Minggu, 10 Oktober 2010

Saya Manusia Purba

“Sendirian aja mbak?” tanya seorang bapak-bapak di warteg pada saya.
Lain hari di angkringan:
“Sendirian saja mbak? Nggak enak donk, nggak ada teman ngobrol....”
Kemudian bapak yang bertanya itu mengajak ngobrol saya. Mulai dari kerja di mana, tinggal di mana, sampai nawarin madu propolis jualannya. Akhirnya saya pasang status di twitter:

Emang kalau sendirian, keliatan lagi butuh teman?

Mungkin beda dengan cewek-cewek lain yang:
- Harus bareng-bareng ke toilet.
- Harus bawa temen ke mal.
- Ngajak temen makan bareng ke warung.

Saya tidak seperti itu. Maksud saya, saya tidak mutlak seperti itu. Saya bisa menikmati kesendirian. Sungguh. Walaupun, dengan teman juga banyak enaknya. Tetapi memang kadang saya sedang menikmati bahwa saya sendiri.

Sama seperti saya keliatan ‘menderita’ ketika sedang memelototi buku bacaan atau situs internet. Padahal saya memang suka membaca dan mungkin baru terkagum-kagum dengan apa yang saya baca. Orang kadang kasihan melihat saya terlalu serius. Lho, padahal nggak ada niat serius.

Ini sama seperti saya yang kelihatannya suka nongkrong di warung. Mungkin analogi bapak itu saya sedang mencari-cari teman, karena saya terlihat tidak punya teman. Padahal, maksud saya bukan seperti itu.

Saya lebih suka nongkrong di warung karena malas membungkus makanan untuk saya makan di kost.Saya tidak suka dengan pembungkusnya.

Saya kira sudah cukup Jakarta sekitarnya jadi korban banjir. Tidak usah saya menambah-nambah sampah ke Bantar Gebang. Apalagi ketika melihat plastik itu bercampur dengan sisa makanan. Bayangkan ketika bungkus-bungkus itu bersatu dengan sisa-sisa makanan dan memenuhi selapangan sepak bola. Bagaimana baunya ketika didiamkan seminggu? Fyuuuh....


Saluran ini termasuk bersih dari sampah, walaupun tampak bertaburan sampah. Difoto dari jembatan Kota Intan, Jakarta. Foto: by Kiki Rizkika.

Walaupun tidak suka, tetap saja saya ikut sistem Jakarta raya. Bahkan ketika makan di mal... Yang saya harapkan diwadahi piring, eeeh... diwadahi styrofoam.

Cara-cara pembuangan sampah penduduk Jakarta—termasuk saya yang berdomisili di Depok--memang masih ala purba. Sampah apapun, baik plastik, kulit jeruk, kulit bawang, styrofoam, baterai, masih dianggap sampah yang sama. Bak penduduk purba yang menciptakan timbunan sampah kerang yang sekarang menjadi fosil jaman purba: semua sampah itu dibuang di tempat yang sama.

Sudah dicampur, dibuangnya asal pula. Saya pernah nunggu bis di kawasan UI. Di dekat saya ada tempat sampah. Eh, ada cewek cuantik yang dengan tenangnya melempar gelas bekas minuman di selokan di belakang saya. Lain kali ada juga tukang ojek yang kagum dengan teman saya yang membuang sampah di tempat sampah. Apakah begitu sulit dan langkanya perilaku membuang sampah pada tempatnya?

Ada juga ketika ditanya mengapa buang sampah sembarangan: “Lha, nanti kan juga disapu sama petugas kebersihan,” ucapnya dengan enteng. Kalau saya jadi petugas kebersihannya, saya akan mengutuk orang-orang yang dengan enaknya memperberat tugas menyapu sampah.

Saya juga masih ingat ketika saya ikut Youth Conference di Yogyakarta beberapa tahun silam. Orang Madagaskar yang ikut acara yang berlangsung seminggu itu dikagumi karena mengantongi puntung rokoknya sebelum menemukan tempat sampah. Di diskusi juga ditanya,
“Siapa yang tidak membuang sampah sembarangan?” tanya si Pembicara.
Hampir semua mengangkat tangan. Tetapi kemudian ia bertanya lagi:
“Siapa yang mengantongi puntung rokoknya kalau tidak nemu tempat sampah?”
Tidak ada yang mengangkat tangan sama sekali....

Itu menunjukkan, bahwa masih banyak yang berpikiran purba. (Padahal makhluk purba sangat jauh lebih baik karena tidak membuang sampah anorganik)

Ketika sudah jengah dengan urusan mencampur adukkan sampah, suatu hari saya menyediakan tempat sampah anorganik di kost-an. Kemudian, saya minta kepada teman-teman untuk membuang sampah organiknya di ember yang saya beli. Tapi naas, sampah yang dikumpulkan terlalu sedikit. Akhirnya sampah anorganik itu menjadi berjamur. Selain itu, sampah yang membusuk itu tetap saja bermuara di tempat sampah di luar kost yang campur aduk. Belum lagi teman-teman kost yang gonta-ganti penghuni.

Enak lho, sepedaan di jalanan yang bersih.... Lokasi: Bundaran HI

Saya merasa urusan sampah menyampah ini lebih baik ketika saya di Jogja. Sejak kecil kami terbiasa memilah sampah organik dan anorganik. Sampah organik itu dibuang di ‘jugangan’ atau lubang di halaman. Ayam-ayam kami bisa memakan sisa-sisa sampah organik itu. Lainnya, sampah anorganik, diplastik jadi satu dan dibuang ke tempat sampah umum.

Well... saya tidak tahu harus bagaimana lagi. Cita-cita saya mempunyai rumah yang ada halamannya. Sehingga, saya bisa bercocok tanam dan mengolah sampah organik. Namun sekarang, saya masih makhluk berpikiran purba yang tinggal di sekitar Jakarta:(