Kamis, 01 November 2012

Sabar, ya.

Bagaimana kalau besok pagi saya mendapati panggilan telepon berkode negara Swedia yang menyatakan saya pemenang nobel fisika?

Reaksi saya yang pertama pastilah mengira sedang masuk supertrap. Bagaimana mungkin saya bisa menang nobel fisika? Jangankan mengontrol partikel kuantum, pertanyaan bakul tentang berapa harga pepaya 0,6 kg bila harga per kilonya Rp 4.500 saja saya gagap.

Dari situ bisa saya tarik kesimpulan, ada satu yang hilang di dalam keberhasilan yang instan, yaitu proses. Tanpa ingat bahwa kita pernah berproses, penghargaan apapun akan terasa hampa. Alih-alih bikin bangga, penghargaan tanpa proses bisa membawa celaka.

Contoh kasus, seorang anak dimasukkan ke Fakultas Kedokteran oleh orang tuanya ‘dengan paksa’. Tapi apakah kemudian bisa memastikan bahwa si Anak bisa bertahan di lingkungan kuliahan itu perkara lain. Kalau nggak kuat, malah bisa stres. Ada yang bilang, lulus kuliah itu lebih sulit dibanding masuknya.

Sehari-hari banyak kita lihat, betapa proses kurang dihargai. Memasak sendiri untuk anak atau pasangan itu repot dan lama. Apalagi kalau si anak memalingkan mulut tanda nggak doyan hasil masakan yang dibuat dengan repot itu. Apesnya lagi kalau pasangan ngeluh masakannya nggak seenak rendang di warung sebelah.

Sungguh, saat itu lebih gampang beli ayam goreng, masak mi instan, atau memberi biskuit bayi untuk anaknya. Padahal satu-satunya cara untuk mendapatkan makanan yang sehat, berkualitas, dan murah adalah dengan memasak sendiri. (Perkecualian kalau si kepala rumah tangga mampu mengundang Adhika Maxi untuk masak di rumahnya).

Lomba adu cepat dan dulu-duluan nggak cuma terjadi di lingkup keluarga. Perusahaan telekomunikasi bersaing menciptakan layanan super cepat. Nggak ada ceritanya layanan internet yang bersemboyan jagonya lambat. Yang ada super cepat, fast, anti lelet, dan lain sebagainya. Pun, secepat-cepatnya internet, orang masih mengeluh kalau 24 jam dalam sehari itu nggak cukup untuk mengerjakan segala sesuatunya.

Ada yang bilang, kota tempat saya tinggal mempunyai moto Jogja slowly Asia. Padahal menurut saya Jogja nggak Slowly lagi. Jaman dulu, simbah saya itu berangkat kerja pagi, dan pulang jam satu siang. Sisa waktu kerja bisa digunakan untuk bercengkerama dan kegiatan kampung.

Sekarang, perilaku tergesa-gesa, instan, terlihat di berbagai sudut Jogja. Suara klakson tak sabaran yang menyuruh maju sebelum lampu berganti hijau merajalela. Iming-iming kaya dadakan pun makin menggila. Tengoklah iklan ajakan seminar *Beli Properti Tanpa Uang Tanpa Utang*. Saya pun yakin, nantinya seminar *Beli Properti Tanpa Ngapa-ngapain* pasti jauh lebih laku.

Dunia tempat tinggal kita yang penuh ketergesaan membuat situasi makin absurd. Orang mulai berandai-andai agar semua barang termasuk kunci mobil bisa di-missed called. So, kalau ketlingsut di suatu tempat nggak perlu waktu untuk mencarinya. Menyakiti dan meminta maaf sudah semudah proses undo dan redo.

Sampai-sampai lengan kekar dan otot kotak-kotak bukan lagi representasi orang yang giat bekerja melainkan orang yang gemar fitness.

Nggak terbayang kalau pelayan rumah makan mengatakan ini,
“Maaf, nasi di dalam nasi goreng pesanan Anda masih ada di sawah. Mohon ditunggu.”

Bagi sebagian orang, ada yang menganggap saya ini orang yang pesimis dan jarang bermimpi untuk kaya. Meski begitu, sebenarnya saya punya mimpi lho. Yaitu tidur siang di rerumputan di Kebun Raya Bogor yang menjadi rumah saya, sambil menunggu dengan santai datangnya telepon bernomor Swedia.