Rabu, 05 Oktober 2011

I’m nobody

Beberapa hari lalu saya mengurus perijinan acara di salah satu kantor pemerintah. Karena tidak tahu harus masuk di kantor yang mana, saya dan teman-teman saya bertanya di pos satuan pengamanan atau satpam. Ternyata pos satpam ini lain daripada yang lain. Selain menjadi satpam, ia juga menjadi bagian humas dan resepsionis.

“Kalau Kepada-nya kaya gini nggak bisa ngadep ke kantor Mbak,” jelasnya ketika saya tunjukkan surat dari kami.
“Tapi Pak, apakah saya bisa menanyakan ketentuan lebih lanjut di kantor? Ke bagian humasnya barangkali?” tanya saya.

Saya bertanya seperti karena saya merasa aneh, pengurusan surat kok diurusi oleh satpam. Repot kan, kalau syaratnya ada yang kurang dan musti bolak-balik. Tetapi Bapaknya bersikeras dengan agak bernada tinggi, bahwa kami akan percuma kalau masuk kantor tanpa merubah sesuai apa yang dikatakannya.

Bapak-bapak satuan keamanan itu hanya disuruh atasan tentunya, jadi saya tidak ambil pusing dan ngotot. Tapi please deh, terus tugas humasnya ngapain? Nonton TV? Bercengkrama?

Umumnya, ketika ada yang bertamu di rumah, kita dipersilakan masuk. Kecuali tamunya bapak pos yang memang tergesa-gesa mengirim kiriman paket. Sedangkan di kantor pemerintah tersebut, kami hanya berdialog di dekat gerbang pintu masuk.

Saya merasa bukan rakyat Indonesia ketika mendapat perlakuan seperti itu. Usul saya, seharusnya nama ‘pemerintah’ diganti menjadi kantor ‘pelayan rakyat’. Wajar bukan, karena duit modal segala macam berasal dari rakyat dan tugas merekalah melayani karena dipercaya untuk mengelola modal seluruh rakyat Indonesia. Tapi apa yang mau dikata, saya bukan anggota DPR pakar telematika yang bisa berkata, “Anda tahu saya siapa?”

Keesokan harinya, kami kembali ke kantor itu. Ketika akan masuk, dari kami bertiga hanya saya yang tidak diijinkan masuk. Alasannya: saya memakai sendal!
“Nanti takut dimarahi di dalam,” kata Bapak itu.

Hah?! Saya cuma bengong. Saya jadi membayangkan waktu mahasiswa dengan ada dosen killer yang memarahi mahasiswa-nya kalau pake sendal jepit.

Saya memakai atasan batik yang cukup sopan, dan celana panjang. Tapi, gara-gara sendal (meski bukan sandal jepit yang swallow tapi merek st-Yves, saya tidak diperbolehkan masuk.
Akhirnya, kedua teman saya-lah yang masuk dan mengurus suratnya.

Saya tidak memakai sepatu karena sepatu yang saya punya hanya sepatu kets. Karena saya pikir tidak cocok antara atasan batik dan sepatu kets, maka saya tidak memakai sepatu. Masak iya, saya harus beli sepatu dulu? Tentu lain ceritanya kalau saya pakai sendal high heels terus naik BMW.

Namun, sekali lagi, saya tidak berusaha macam-macam karena permasalahannya bukan di satpam-nya. Toh ia juga pasti hanya menjalankan tugas dari atas. Mungkin juga tugas dari atasan tersebut dimodifikasi supaya penampilan si kedua satpam itu sanggup membuat lari siapa saja, dari maling sampai siapa saja yang dicurigai sebagai kalangan bawah.

Saya jadi ingat dengan salah satu artikel di koran yang saya baca. Ada wartawan yang mencoba memasuki sebuah kantor dengan dua penampilan yang berbeda. Satu dengan kemeja lusuh, tas lusuh, dan sepatu lusuh. Penampilan hari berikutnya dengan kemeja still, tas bagus, dan blackberry di tangan. Kedua penampilan itu sangat berbeda perlakuannya, yang ditanya-tanya. Namun hari berikutnya ketika memakai penampilan yang ‘wah’, ia dipersilakan lewat begitu saja.

Sampai di rumah, saya cerita kepada kakak dan Bapak saya. Mereka tertawa.

“Yah, begitulah, kantor pemerintah itu selalu ngurusin yang remeh-temeh, ga ngurusi yang penting. Kalau staf atau pegawainya ya memang wajib berpakaian sesuai dengan ketentuan. Hal itu karena mereka bertugas melayani. Tapi kalau pengunjungnya nggak wajib dong,” kata Kakak saya.

Berikutnya Bapak bercerita, yang bagus itu seperti salah satu sekolah di Jogja, Kolese de Britto. Nggak tahu angkatan berapa, tetapi ia bercerita ketika dulu ada kebijakan nggak boleh bawa mobil ke sekolah, mereka sepakat berangkat sekolah pake truk dan kuda. Ketika nggak dibolehin pake sendal, mereka pakai teklek (semacam selop dari kayu) ke sekolah. Akhirnya, sekolah menerapkan bahwa penampilan tidak menjadi sesuatu esensial, tetapi yang penting mereka pintar. Kalau tidak pintar, pasti akan tinggal kelas, jelas Bapak saya.

Saya sangat setuju, penampilan yang sopan dan enak dipandang itu penting. Penampilan yang lusuh apalagi bau, tentu mengganggu sekitar kita. Penampilan yang rapi menunjukkan bahwa Anda menghormati kepada sekeliling Anda.

Namun, saya tidak setuju kalau harus memakai sepatu atau dasi adalah penampilan ter-rapi dan ter-hormat. Saya malah terheran-heran dengan bangsa ini. Wong iklimnya tropis kok pake sepatu dan dasi. Bahkan di acara tertentu diharuskan memakai jas atau blazer. Merasa konyol sekali ketika saya selalu kedinginan di setiap acara seminar atau konferensi. Ironis bukan, ketika punya negeri bermandikan cahaya matahari tetapi saya malah kedinginan?

Saya masih ingat ketika dulu mengikuti sebuah acara. Meski memakai blazer dan sepatu, saya tetap kedinginan. Begitu juga di seminar Rene Suhardono. Rene yang merupakan pembicara utama seminar itu berbicara sambil mengibas-ngibaskan tangannya. Katanya, “Aduh, bukan karena saya genit, tapi ya ampun AC-nya dingin banget ya?”

Lagi-lagi saya merasa seluruh bangsa ini sudah menjadi korban mode. Padahal, kita sudah punya baju batik yang adem dan nyaman dipakai di daerah tropis. Sayangnya, yang ditiru dari negara lain bukannya perilaku hidup bersih atau memilah sampah, tetapi hal-hal yang memboroskan sumber daya alam dan tenaga.


I'm Nobody!
Who are you?
Are you – Nobody – too?

(Puisi Emily Dickinson)