan yang berkualitas, Gus Weng berpendapat, seharusnya sudah ada konsep sebelum melakukan perjalanan. Siapkan sebuah pertanyaan yang perlu kita jawab dalam perjalanan yang akan menjadi benang merah selama perjalanan. Hal itu juga sebagai pedoman untuk melakukan riset awal. Misal, ‘adakah negeri impian di Mongolia?’ Atau ‘bagaimana Mongolia berubah dari bangsa nomaden untuk mencapai cita-citanya sebagai bangsa modern?’

Pertanyaan itulah yang menjadi suatu benang merah ketika Gus Weng melakukan perjalanan. Untuk mempersiapkan diri, sebelum perjalanan ia mempelajari sejarah bangsa Mongolia, kultur nomaden mereka, dan bahasa Mongolia. Setelah di sana, lakukan riset lokasi, serta cek dan ricek antara teori dipelajari dan kenyataan yang ditemukan. Bahan tulisan tidak sekadar pandangan mata, tetapi ia mengumpulkan bahan tulisan dalam bentuk wawancara dengan berbagai sumber atau berbagai data di lokasi.

Setelah kembali dari perjalanan, proses penulisan belumlah selesai. Setelah pencatatan dalam perjalanan penulis perlu melakukan verifikasi data. “Apa yang kita temukan di jalan belum tentu benar. Misal pendapat orang tentang tahun-tahun kejadian,” jelas Gus Weng. Jadi riset yang dilakukan Gus Weng terbagi menjadi tiga, sebelum perjalanan, selama perjalanan, dan setelah perjalanan.

Datang dan belajar

Bagaimana Gus Weng melakukan perjalanan dan menuliskan perjalanannya konsepnya sederhana. “Saya datang dan belajar,” jelasnya. Karena itu, buku-buku mengenai negara yang ia kunjungi sangat penting. Ia bercerita bahwa cara pandangnya tergantung dari buku-buku yang ia baca. Untuk itu, buku tidak lepas dari dirinya meski dalam perjalanan. “Ketika perjalanan, tas saya penuh dengan buku. Teman saya bilang saya ini perpustakaan berjalan,” jelas Gus Weng. Buku-buku yang ia baca dipilih yang berkaitan dengan negara yang bersangkutan.

Di Pakistan misalnya, ia membaca buku-buku yang berisi mengenai perjuangan-perjuangan negara-negara Islam dalam membentuk identitasnya sehingga tulisan-tulisannya lebih ke arah politisasi Islam di sana. Sedangkan ketika di Afghanistan, tulisan Gus Weng lebih ke arah romantis, karena ia membaca buku karya Nancy H Dupree yang menceritakan romantisme Afghanistan tahun 70-an.


Tinggal di suatu negara, Gus Weng mengaku tidak membatasi waktunya. Di Afghanistan ia tinggal selama tiga tahun. “Di sana saya dapat diajak bercakap, berdebat, atau bertukar pikiran,” jelas pria yang juga tinggal di Pakistan 6 bulan dan Asia Tengah selama 7 bulan. Filosofi yang Gus Weng pegang semakin lambat kita melakukan perjalanan, semakin lama kita tinggal, semakin banyak kita menyerap kebijakan dari tempat tersebut.

Dalam melakukan perjalanan-perjalanannya, Gus Weng belum pernah menjalin kerja sama dengan sponsor atau perorangan. Selama ini ia melakukan perjalanan seorang diri, dengan kemampuan sendiri, hasil menabung, dan riset sendiri. Dengan begitu, tidak ada yang mempengaruhi sudut pandang dalam penulisannya. “Kalaupun nanti ada yang mensupport, jangan sampai mempengaruhi cara pandang kita,” jelas Gus Weng. Ia tetap berpegang bahwa dalam proses menulis dan mengamati harus independen.

Kreativitas tulisan

Menurut Gus Weng, perjalanan adalah proses belajar dan merupakan bagian dari hidup. Setiap perjalanan langka dan unik. Oleh sebab itu, dalam setiap perjalanan, Gus Weng mencatat pengalamannya dalam buku harian. Untuk mencari kisah tersebut, ia lebih memilih bepergian seorang diri. “Dengan bepergian sendiri, saya punya perhatian dan waktu lebih banyak. Kulit saya merasakan, mata saya benar-benar mengamati, dan pikiran saya terus menerus berputar,” jelas pria kelahiran Lumajang itu.

Selimut Debu dan Garis Batas merupakan kisah sebelum Gus Weng menjadi jurnalis. Gus Weng mengaku, perjalanan itu tidak terlalu terkonsep dari awal. Berbeda dengan perjalanan yang dilakukan olehnya di Mongolia. Hal itu ada positif serta negatifnya. Positifnya, perjalanan yang belum dikonsep cenderung memunculkan banyak kejutan-kejutan karena perjalanan tidak direncanakan. Sisi negatifnya, cerita-ceritanya tidak begitu berkaitan. Ketika ingin dijadikan satu, tulisan tidak mengalir. Akibatnya perlu waktu lama untuk menjadikannya menjadi satu tulisan yang utuh.

Untuk membuat suatu tulisan perjalanan menarik membutuhkan kreativitas dalam memandang suatu perjalanan. Misal, di menara Eiffel sudah ada jutaan orang yang berkunjung, dan yang menulis pun sudah ratusan ribu orang. Di situ lalu dibutukan sudut pandang personal untuk berbeda. Misal, kita dapat menulis tentang percakapan dengan teman kita di Menara Eiffel tentang kontradiksi kehidupan di Perancis. Dengan begitu, tulisan kita diharapkan berbeda dengan tulisan ratusan ribu yang lain.

Aspek personal

Tulisan travel writing yang baik menurut Gus Weng adalah yang timeless. Artinya, dibaca 5 atau 20 tahun lagi tulisan masih relevan. Berbeda dengan buku panduan yang tahun depan infonya sudah tidak berlaku. Dengan adanya unsur timeless, refleksi yang dilakukan 10 tahun yang lalu masih ada hal relevan yang terkait, walaupun kehidupan berbeda dengan masa sekarang.

Yang membedakan sebuah travel writing dengan penulisan lainnya adalah sisi personal. Hal yang ditulis Gus Weng bukanlah catatan jurnalistik murni, sejarah Afganistan, atau keadaan etnografi masyarakatnya, tetapi merupakan catatan personal perjalanan pribadinya. Orang-orang yang ia jumpai adalah orang yang ia kenal secara personal. Melalui pengamatan pribadinya, Agus mengajak pembaca untuk melihat keadaan yang lebih besar dari negara yang ia kunjungi.


Aspek personal dalam tulisan perjalanan penting. Namun, yang terpenting ego jangan terlalu menonjol. Yang personal itu adalah sudut pandangnya. Bukan berarti penulis terkesan menjadi pahlawan dari tulisannya. “Saya kurang menyukai tulisan perjalanan yang egosentris, tentang dirinya sendiri, seolah-olah ia menjadi pusat dunia. Karena menurut saya, seseorang yang melakukan perjalanan sudah meleburkan egonya dan hanya berlajar dari alam,” jelas Gus Weng.

Jurnalisme sastrawi

Mengenai sisi jurnalisme sastrawi dalam karyanya, Gus Weng mengaku mempunyai seseorang yang berpengaruh, yaitu Andreas Harsono. Di Pakistan, ia belajar tentang jurnalisme sastrawi lewat tulisan Andreas. Dalam tulisannya ia tetap berpegang teguh dengan fakta atau kenyataan. Tulisannya tidak dibumui sesuatu yang fiksi. Dalam tulisan-tulisannya, Gus Weng bukan menebak-nebak pikiran orang. “Tokoh-tokoh dalam kisah itu bukan ciptaan saya, sehingga saya tidak tahu pemikiran mereka dan bukan hasil menebak pikiran mereka,” jelasnya.

Mengenai inspirasi, Gus Weng terpengaruh karya V.S Naipaul, peraih nobel kesastraan. Sebagian karyanya fiksi, tetapi Gus Weng menyukai karya non fiksinya seperti Among the Believers, Beyond Belief: Islamic excursions among the converted peoples, dan catatan perjalanan V.S Naipaul di India. Penulis favorit lainnya adalah Ryszard Kapuściński. Gaya penulisannya ringan, tetapi dalam tulisannya sarat dengan refleksi yang bisa diambil, meski dalam satu paragraf saja.

Menurut Kris Budiman, penulis sekaligus budayawan mengatakan, ciri jurnalisme sastrawi bukanlah sekadar dituliskan kembali secara deskriptif, tetapi dikisahkan menjadi naratif. “Karya Agus mempunyai kualitas kesastraan karena ia sangat menguasai peralatan bercerita. Saya tidak rela apabila ia hanya dikategorikan karya jurnalistik,” jelas Kris. Berbeda dengan karya Laskar Pelangi yang banyak dibumbui fiksionalistas, karya Agus lebih setia dengan pengalaman faktualnya.

Foto-foto Agustinus Wibowo, dapat dilihat di http://www.lightstalkers.org/avgustin

Minggu, 08 Mei 2011

Melebur dalam Subjek Fotografi

Berikut ini yang saya lihat di acara hunting bersama komunitas fotografi di Jakarta: Di pojok jalan, terlihat seorang bapak tua, yang nampaknya tertidur. Bajunya lusuh, compang-camping, kontras dengan gedung-gedung kantor yang megah di sekitarnya.

Seketika itu beberapa fotografer muda mendekat. Beberapa jepretan mendarat padanya. Bapak yang semula nampak tertidur itu berkata dengan muka masam ‘Sudah miskin, masih dijeprat-jepret pula’. Ia menunjukkan ketidaksenangannya pada fotografer muda yang menjadikan dirinya sebagai objek fotografi. Nasibnya jauh berbeda dengan model cantik yang dibayar seusai pemotretan.

Teknologi kamera yang canggih dan murah saat ini memunculkan banyak fotografer. Sayangnya, dalam prakteknya--demi mengejar foto--si fotografer terkesan asal jepret. Alih-alih dapat foto yang bagus, malah mendapat potret bapak dengan muka masam seperti cerita di atas.

Asal jepret
Kejadian di atas banyak dialami karena kurang adanya interaksi antara fotografer dengan objek yang difoto. Siapa sih, yang suka difoto orang dengan membabi buta oleh orang yang tidak dikenal? Oleh sebab itu, kedekatan dengan objek, terutama pada fotografi human interest itu sangat penting. Namun, untuk mendekatkan dengan objek memang butuh banyak usaha. Apalagi di negara lain, yang kerap terkendala bahasa.

Salah satu fotografer jurnalis yang menghasilkan foto-foto human interest yang menarik adalah Agustinus Wibowo. Agustinus atau yang biasa dipanggil Gus Weng adalah seorang fotografer dan penulis. Beijing, Tibet, Nepal, India, Pakistan, Afganistan, Uzbekistan, Turkmenistan adalah beberapa negara yang pernah ia kunjungi. Ia tak segan mempelajari bahasa di setiap negara itu demi bisa berinteraksi dengan masyarakatnya dan mendapatkan foto serta bahan tulisan yang mendalam.

Penulis buku Selimut Debu dan Garis batas itu tinggal di Afghanistan selama tiga tahun untuk benar-benar melebur ke dalam masyarakatnya. Walaupun tidak mempunyai dasar fotografi atau jurnalistik, kegigihannya membuat karya fotonya diminta untuk PBB dan berbagai NGO. Dalam acara Cephas Photo Forum di Multiculture Campus Realino, Gejayan, Yogyakarta pria yang berasal dari Lumajang itu bercerita bagaimana mendapatkan ekspresi subjek foto yang menarik dan natural.

Melebur
Menurut pria yang kini tinggal di Beijing itu, kekuatan suatu foto adalah ekspresi dari subjek foto. Untuk mendapatkannya, antara fotografer dan subjek membutuhkan komunikasi yang dekat. “Untuk mendapatkan foto yang baik, saya harus melebur, benar-benar masuk dalam kehidupan subjek foto,” jelas pria yang pernah menempuh pendidikan di Tsinghua University itu.

Untuk mendapatkan objek yang natural, ia memakai pakaian yang sama, benar-benar tinggal di rumah penduduk 1—2 minggu. “Saya jadi tahu kisah hidup mereka, kehidupan pribadinya, dan selanjutnya belajar mengengai filosofi dan cara berpikir penduduk tersebut.” Selain manjur untuk mendapatkan angle human interest yang bagus, informasi itu sangat membantu untuk membuat catatan perjalanan yang baik.

Waktu untuk tinggal di suatu negara tidak Gus Weng batasi. “Jika banyak yang perlu dipelajari, saya akan tinggal cukup lama,” jelasnya. Di Afghanistan, untuk mendalami ia tinggal selama 3 tahun. Di Pakistan 6 bulan, di Asia Tengah total 7 bulan. Ada filosofi yang dipengang Gus Weng. Semakin lambat kita melakukan perjalanan, semakin lama tinggal di suatu tempat, semakin banyak kita menyerap kebijakan dari tempat tersebut.

Saya dan Gusweng di acara Travel Writing :D*

*Foto by Natalia Natty